TopSwara.com – Impor beras terus digenjot. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) makin deras mendatangkan beras impor, yang diperkirakan hingga mencapai 3 juta ton di tahun 2024. Kali ini, alasan Jokowi karena penduduk Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Katanya, setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya. Tak ketinggalan, El Nino juga menjadi salah satu alasan digenjotnya impor beras ini.
Berbeda dengan alasan tahun lalu, kala itu alasannya hasil produksi beras petani sulit diserap, sehingga Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mulai defisit. Sepanjang 2023, impor beras mencapai 3,5 juta ton beras dan terealisasi 3 juta ton sisa 500 ribu ton akan masuk di tahun 2024. Tahun ini, impor beras juga ditujukan untuk memenuhi keseimbangan stok CBP.
Padahal, setiap tahunnya hasil produksi beras petani selalu surplus. Tahun 2022 produksi beras mencapai 31,54 juta ton sedangkan kebutuhan konsumsi setahun 30,2 juta ton. Begitu juga dengan produksi beras tahun 2023 sebanyak 30,9 juta ton dengan kebutuhan konsumsi hanya 30 juta ton.
Sejatinya, ketakutan pemerintah akan ketidakmampuan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan beras rakyat dan cadangan beras pemerintah, tidak lain karena ada yang salah dalam tata kelola negara yang menggunakan paradigma kapitalisme. Tata kelola sistem ekonomi kapitalis perlahan mengubur harapan kedaulatan pangan.
Mengapa impor beras mengubur harapan kedaulatan pangan dalam sistem ekonomi kapitalis? Apa dampak terkuburnya harapan kedaulatan pangan dalam sistem ekonomi kapitalis? Bagaimana strategi mewujudkan kedaulatan pangan dalam Islam?
Harapan Kedaulatan Pangan Terkubur dalam Sistem Ekonomi Kapitalis
Di tahun 2021 dan 2022 impor beras masih dikisaran 500 ribu ton. Namun, impor beras mulai digenjot sejak tahun 2023 yang mencapai 3,5 juta ton dan memasuki tahun 2024 sudah siap-siap impor 3 juta ton beras.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pemerintah melalui Perum Bulog telah menandatangani kontrak impor beras sebesar 1 juta ton dari India dan sebanyak 2 juta ton dari Thailand. (CNN Indonesia, 10-1-2024)
Ternyata, impor komoditas pangan ini bukan hanya beras saja. Beberapa komoditas pangan juga kebutuhan stoknya dipenuhi dengan impor. Berdasarkan data detikFinance (6-1-2024), pemerintah menetapkan kuota impor sejumlah komoditas untuk cadangan pangan pemerintah (CPP) untuk 2024. Di antaranya impor gula konsumsi atau Gula Kristal Mentah (GKM) ditetapkan sebanyak 708 ribu ton, impor untuk komoditas daging kerbau sebanyak 100 ribu ton yang ditugaskan ke Perum Bulog dan swasta mendapatkan kuota impor daging kerbau sebanyak 50 ribu ton, impor daging sapi 20 ribu ton, dan impor jagung sebanyak 500 ribu ton untuk pakan peternak.
Inilah wujud tata kelola sistem ekonomi kapitalis dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Kedaulatan pangan yang digembar-gemborkan pemerintah dalam sistem ini kandas oleh berbagai kepentingan lainnya. Beberapa faktor yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalis niscaya menguburkan harapan kedaulatan pangan, di antaranya:
Pertama, impor dijadikan sebagai solusi pragmatis atas pemenuhan kekurangan stok bahan pangan. Niscaya dalam sistem ini didapati para penguasa yang lebih mengedepankan cara praktis dalam menyelesaikan masalah daripada mencari solusi mendasar. Terlebih, sudah menjadi ketentuan global bagi negara yang ikut menandatangani WTO, maka impor adalah hal yang tak bisa dihindarkan, apalagi Indonesia adalah anggota WTO. Ketika ingin ekspor, maka harus impor.
Kedua, impor menjadi alat memperoleh keuntungan atau cuan. Bahkan, cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan keputusan impor tahun ini yang diputuskan sejak awal tahun lalu tidak lah wajar. "Jadi keputusan impor beras untuk tahun ini memang terbilang aneh, apalagi jumlahnya sampai 3 juta ton. Padahal, target stok aman CBP untuk tahun lalu hanya sekitar 1,2 juta ton, yang mana stok saat ini saja sebenarnya sudah lebih mencukupi yakni 1,4 juta ton. Jadi dengan target 6,5 juta ton untuk awal tahun ini nilainya cukup membagongkan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/1).
