Topswara.com -- Kenaikan indeks pembangunan gender di Indonesia disambut penuh euforia. Banyak kalangan yang berharap indeks yang menggambarkan kesetaraan antara pria dan wanita ini cukup mewakili meningkatnya kesejahteraan perempuan.
Tidaklah berlebihan, karena parameter untuk mengukur indeks tidak jauh dari keterlibatan perempuan pada aspek ekonomi. Sebagian kalangan yang lain menilai, kenaikan indeks ini bermakna bahwa negeri ini telah sukses mengemban amanah internasional.
Sebagaimana yang menjadi pembahasan utama dalam pertemuan G-20 yang bertajuk "Pemberdayaan Perempuan di bidang ekonomi yang merupakan titik awal dalam mengatasi berbagai permasalahan terkait perempuan dan anak."
Bermula dari laporan UN women sebagaimana dikutip oleh Kompas yang mengatakan bahwa, lebih dari 340 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia bakal hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Ini adalah gambaran suram capaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam SDGs (kompas.com, 11/9/23). Maka jika Indonesia mampu meningkatkan angka kesetaraan, ini satu capaian luar biasa menurut mereka.
Akar Masalah Perempuan
Alur berpikir yang coba dibangun para aktivis gender hari ini adalah bahwa telah terjadi kemiskinan yang mendera perempuan. Ketidakberdayaan ekonomi membuat perempuan mudah ditindas dan rawan menjadi korban kekerasan. Karena itu perempuan harus berdaya secara ekonomi.
Dan semuanya ini harus diawali dengan membuat perempuan dan laki-laki setara. Dengan alur berpikir demikian layak kita bertanya, benarkah pemberdayaan ekonomi ini demi perempuan?
Nyatanya kemiskinan di seluruh dunia Khususnya negara-negara dunia ketiga adalah kemiskinan struktural.
Korban kemiskinan tak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Kemiskinan ini diciptakan oleh penerapan sistem ekonomi ala kapitalisme. Sistem ekonomi yang hanya berpihak pada para pemilik modal saja.
Sistem yang membuat para oligarki menguasai mayoritas kekayaan negeri. Dan membuat rakyat makin tergilas, mencukupkan rakyat sebagai konsumen produk mereka hingga cuan tetep kembali pada pemilik modal.
Rakyat termasuk perempuan dialihkan fokusnya dari penjajahan gaya baru ini melalui narasi perempuan harus berdaya secara ekonomi. Perempuan harus bekerja agar kemiskinan terjauh kan dari dirinya. Seakan penyebab kemiskinan di negeri ini adalah perempuan.
Kemudian dengan retorika pemberdayaan ekonomi perempuan, mereka tampil bak pahlawan yang menolong kaum perempuan.
Jika kita perhatikan kalimat Hillary Clinton dalam sebuah konferensi di Peru. Dia mengatakan, "Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan membuat kita kehilangan banyak sekali pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di setiap wilayah di dunia. Di asia pasifik lebih dari $40 milliar dari PDB yang hilang setiap tahun". Dari ungkapan ini sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan hakikatnya bukan untuk kepentingan perempuan, tapi semata untuk kepentingan negara kapitalis.
Dampak Narasi PEP
Narasi pemberdayaan perempuan telah membius perempuan hingga menjadikan banyak perempuan ridha menjadi skrup penggerak ekonomi. Sementara para kapital tetap melenggang dengan menguasai aset SDA dan sektor ekonomi strategis lainnya.
Konyolnya hal ini didukung dunia pendidikan era kini. Pendidikan perempuan di perguruan tinggi pun sekadar diarahkan agar perempuan memperkuat ekonomi dan mengurangi ketimpangan.
Maka dari itu berharap kesejahteraan perempuan pada narasi kesetaraan gender yang menopang pemberdayaan ekonomi perempuan adalah ilusi.
Narasi ini tidak hanya makin menyusahkan perempuan dengan peran ganda yang harus ditanggungnya. Narasi ini juga telah menghilangkan sisi fitrah perempuan. Hilangnya sisi fitrah perempuan jelas akan menuntun perempuan pada kondisi mental illnes.
Belum lagi jika kita kaitkan dengan destruksi sosial bagi perempuan, generasi, dan peradaban. Kesetaraan gender banyak sekali mengantarkan pada rusaknya tatanan sosial. Banyaknya perempuan yang memilih berkarir dan menunda usia pernikahan akan berdampak pada berkurangnya angka kesuburan. Apalagi jika mereka memilih child free jelas ancaman penurunan angka kelahiran akan menjadi bencana dikemudian hari.
