Topswara.com -- Siapa pun orangnya, jika beriman kepada Allah akan meyakini bahwa tegaknya hukum Allah secara kaffah adalah sebuah kewajiban.
Maka penting bagi kaum muslim mempelajari Islam dari akar hingga daun agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Terlebih sekarang banyak narasi-narasi yang di gaungkan untuk menjauhkan Islam dari kehidupan.
Seperti yang di lansir dari antaranews.com, Rabu 11 Januari 2024 lalu, Akademisi dari Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf mengingatkan pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai narasi kebangkitan khilafah.
Menurutnya narasi-narasi tersebut berpotensi untuk mendapatkan momentum pada tahun 2024 yang bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhilafan Utsmaniyah. “Potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan menjadi semacam panacea (obat segala penyakit) dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan dan emosi negatif lainnya. Jelas itu menggiurkan bagi beberapa masyarakat”, kata Iqbal Ahnaf dalam siaran resmi Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Jakarta.
Ancaman Bagi Siapa?
Menyatakan bahwa khilafah sebagai ancaman adalah suatu hal yang keliru. Sebab, khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, haji, zakat, dan lainnya. Jadi, jika ada pihak yang masih menganggap khilafah sebagai sekedar narasi, ini sama halnya tidak meyakini apa saja yang Allah tetapkan dalam syariat-Nya.
Mengatakan khilafah sebagai sekedar narasi sama halnya menilai Al-Qur’an dan Sunah bukan sumber hukum yang tepercaya. Khilafah bukanlah sekadar ide, melainkan merupakan hukum Islam seputar sistem pemerintahan Islam yang sudah dijelaskan oleh para ulama muktabar dalam kitab-kitab fikih pemerintahan yang mereka susun.
Sebagai contoh, Imam Al-Mawardi menyusun kitab Ahkam Sulthaniyah sebagai pembahasan tersendiri seputar sistem pemerintahan islam.
Rasulullah SAW juga telah memberikan teladan kepemimpinan di bawah naungan Daulah Khilafah. Adanya khilafah merupakan mahkota kewajiban (taajul furudh) begitu juga dengan menegakkannya. Dengan adanya khilafah, maka syariat Allah secara keseluruhan dapat diterapkan tanpa terkecuali. Diantara dalil yang menyatakannya adalah QS. An-Nisa’: 59),
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْٓا اَØ·ِÙŠْعُوا اللّٰÙ‡َ ÙˆَاَØ·ِÙŠْعُوا الرَّسُÙˆْÙ„َ ÙˆَاُولِÙ‰ الْاَÙ…ْرِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ululamri di antara kalian.”
Berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ululamri merupakan perintah mewujudkannya agar semua kewajiban tersebut terlaksana. Dengan demikian, ayat tersebut pun mengandung petunjuk mengenai wajibnya mengadakan ululamri (khalifah) dan sistem syar’i-nya (khilafah).
Khilafah Ajaran Islam
Menjelaskan khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam kepada umat Islam justru menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mengetahui dan memahami hal ini. Tidak boleh ada yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan dalam menjelaskan setiap perincian dari syariat Islam. Umat harus memahami bahwa dari aspek hukum dan sejarah, mereka punya peradaban agung dan berjaya selama berabad-abad lamanya.
Berdasarkan istilah syar’i, kata “khilafah” merupakan padanan bagi kata imâmah dan imârah al-mu’minîn. Syekh al-‘Allamah Muhammad Najib al-Muthi’i (w. 1406 H) mengatakan, “Al-imâmah, al-khilâfah, dan imâratul-mu’minîn adalah sinonim.” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, 19/191).
Kata “khalîfah”, sebagai sebutan bagi pemimpinnya, juga merupakan sinonim bagi kata imâm dan amîrul mu’minîn. Syekh Al-Muhaddits Muhammad ‘Abdul Hayyi al-Kattani (w. 1382 H) menjelaskan, “Pemimpinnya disebut khalifah karena ia adalah pengganti (Arab: khalîfah) Rasulullah SAW. disebut juga imâm karena menjadi imam dan khathib pada masa Rasul saw. dan Khulafaurasyidin. Ini adalah kelaziman. Tidak ada yang boleh menggantikannya melainkan dengan cara perwakilan, sebagaimana dalam peradilan dan pemerintahan; juga disebut amîrul mu’minîn.” (Nizhâm al-Hukûmah al-Nabawiyyah, 1/79. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, 239; Ibrahim al-Laqqani, Hidâyah al-Murîd li- Jauharah al-Tauhîd, 1279; Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, 19; Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/12).