Ketiga, berkurangnya lahan petani akibat gempuran investasi. Dalam pembangunan yang bertumpu pada kapitalisme telah banyak menggusur lahan pertanian demi berbagai proyek strategis negara. Atas nama investasi yang dilegalkan dengan UU Omnibus Law, memberi karpet merah para investor menguasai lahan rakyat.
Alih fungsi lahan pertanian akibat pembangunan kapitalisme kian tak terbendung, sungguh ironi lantaran kebutuhan lahan pertanian diprediksi terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Dilansir dari situs resmi BPS, data tahun 2023 menunjukkan luas panen padi 2023 seluas 10,20 juta hektar, turun 0,26 juta hektar dari tahun 2022 yang seluas 10,45 juta hektar.
Sedangkan, berdasarkan data yang diolah oleh Kompas.id (12-10-2023), berdasarkan data BPS, lahan baku sawah 2023 seluas 7,4 juta hektar. Turun sekitar 7 persen dibandingkan dengan lima tahun lalu. Diperkirakan ketersediaan lahan pada tahun 2035 hanya tersisa 6,2 juta hektar.
Keempat, kapitalisasi berbagai kebutuhan petani. Dalam sistem ekonomi kapitalis, negara nyaman memposisikan diri sebagai regulator bagi kapitalis dan rakyat. Akibat kapitalisasi, pupuk subsidi dibatasi sehingga para petani terpaksa harus membeli pupuk dengan harga mahal. Mahalnya berbagai kebutuhan bibit, pupuk, dan kebutuhan lainnya menjadikan petani sulit untuk bertahan.
Sistem ekonomi kapitalis menjadikan impor beras sebagai solusi pragmatis, tanpa berusaha maksimal mencari langkah solutif dan antisipatif dalam menyelesaikan persoalan mendasar di tengah alih fungsi lahan, berkurangnya petani, dan sulitnya petani untuk bertahan. Alhasil, harapan kedaulatan pangan benar-benar terkubur dalam sistem ekonomi kapitalis.
Dampak Terkuburnya Harapan Kedaulatan Pangan
Impor yang terus digenjot secara terus menerus tentu bukan menjadi solusi mendasar bagi persoalan pangan di Indonesia. Sudah tentu mengubur harapan kedaulatan pangan yang setia menjadi program pemerintah di setiap masa jabatannya. Sayangnya harapan mereka, terutama di pemerintahan Jokowi ini nampak makin terkuburkan seiring digenjotnya berbagai impor komoditas pangan, terutama beras.
Terkuburnya harapan kedaulatan pangan tentu tidak hanya membuat pemerintah sedih, jikalau memang para penguasa masih memiliki rasa tanggung jawab mengurusi rakyatnya. Jika benar, harusnya para penguasa mencari solusi mendasar persoalan pangan bukan solusi pragmatis seperti derasnya impor beras.
Tentu yang paling benar bersedih dan terdampak dari terkuburnya harapan kedaulatan pangan adalah rakyat, di antaranya:
Pertama, merugikan para petani Indonesia. Apabila pengelolaan pangan yang kapitalistik ini terus berlanjut akan berdampak merugikan bagi para petani di dalam negeri. Alih-alih stok CBP menipis seperti alasan akhir 2022 hingga mendatangkan 3,5 juta ton beras di tahun 2023, bahkan saat ini stok CPB aman di angka 1,4 juta ton beras, tetapi pemerintah masih menggenjot impor 3 juta ton beras.
