Topswara.com -- Libur akhir semester telah tiba, saatnya rehat sejenak setelah 6 bulan berkutat di sekolah. Banyak yang beranggapan profesi guru adalah yang paling santai dengan jadwal libur yang banyak.
Apalagi dalam sehari tidak semua waktu dihabiskan di sekolah sebagaimana buruh pabrik yang hampir tidak pernah melihat matahari. Berangkat sebelum terbit dan pulang setelah tenggelam.
Namun benarkah bisa sesantai itu? Bagaimana dengan hasil sejumlah penelitian yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan dan guru di Indonesia secara umum masih terbilang rendah? Mampukah terselesaikan dengan bersantai?
Berdasarkan data yang dirilis Worldtop20.org peringkat pendidikan Indonesia pada 2023 berada diurutan ke 67 dari 209 negara di dunia. Salah satu yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas guru.
Hasil dari UKG tahun 2021 sampai 2015, sekitar 81 persen guru di Indonesia bahkan tidak mencapai nilai minimum. Penelitian Bank Dunia, misalnya, menyatakan bahwa banyak guru yang memiliki kompetensi dan kemampuan yang rendah dalam mengajar.
Sementara itu, penelitian SMERU Research Institute mengungkap bahwa salah satu penyebab signifikan dari rendahnya kualitas guru di Indonesia adalah proses perekrutan guru yang cenderung bertujuan untuk memenuhi kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN), daripada berfokus pada pencarian guru yang berkualitas dan profesional.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa sistem pendidikan guru yang ada sejauh ini belum mampu menghasilkan guru yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan berkualitas.
Memang benar, banyak diantaranya yang memilih kuliah jurusan keguruan tetapi bukan untuk benar-benar menjadi guru melainkan sekedar batu loncatan sebelum mendapatkan karier yang lebih baik. Secara, jika dibandingkan dengan jurusan lain, jurusan keguruan adalah yang paling murah. Tidak heran banyak peminat gelar sarjana yang nimbrung kuliah di sana.
Di tengah tingginya harapan akan kualitas guru, sayangnya justru banyak problematika menjerat para guru hari ini. Dari rentannya mereka mengalami stress akibat bergonta-gantinya kurikulum berikut implikasinya, persoalan kesejahteraan yang tidak bisa membuat mereka fokus hanya pada tugas sebagai guru, hingga bayang-bayang ancaman kriminalisasi atas pilihan sikap mereka saat mendidik generasi hari ini.
Indonesia telah banyak mengalami perubahan kurikulum, di antaranya kurikulum 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, dan ter- akhir 2013. Perubahan kurikulum sering dipengaruhi oleh faktor politik. Dengan bergantinya pemangku kekuasaan, berganti pula kurikulum pendidikan.
Pergantian kurikulum juga dipengaruhi oleh situasi global, seperti ketika terjadi pandemi covid- 19 dengan menggunakan metode belajar dari rumah. Sudah tentu hal itu membutuhkan keterampilan dan penguasaan teknologi.
Beban guru semakin berat, di satu sisi harus menyediakan alat komunikasi yang lebih canggih guna pelaksanaan belajar online. Guru juga mendapat kenyataan pahit tunjangannya tidak diberikan karena dialihkan untuk dana bantuan sosial guna penanganan korban pandemi.
Dan hal itu bukan hanya terjadi saat pandemi, ketika penguasa membutuhkan dana tambahan dalam pembangunan, maka yang ditahan atau diperkecil anggarannya adalah tunjangan guru. Itu yang terjadi kepada guru ASN, sedang guru honorer lebih parah lagi. Gaji yang hanya sedikit, terkadang harus menunggu berbulan-bulan.
Jangankan untuk beli seragam, untuk ongkos dan makan saja kurang. Bagaimana mau sejahtera? Sementara beban pekerjaan kadang lebih berat dari guru ASN. Pantas saja banyak guru yang terjerat pinjol.
Khusus pergantian kurikulum merdeka dirasa terlalu cepat, dan belum matang. Guru harus terus mempelajari kurikulum yang baru yang pasti memerlukan waktu dan pikiran para guru.
Kebijakan pendidikan yang diterapkan juga membuat peran guru hari ini mengalami disorientasi, yaitu lebih sibuk mengurusi administrasi dan mengejar sertifikasi. Diantaranya, guru disibukkan dengan membuat rencana pembelajaran yang semakin kompleks, proses konfirmasi kehadiran yang semakin rumit hingga tidak fokus dalam membentuk karakter generasi.
Pada hakikatnya adanya gonta-ganti kurikulum yang sebenarnya hanya ganti chasing saja, tapi aroma sekuler tetap ada, yang bertujuan hanya mengejar kesuksesan materi.
Tidak sampai di sana. Semakin hari perlakuan terhadap guru semakin tiada adab dari murid, maupun orang tua/wali murid. Banyak sudah kasus yang terekspose, dan yang tidak terekspose lebih banyak lagi. Teguran tanda kasih sayang dan perhatian disalah artikan dengan pelanggaran HAM.
Mirisnya, penguasa bukannya memberikan pembelaan dan dukungan, malah semakin menyudutkan. Akibatnya banyak perlakuan balasan yang tidak mengenakan bahkan di luar batas kewajaran. Ibarat air susu dibalas dengan air tuba. Cacian, hinaan, dan menjadi bulan-bulanan seolah sudah biasa. Bahkan ada yang harus berakhir di jeruji besi dan kematian.
Begitulah nasib guru saat ini sebagaimana nasib gula dalam segelas kopi. Jika kopinya tidak enak, maka yang disalahkan adalah gula. Terlalu manis atau kurang manis. Tapi ketika kopinya enak, maka yang dipuji adalah kopi, mantap sekali kopinya.
Inilah buah simalakama sistem kapitalisme, dimana guru dipaksa untuk mencerdaskan anak bangsa tanpa diberi kesempatan untuk mengupgrade diri agar lebih cerdas. Tidak heran akhirnya lahir generasi yang hanya bernilai bagus di atas rapot atau ijazah, tetapi buruk dalam praktek di lapangan apalagi menyangkut akhlak dan moral.
Berbagai pelatihan online maupun offline yang diselenggarakan pemerintah nyatanya tidak semua dapat dipraktekkan. Apalagi kondisi lingkungan masyarakat terutama dalam aspek ekonomi dan sosial, mau tidak mau memaksa mereka mencukupkan hasil pelatihan sebatas teori dan kenangan yang tertuang dalam sebuah sertifikat.
Berbeda dengan sistem Islam dimana pendidikan mendapat prioritas utama. Pendidikan berbasis akidah Islam bukan hanya diterapkan bagi pelajar, tetapi bagi pengajar dan seluruh staf yang berkaitan.
Dalam sistem Islam guru bukanlah "Pahlawan tanpa tanda jasa" yang kesejahteraannya pun sering diabaikan. Justru dalam sistem Islam guru benar-benar sebagai "Pahlawan paling berjasa" yang kesejahteraannya pun dijamin negara sehingga mereka dapat memenuhi peran sebagai pendidik dan agen perubahan.
Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara, termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari Al-Wadliah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji guru 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas).
Demikianlah Islam memuliakan guru sehingga darinya lahir ilmuwan-ilmuwan berkualitas dan pemimpin-pemimpin peradaban. Darinya pula Islam mencapai puncak kemuliaan dan kegemilangannya. Hanya dengan penerapan sistem Islam semua keinginan dan harapan ini akan dengan mudah tercapai.
Wallahu'alam bishshawab.
Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar