Topswara.com -- Permusuhan yang berujung pada peperangan telah demikian banyak terjadi di sepanjang lintasan sejarah peradaban manusia. Hampir semua peperangan yang terjadi tak ada yang terlepas dari kaitan dengan agama.
Dalam hal ini agama yang dimaksud tentu dimaknai sebagai ideologi, bukan agama sebagai ritual ibadah. Islam ideologis sudah sejak lama berhadapan dengan kapitalisme ideologis dan komunisme ideologis dan menjadi musuh abadi.
Sementara dahulu, saat kapitalisme dan komunisme belum lahir, peperangan antar kelompok manusia terjadi karena perebutan kekuasaan dan penjajahan.
Terkait konstelasi di Palestina, sejarahnya telah tercatat demikian panjang dan berjalan bersama keberadaan para Nabi dan Rasul beserta kaumnya. Sementara di masa yang jauh sesudah itu, seorang Yahudi berkebangsaan Hungaria bermimpi untuk mengembalikan kejayaan Bani Israil (Yahudi) kembali. Orang itu adalah Theodore Herzl.
Ia menuliskan mimpinya itu dalam buku Der Judenstaat (Negara Yahudi) tahun 1860. Kemudian pada 29-31 Agustus 1897digelarlah Kongres Zionis Pertama yang menghasilkan kesepakatan terkait langkah-langkah untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina yang saat itu merupakan bagian dari Daulah Utsmani.
Pedudukan Zionis Yahudi di Era Modern
Pada 1915, di tengah kecamuk Perang Dunia I, Inggris berhasil merayu Sharif Makkah Hussein bin Ali untuk melancarkan pemberontakan melawan Turki Utsmani. Iming-imingnya adalah janji pemberian dukungan atas pembentukan negara Arab yang meliputi sebagian besar Timur Tengah termasuk Palestina.
Dana yang sangat besar pun dibutuhkan untuk rencana pendirian negara Yahudi ini. Dana itu dibutuhkan untuk membeli tanah-tanah penduduk Palestina untuk ditempati. Kemudian pada 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menulis surat kepada Lionel Walter Rothschild, seorang Yahudi Inggris yang juga anggota Freemasonry.
Surat tersebut mengikrarkan tekad Inggris untuk mendirikan ‘rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina dan memfasilitasi pencapaian pada tujuan tersebut.’ Inilah surat yang terkenal sebagai Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour inilah yang kemudian dijadikan legalitas terjadinya migrasi besar-besaran etnis Yahudi ke tanah Palestina. Kemudian pada 1918, dengan kemenangannya dalam Perang Dunia 1, Inggris memerintah Palestina dengan status mandatorat.
Status ini meniscayakan Inggris dapat menjalankan kebijakan-kebijakan pro-Yahudi. Inilah di antaranya yang mendorong aktivis dan media Yahudi mengampanyekan pengusiran penduduk Palestina secara lebih massif pada 1919.
Tidak dapat dielakkan, bentrokan demi bentrokan pun mulai pecah antara penduduk Palestina dengan imigran Yahudi yang terus berdatangan. Bentrokan memuncak pada pertengahan sampai akhir 1930. Inggris memberantas pemberontakan-pemberontakan itu hingga tak kurang dari 19 ribu penduduk Palestina tewas.
Gelombang perlawanan ini kemudian memicu terbentuknya milisi-milisi teroris Yahudi seperti Haganah dan Irgun. Milisi ini kerap melakukan teror dan menganiaya serta membunuh penduduk Palestina.
Terjadinya genosida Nazi Jerman terhadap orang Yahudi di Eropa sepanjang Perang Dunia II kemudian menyebabkan migrasi lebih massif dilakukan oleh orang Yahudi ke Palestina. Migrasi berlanjut terus hingga pada 29 November 1947 PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang membagi tanah Palestina menjadi dua negara.
Penduduk Palestina tentu saja menolak resolusi tersebut. Ini karena, Etnis Yahudi ditetapkan mendapat 56 persen wilayah Palestina, sedangkan penduduk Palestina hanya mendapat 43 persen wilayah saja.
Setelah Aksi Daleth (‘pembersihan’ penduduk Palestina) disepakati atas usulan David Ben Gurion, maka sebulan kemudian, yaitu 14 Mei 1948 negara Yahudi bernama Israel resmi berdiri. Pendirian negara Zionis ini segera memicu protes keras. Terjadilah peristiwa Nakba, yaitu pengusiran tak kurang dari 800 ribu penduduk Palestina hingga 1949.
Tidak kurang dari 500 desa, kota besar dan kota-kota kecil di Palestina pun dihancurkan, dan tak kurang dari 15 ribu penduduk Palestina dibunuh. Sementara 150 ribu penduduk Palestina lainnya tetap tingal di negara Zionis yang baru berdiri.
Kemudian pada 1950 Mesir mengambil alih jalur Gaza. Sementara Yordania menerapkan pemerintahan administratifnya di Tepi Barat. PLO kemudian didirikan tahun 1964. Namun, kerena Zionis Yahudi terus merangsek ke wilayah Gaza, Tepi Barat, Yarusalem Timur, Dataran Tinggi Golan dan Semenanjung Sinai, maka pecah perlawanan melalui Perang 6 Hari pada 5 Juni 1967.
