Topswara.com -- Dian Leatasri, Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kementrian Keuangan, mengatakan bahwa sejauh ini pinjaman pemerintah masih terkendali.
Ia menjelaskan, utang pemerintah secara keseluruhan per 30 November 2023 Rp 8.041,01 triliun. Hal itu didominasi oleh Surat Berharga (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61 persen dari total utang) dan pinjaman sebesar 916,03 triliun (11,39 persen dari total utang) (Gatra .com 31 Desember 2023)
Sementara itu Bank Dunia atau World Bank mengingatkan resiko utang yang semakin menggunung dikhawatirkan akan membuat negara mengalami krisis, khususnya negara yang perekonomiannya belum stabil. (Kontan.co.id 29 Desember 2023)
Statement yang mengatakan bahwa utang masih aman, terkendali dan berdampak positif, merupakan statement yang berbahaya. Karena sejatinya utang kepada negara lain membuat ketergantungan pada negara asing / pemberi utang dan membahayakan kedaulatan negara. Sudah banyak buktinya.
Negara seperti Zimbabwe, Sri Langka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah contoh negara yang kolaps akibat debt trap (perangkap utang) luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.
Lebih dari itu utang kepada luar negeri adalah utang ribawi dengan bunga yang berlipat lipat. Bunga utang alias riba yang harus dibayat oleh pemerintah sangat mencekik. Bunga yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp 437,4 triliun pada tahun 2023 dan Rp 497,32 triliun pada 2024. Untuk bayar bunganya saja sudah memghabiskan 14,4 persen APBN.
Utang ribawi dengan alasan apapun adalah haram. Utang ribawi dapat menimbulkan bahaya tethadap kaum muslim. Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas'ud, Nabi SAW bersabda yang artinya : "tidaklah seorang itu memperbanyak harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah kekurangan / kemiskinan. (HR. Ibnu Majah).
Dengan berbagai bahaya utang luar negeri yang sejatinya adalah utang ribawi yang haram, seharusnya negara bisa mandiri tanpa utang luar negeri.
Sejatinya negeri ini bisa mandiri karena Allah telah memberikan sumber daya alam yang melimpah, jika pengelolaannya diatur sesuai dengan aturan Islam. Dalam Islam negara berkewajiban untuk mengelola sumber daya alam, negara dalam Islam tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta baik dalam negeri maupun asing.
Jika negara tidak mampu mengelolanya karena keterbatasa peralatan dan sumber daya manusia, maka negara mengontrak tenaga kerja dari negeri lain dengan akad ijaroh. Hasil dari pengelolaan sumber daya alam ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, semisal pendidkan, kesehatan, kemanan.
Selain itu negara dalam islam memiliki pendapatan yang termasuk dalam kepemilikan negara yaitu ghonima, fa'i, kharaj dan jizyah, harta ini digunakan untuk membangun infra struktur negara.
Semua harta negara maupun harta keoemiliakn umum akan disimpan di baitul mal. Jika harta di baitul mal habis sementara negara butuh segera untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh rakyat, maka negara akan memungut pajak / dharibah dari warga negara muslim yang kaya.
Dengan demikian negara tidak akan mengambil pinjaman dari luar negeri. Dengan begitu posisi negara di mata dunia adalah menjadi negara adidaya tangguh berdaulat tidak ada ketergantungan dengan negara asing. Hal ini hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan Islam kaffah yaitu negara khilafah ala minhajin nubuwwah.
Wallahu a'lam bish shawab.
Dewi Asiya
Aktivis Muslimah
0 Komentar