Narasi kesetaraan gender juga kerap menyudutkan peran utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka tak heran naiknya indeks pembangunan gender ini juga diikuti dengan makin tingginya angka perceraian di negeri ini.
Efek lanjutan dari perceraian biasanya adalah terabaikannya generasi. Aroma persaingan perempuan dan laki-laki yang sering dihembuskan dalam narasi kesetaraan gender memicu buruknya relasi perempuan dan laki-laki. Hal ini mengantarkan perempuan mudah menjadi subyek/ obyek kekerasan, rumah tangga makin timpang hingga jauh dari kata harmonis.
Itulah kenapa angka KDRT pun masih tinggi hingga saat ini. Berikutnya ketika pernikahan tak lagi menjanjikan kebahagiaan maka liberalisasi pergaulan akan jadi pilihan.
Islam Memuliakan Perempuan
Islam memandang wanita dengan mulia. Serangkaian hukum syariah telah disiapkan untuk menjaga perempuan sehingga bisa optimal perannya di ranah privat dan publik.
Sedari awal Islam tidak sepakat dengan ide kesetaraan gender. Ada kalanya Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki sehingga keduanya mendapat beban dan tanggung jawab yang sama. Semisal dalam hal ibadah. Taklif shalat pada laki-laki sama dengan taklif shalat pada perempuan. Pahala nya pun sama.
Namun ada kalanya Islam memandang laki-laki dan perempuan itu berbeda. Dilihat dari sisi fitrah kelelakian dan fitrah keperempuanan. Hal ini sebagai bukti adilnya Allah dalam memperlakukan keduanya.
Perempuan yang dalam tubuhnya dikaruniai rahim, maka Allah taklif kan padanya perintah menyusui dan mengasuh. Di sisi lain agar kewajiban perempuan berjalan dengan baik, Allah taklifkan mencari nafkah pada pundak laki-laki.
Selamanya perempuan tidak dibebani masalah nafkah. Kemuliaan perempuan justru ada pada saat dia menerima nafkah dari suami atau walinya. Penafkahan ini pun wajib diberikan dengan makruf. Artinya benar benar dipastikan nafkah tersebut bisa memenuhi kebutuhan perempuan dengan baik.
Islam juga telah memberikan seperangkat aturan agar para laki-laki mampu menjalankan kewajibannya. Di antaranya adalah negara dalam Islam wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki. Islam juga mengamanatkan pada para pemimpin negeri Agar seluruh kebutuhan pokok tiap rakyat terpenuhi, individu per individu.
Adapun mekanisme Islam dalam memenuhi hal tersebut adalah mengatur masalah kepemilikan. Ada 3 jenis kepemilikan dalam Islam yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, kepemilikan negara.
Sesuatu yang terkategori kepemilikan umum tak bisa dimiliki baik individu maupun negara, begitu pula sebaliknya. Barang tambang, hutan, laut merupakan contoh kepemilikan umum. Dengan dikelolanya kepemilikan umum ini dengan baik hasilnya jelas sangat mungkin untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Hari ini kepemilikan umum banyak dikuasai individu sehingga sangat wajar hasilnya tak pernah dinikmati banyak rakyat. Para kapitalislah yang menguasai sehingga harta hanya berputar di kalangan mereka saja.
Adanya larangan menimbun harta juga akan mendorong seseorang yang punya kelebihan rezeki untuk mengembangkan hartanya dengan membuka lapangan kerja. Dan masih banyak lagi mekanisme yang disiapkan Islam untuk menjamin terpenuhinya kesejahteraan rakyat termasuk perempuan.
Tidak diwajibkannya bekerja pada perempuan bukan berarti Islam melarang sepenuhnya perempuan berkiprah di ranah publik. Perempuan boleh bekerja asal pekerjaan tersebut dihasilkan oleh tangannya. Bukan karena kecantikan atau tubuhnya.
Hal ini adalah wujud penjagaan Islam untuk menjauhkan perempuan dari pelecehan. Dalam Islam, perempuan diizinkan menimba ilmu dan berkontribusi sesuai bidang keilmuannya. Terbukti banyaknya ilmuan dari kalangan perempuan di era kejayaan Islam.
Dalam bingkai negara khilafah, saat itu perempuan bisa berkiprah di ranah publik tanpa harus meninggalkan fitrah keperempuanannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Maka jika perempuan serius menghendaki perannya mulia dan menghantarkan pada sejahtera. Tiada jalan lain selain harus berjuang bersama untuk mewujudkan penerapan syariah Islam yang kaffah. []
Oleh: Titin Erliyanti
(Pemerhati Ibu dan Generasi, Tinggal di Bantul, DIY)
0 Komentar