Topswara.com -- Allah SWT. telah memerintahkan kita untuk memenuhi janji-janji kita, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Penuhilah oleh kalian janji itu karena sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggung jawaban (TQS al-Isra’ [17]: 34).
Muadz bin Jabbal ra. bertutur, “Rasulullah SAW. pernah berkata kepada diriku, ‘Aku mewasiatkan kepada engkau agar selalu bertakwa kepada Allah, berkata jujur, menunaikan amanah, memenuhi janji…’” (An-Nawawi, Riyadh Shalihin, I/94).
Sebaliknya, jika memang kita khawatir janji itu tidak terpenuhi atau kita khawatir mengkhianati janji kita, maka selayaknya kita tidak boleh banyak mengumbar janji karena janji serupa dengan utang yang mesti dibayar.
Allah SWT telah mencela orang-orang yang ucapannya tidak sesuai dengan tindakannya (QS ash-Shaff [61]: 2-3). Rasulullah saw. bahkan memasukkan perbuatan tidak memenuhi janji sebagai salah satu tanda orang munafik. Beliau bersabda sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra., “Tanda munafik itu ada tiga: jika bicara banyak berdusta; jika berjanji sering mengingkari; jika diamani banyak mengkhianati.” (Mutaffaq ‘alaih). Dalam riwayat Imam Muslim ditambahkan, “…meskipun dia berpuasa, shalat dan mengaku dirinya Muslim.”
Karena itu menepati atau memenuhi janji adalah keharusan, kecuali ada uzur atau alasan. Jika saat berjanji memang ada niatan untuk tidak memenuhi atau menepati janji tersebut maka itulah salah satu perbuatan munafik (Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, I/15).
Demikian pula dusta dalam ucapan dan sumpah; keduanya termasuk ke dalam dosa dan aib. Imam al-Hasan ra. berkata, “Sesungguhnya pangkal perbuatan munafik adalah dusta.” Imam al-Hasan ra. juga berkata, “Sungguh besar pengkhianatan jika kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu ucapan, lalu sadaramu itu membenarkannya, sementara kamu malah berdusta.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/292-231).
Apalagi jika pengkhianatan janji itu dilakukan oleh para pemimpin dan para calon pemimpin masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap pengkhianat memiliki panji pada Hari Kiamat kelak sesuai dengan kadar pengkhianatannya. Ingatlah, tidak ada pengkhianatan yang lebih besar dari (pengkhianatan) seorang pemimpin masyarakat.” (HR Muslim).
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
0 Komentar