Kemudian setelah perlawanan Intifada Pertama (1987) yang berakhir dengan Perjanjian Oslo (1993), Intifada Kedua (2000) dan meninggalnya Yasser Arafat Pemimpin PLO (2004), 9 ribu tentara Zionis berhasil diusir dari sebagian wilayah pendudukannya.
Setahun kemudian kelompok Hamas menang pada pemilihan umum pertama Palestina (2005). Namun, ini disusul oleh pecahnya perang saudara antara Fatah dan Hamas yang menewaskan ratusan penduduk Palestina.
Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza sehingga Fatah kembali menempati Tepi barat. Kemudian Zionis memberlakukan blokade darat, laut dan udara di Jalur Gaza. Ini karena Zionis menyematkan lebel teroris kepada Hamas.
Pendudukan Zionis Yahudi atas negeri Palestina di Abad 21 masih terus berlangsung. Tercatat kontak senjata terjadi pada 2014 di Jalur Gaza, 2021 di Sheikh Jarrah dekat Masjid al-Aqsha Tepi barat, 2022 di tepi Barat dan 2023, baru-baru ini di Jalur Gaza.
Operasi Badai al-Aqsha pada 7 Oktober 2023 memicu perlawanan dari Zionis Yahudi. Pasukan Hamas menyerang pos-pos militer dan pemukiman Yahudi, kemudian Zionis membalas dengan membombardir warga sipil, perempuan dan anak-anak di Gaza. Selama 40 hari perang, tak kurang dari 11.320 orang penduduk Gaza terbunuh dan 29.200 orang luka-luka, dan kemungkinan terus bertambah.
Akar Masalah Pendudukan Zionis Yahudi dan Solusi Masalah
Sesungguhnya akar masalah di Palestina tak lepas dari persoalan agama. Hingga saat ini memang banyak kalangan mengatakan bahwa masalahnya hanya murni kejahatan dan kemanusiaan.
Namun, itu disebabkan karena mereka tidak mampu meng-ikhsas persoalan hingga ke akarnya. Sebabnya, karena mereka tidak memandang dengan kaca mata risalah yang sahih, tidak menilai dengan tolok ukur yang benar.
Sungguh yang terjadi di Palestina selama ini adalah perang mempertahankan tanah suci umat Islam dan itu adalah soalan agama. Akar masalahnya adalah imperialisme kapitalisme terhadap negeri-negeri Muslim.
Kafir laknatullah ingin menghabisi umat Islam, merusak pemikiran umat Islam, menduduki tanah umat Islam, merampas kekayaan alamnya atau menginjak-injak kemuliaan Islam dan umat Islam. Intinya mereka ingin menguasai dunia dan menerapkan ideologi kufur mereka.
Lalu siapakah yang bisa menolong menghilangkan kezaliman Zionis Yahudi dan para pendukung setianya? Apakah Brigade al-Qassam dan para pemuda Palestina saja? Ataukah para tentara dari negeri-negeri Muslim yang tertahan di barak-barak mereka karena panglimanya lebih cinta dunia?
Sedangkan faktanya para pemimpin negara berotak nasionalis hanya sanggup menggumamkan sepenggal kalimat kecaman sembari menonton di tribun kekuasaan mereka. Sementara yang mereka teriakkan bagi Palestina hanyalah perjanjian dan solusi dua negara! Miris luar biasa!
Sementara itu kezaliman musuh-musuh Islam pun bukan hanya terjadi di Palestina saja, tetapi di berbagai belahan dunia. Fakta sejarah telah banyak bercerita tentang lautan darah dan air mata umat Islam tertumpah demi mewujudkan keserakahan dan kekejaman penerapan ideologi kapitalisme dan komunisme.
Lalu bagaimana keadaan ini bisa dibalikkan hingga Islam menang atas kejahatan dan kezaliman musuh-musuh Islam? Sedangkan janji Allah adalah memberi kemenangan. “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai,” (QS at-Taubah: 33). "Aku dan Rasul-Rasul-Ku pasti menang. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS al-Mujaadilah: 21). Di sinilah daruratnya dibutuhkan kepemimpinan Islam untuk menyatukan umat Islam meraih kemenangan.
Saat ini umat Islam di dunia sangat membutuhkan kepemimpinan global yang digjaya. Kepemimpinan yang sanggup menggerakkan pasukan perang untuk berjihad di jalan Allah. Kepemimpinan yang sanggup menggetarkan musuh dari jarak ribuan kilo meter.
Kepemimpinan yang tidak tunduk pada ideologi lain selain Islam. Kepemimpinan yang tak sudi bersujud pada para penguasa kafir yang pengecut. Kepemimpinan yang menerapkan Islam dalam institusi negara.
Kepemimpinan yang meninggikan Kalimat-Kalimat Allah beserta panji-panji Rasul-Nya. Inilah kepemimpinan khilafah islamiah dalam kerangka Daulah Islam yang menyatukan seluruh umat Islam di dunia. Allahu Akbar![]
Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Ideologis
0 Komentar