Dari sini jelas bahwa khilafah, imamah, maupun imaratul mukminin adalah sama. Khalifah, imam, dan amirulmukminin juga sama untuk menyebut sejumlah pemimpinnya. Khalifah juga dikenal dengan al-Imâm al-a’zham (pimpinan tertinggi).
Para ulama telah mengungkapkan dalam penjelasan yang berbeda tentang makna “khilafah”, tetapi semuanya merujuk pada satu makna yang sama. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut, “Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat komprehensif dan umum, terkait dengan masyarakat umum dan khusus, dalam perkara agama dan dunia.” (Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî Iltiyâts al-Zhulam, 217).
“Khilafah mengarahkan seluruh umat berdasarkan sudut pandang syar’i dalam meraih kemaslahatan mereka di akhirat dan kemaslahatan mereka di dunia yang mengacu pada akhirat. Sebabnya, segala kondisi di dunia, menurut syariat, diukur berdasarkan kemaslahatannya di akhirat. Ia pada hakikatnya adalah pengganti Shahib asy-Syar’ (Rasulullah) dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldûn, 239).
“(Khilafah adalah) kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.” (Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, 229-230). (Muslimah News, 27-9-2020)
Khilafah, Mahkota Kewajiban
Dengan penjelasan tersebut, khilafah sebagai ajaran Islam tidak perlu lagi dipersoalkan, apalagi mencari-cari narasi negatif untuk menegasikannya. Bahkan, para ulama menyatakan khilafah adalah mahkota kewajiban, induk dari penerapan hukum Islam secara totalitas.
Tanpa khilafah, hukum-hukum Islam tidak bisa terterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Lantas, di mana letak teoritisnya ketika sistem khilafah ada dalam syariat dan pernah diterapkan selama 13 abad lamanya?
Terhadap khilafah yang merupakan ajaran Islam, para pembenci dan musuh Islam selalu mencari-cari kesalahannya untuk menghilangkan legitimasinya sebagai bagian dari ajaran Islam. Namun, terhadap kapitalisme demokrasi yang jelas-jelas lahir dari pemikiran kufur Barat, mereka mencari-cari pembenaran, bahkan mengutak-atik dalil dengan dalih agar seolah-olah tidak bertentangan dengan Islam.
Sungguh menyedihkan dan miris! Tatkala seseorang mengaku muslim, tetapi lisannya begitu mudah menyebut narasi kebangkitan khilafah sebagai ancaman yang harus diwaspadai. Apakah mereka yang menolak khilafah tidak rela jika Islam bangkit dan kembali memimpin peradaban dunia? Sedangkan kerusakan sistem kapitalisme sudah tampak telanjang, tidak dicari-cari kesalahannya pun sistem bobrok ini sudah menunjukkan kecacatan dan kezalimannya.
Harusnya, sebagai muslim merasa malu kepada Allah dan Rasul-Nya tersebab lisan yang tidak terjaga dari mengumpat pada perkara yang sudah jelas memiliki landasan dalilnya. Janganlah kita terjebak dan termakan narasi dusta Barat dan musuh Islam untuk memonsterisasi ajaran Islam. Ketakutan Barat akan kebangkitan Islam mestinya juga tidak terjadi pada diri seorang muslim. Masa iya muslim takut Islam bangkit?
Jelaslah, khilafah bukanlah suatu ancaman. Melainkan institusi solusi seluruh masalah umat dunia. Tidak ada pilihan lain. Diperjuangkan atau tidak, khilafah akan tetap tegak di muka bumi. Inilah janji Allah SWT. yang pasti diwujudkan.
Jika kita mau belajar sejarah, kita akan mendapati bahwa satu-satunya sistem dan ideologi yang mampu merangkul dan mengurusi urusan masyarakat tanpa melihat status, jabatan, ras, dan golongan justru adalah sistem Islam kaffah dalam institusi khilafah.
Wallahualam.
Oleh: Rines Reso
Aktivis Muslimah
0 Komentar