Jadi, jika stok CPB aman dan produksi beras petani surplus, tetapi pemerintah masih mencari alasan untuk tetap mendatangkan beras dari luar negeri. Maka, kebijakan ini untuk kepentingan siapa? Yang seharusnya menjadi konsen utama pemerintah adalah bagaimana menstabilkan harga beras di pasaran, dan menyerap hasil panen petani dengan harga yang layak sehingga tidak merugikan petani. Bukan malah menjadikan impor sebagai jalan keluar atas persoalan ini.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menilai keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai kebutuhan data. Pasalnya kebutuhan di awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Berarti yang menjadi soal bukan hanya di produksi, tapi manajemen stok dan distribusi. Karena 90 persen distribusi beras dikendalikan swasta (masyarakat, penggilingan beras, korporasi). (CNN Indonesia, 10-1-2024)
Kedua, merugikan pemerintah karena kandas harapan kedaulatan pangan yang telah diprogramkan dan menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Jika impor terus menjadi solusi, tetapi tidak membenahi distribusi, kerugian pemerintah nampak seperti pada tahun 2018. Dilansir dari CNBC Indonesia (26/6/2018), Perum Bulog menginventarisasi 200.000 ton beras kadaluarsa yang memiliki umur lebih dari 1,5 tahun tersimpan di seluruh gudang perusahaan. Begitu juga di tahun 2019, dilansir dari CNN Indonesia (29/11/2019), Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar.
Terkuburnya harapan kedaulatan pangan akibat kebijakan pemerintah sendiri yang lebih memilih cara praktis tentu akan menurunkan nilai kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat akan melihat minimnya rasa tanggung jawab penguasa atas kepengurusan terhadap mereka.
Bahkan, telah timbul kecurigaan dari beberapa ekonom akan keanehan harga beras di pasaran, impor deras tapi harga beras terus merangkak naik dan tidak turun. Berdasarkan Katadata (16-1-2024), Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga beras kualitas medium i (per kg) harian di pasar modern di beberapa provinsi telah menyentuh angka Rp 15,27 ribu rupiah per kg, data per Jumat, 12 Januari 2024. Secara keseluruhan, rata-rata minggu ini naik dibandingkan rata-rata pekan sebelumnya yang tercatat Rp. 15,14 ribu rupiah per kg.
Ketiga, menghancurkan harapan rakyat akan harga pangan yang murah. Apabila kedaulatan pangan tak kunjung terealisasi, alhasil harga pangan akan terus mengalami peningkatan seperti harga gula dan beras saat ini di pasaran. Padahal, pangan merupakan kebutuhan dasar seluruh manusia, terpenuhinya suatu keharusan. Alhasil, tingkat kemiskinan dan ketidaksejahteraan rakyat jatuh makin dalam.
Strategi Islam dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Pangan yang merupakan kebutuhan pokok tiap individu. Dalam Islam, negara yang memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan dasar ini. Kedaulatan pangan menjadi keharusan untuk diwujudkan.
Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, negara akan melakukan beberapa mekanisme, di antaranya:
Pertama, negara akan turut andil memproduksi pangan dengan memiliki lahan pertanian sendiri.
Kedua, menghidupkan tanah mati dan tidak membiarkan adanya lahan tak berfungsi. Dalam Islam, siapa yang menghidupkan tanah mati setelah ditelantarkan selama 3 tahun, maka berhak memiliki tanah tersebut.
Ketiga, negara memberi perhatian yang maksimal kepada petani. Menyediakan subsidi yang dibutuhkan para petani, membantu petani yang membutuhkan modal, dengan pinjaman tanpa riba, atau bantuan yang cuma-cuma. Begitu pula dengan kebutuhan pupuk dan bibit, pemerintah menyediakan dengan harga murah dan terjangkau. Para petani yang menjadi roda penggerak pertanian harus mendapat perhatian penuh dari negara.
Keempat, negara melakukan berbagai penelitian dan inovasi dalam bidang pertanian demi memajukan sektor pertanian.
Kelima, menyerap hasil panen petani dengan harga yang layak, sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi petani.
Keenam, negara mengawasi rantai distribusi, memastikan tidak ada kecurangan dan penimbunan di pasar. Dengan distribusi yang benar, setiap daerah tidak akan ada yang mengalami kelangkaan, sehingga menstabilkan harga pasar.
Ketujuh, negara tidak melakukan impor ketika kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi apalagi dalam kondisi surplus. Impor menjadi solusi akhir ketika negara sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan komoditas pangan tersebut.
Islam dengan seperangkat aturannya yang sempurna memiliki sistem pengelolaan yang shahih, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani sehingga dapat berproduksi optimal. Dan tidak menjadikan impor sebagai cara praktis memenuhi kekurangan stok kebutuhan pangan, apalagi sekadar sebagai ladang meraih keuntungan. []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Aktivis Muslimah
0 Komentar