Topswara.com -- Sepanjang tahun 2023, peningkatan pemberdayaan perempuan berdasarkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dinilai terus meningkat. Disampaikan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Lenny N Rosalin (6/1/2024).
Bertambahnya pemberdayaan perempuan ditunjukkan lewat kenaikan pendapatan yang signifikan di ranah keluarga, serta meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (antaranews.com).
IPG sebagai alat ukur dalam menilai kebijakan pemerintah dalam pembangunan ini dirilis setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (pusaka.magelangkab.go.id pada 3/11/2023).
Penilaian IPG ini bersumber dari penetapan GDI (Gender Development Index) yang diinisiasi oleh suatu organisasi internasional dalam bidang pembangunan yakni UNDP (United Nations Development Programme). Salah satu capaiannya disampaikan Kementerian Luar Negeri RI yakni dengan kenaikan personel peacekeepers perempuan dari 27 orang pada 2014 hingga 119 orang pada akhir 2023.
Di sisi lain, berbagai fakta yang terjadi menunjukkan perempuan masih ditimpa berbagai permasalahan dan penderitaan. Dilansir dari databoks.katadata.co.id (3/1/2024) dari awal tahun 2023 hingga 12/12/2023 ada 22.922 perempuan mengalami kekerasan dengan 58,4 persen diantaranya mengalami kekerasan di rumah tangga.
Belum lagi berbagai kasus pemerkosaan salah satunya terjadi pada gadis berusia 13 tahun di Bintuni oleh 8 orang tetangganya. Selain itu, dari data republika.com (22/9/2023) angka perceraian pada 2022 meningkat 15,31 persen dibandingkan 2021 hingga mencapai angka 516 ribu. Hal ini menunjukkan potret buram yang dialami perempuan dibalik pemberdayaan perempuan lewat isu IPG.
Standar Kehidupan Kapitalistik dan Lemahnya Pemahaman Muslimin
Berbagai permasalahan yang menimpa perempuan hari ini di tengah kondisi pemberdayaannya disebabkan lemahnya pemahaman tentang konsep dan standar kehidupan yang benar. Perempuan terus dijauhkan dari peran fitrahnya sebagai ibu generasi dan peradaban.
Mereka didorong mencari pundi-pundi rupiah demi memenuhi kebutuhan hidup yang makin meningkat. Sistem kapitalisme yang diterapkan yang berporos pada pemberdayaan sumber daya demi peningkatan surplus dan keuntungan industri. Juga memaksa mereka mencurahkan seluruh energinya dalam pekerjaan sehingga tidak ada waktu dan tenaga untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam rumah tangga serta mendidik dan membentuk karakter generasi.
Standar hidup ala kapitalis yang menuntut pencapaian materi perempuan yang setara dengan laki-laki sebagai kesuksesan juga turut membutakan mata sehingga mereka menganggap hal terpenting adalah dapat hidup mandiri dan tidak bergantung pada siapapun.
Pada dasarnya, standar hidup seperti IPG dari sistem kapitalisme dibentuk dari pandangan yang salah yang hanya membedakan laki-laki dan perempuan dari segi fisik. Hal ini menyebabkan aspek-aspek fungsi yang berbeda yang diberikan Allah pada keduanya tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan cenderung diutak-atik.
Pemerhati kemaslahatan publik Dr. Rini Syafri menyatakan “Aspek-aspek fungsi dalam masyarakat yang dikenal sebagai budaya ini saat ini bisa diotak-atik, sehingga ketika aspek fungsi ini tadi diubah maka terjadi perubahan nilai dan perubahan peran antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan nilai yang berpengaruh terhadap perubahan peran inilah yang berbahaya dari sudut pandang gender equality, yang kemudian menjadi dasar munculnya IPG”. Akibat perubahan peran serta didorong oleh paham kebebasan yang diadopsi oleh masyarakat, maka mereka terdorong menuntut kesetaraan peran antara laki-laki dan wanita.
Ketika pandangan terkait pembangunan dalam kapitalisme juga dilandaskan dengan materi yang dihasilkan maka akhirnya Indeks Pembangunan yang dibentuk adalah berbasis pada nilai materi seperti harapan hidup perempuan, akses dan lama pendidikan perempuan, serta kontribusi perempuan pada perekonomian keluarga.
Maka tidak heran, akibat kacaunya peran dan tatanan hidup masyarakat maka terjadi perubahan pola hidup dimana perempuan menjadi mesin produksi industri. Mereka berlomba untuk memperoleh materi tanpa peduli pembangunan generasi di masa depan.
Konstruksi tentang peradaban sesuai fitrah dan syariat tak lagi menjadi tujuan dan arah hidup perempuan, sehingga kerusakan moral generasi semakin nyata.
Kembalikan Perempuan pada Posisi Fitrah
Pembenahan untuk menyelesaikan masalah ini tidak cukup dilakukan lewat pemberdayaan perempuan di ranah publik.
Perubahan dilakukan dengan menarik akar masalah yakni pada sistem. Sistem hidup yang berlandaskan kepentingan materi semata dan mendorong untuk sukses dalam sudut pandang materi tanpa mengindahkan peran fitrahnya harus diganti. Ide kesetaraan gender yang hanya membawa pada tercerabutnya tatanan asli masyarakat akibat berubahnya nilai dan peran antara laki-laki dan perempuan harus dikembalikan sesuai dengan fitrahnya.
Perempuan dengan hak dan kewajibannya sebagai al-umm wa rabbatul bayt (ibu dan manajer rumah tangga) berperan besar untuk mendidik generasi. ‘Aspek fungsi’ perempuan berupa sifatnya yang cenderung penyayang dan lemah lembut menjadikan perannya sebagai pemelihara dalam bahtera rumah tangga dikembalikan sebab menjadi unsur yang sangat penting dalam pembangunan sebuah peradaban.
Begitulah cara kerja sistem Islam yang menempatkan perempuan pada posisi mulia dan terhormat serta sangat strategis karena menjadi tumpuan harapan bagi kualitas serta moral sebuah generasi.
Sementara itu perempuan tidak dibebani dengan kewajiban pencarian nafkah karena pembebanan kewajiban ini diberikan pada laki-laki. Mereka juga tidak terbebani dengan kesulitan ekonomi sebab negara islam menjamin kemudahan masing-masing individu dalam memperoleh seluruh kebutuhan pokok, seperti memberikan layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis.
Sementara untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan, negara akan memudahkan para pencari nafkah (laki-laki) dengan membuka lapangan pekerjaan, memberi bantuan modal usaha, dan membekali dengan keterampilan agar mereka dapat melakukan pekerjaan. Negara melakukan hal tersebut agar kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki dapat tertunaikan.
Perempuan akhirnya tidak mengejar prestige duniawi yang dibisikkan oleh peradaban kapitalis. Kontribusi mereka di ruang publik akhirnya bisa dilakukan tanpa meninggalkan peran domestiknya sebagai ibu. Hak-hak perempuan sebagai warga negara akan dicukupi.
Pembentukan generasi bersinergi dengan kurikulum sekolah yang berbasis islam akan menghadirkan generasi berkepribadian islam yang teguh pada keimanan dan memahami syariat secara utuh, sehingga mampu membentuk ketakwaan individu maupun masyarakat. Oleh karena itu terciptalah generasi dan peradaban yang harmoni dan taat pada hukum dan standar syariat Allah semata.
Oleh: Meutia Rahmi Afifa
Aktivis Muslimah
0 Komentar