Topswara.com -- Hiruk-pikuk pesta demokrasi sedang ranum-ranumnya di negeri ini. Hingga antusiasme masyarakat sangat tinggi untuk menyaksikan debat gagasan baik capres maupun cawapres. Suatu hal itu sudah tidak terelakkan lagi bagi mereka yang masih berharap banyak pada sistem demokrasi.
Dalam debat banyak tema yang di bahas di antaranya, pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik.
Sepanjang debat capres nomor urut 01, 02 dan 03 saling unjuk kapabilitas untuk menaikkan popularitas pada rakyat. Supaya dianggap pantas.
Alih-alih menampakkan kapabilitas justru semakin menampakkan kengerian dalam dalam sistem demokrasi yaitu tak ada kawan atau lawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi. Awalnya saling rangkul tiba-tiba saling sikut.
Dalam debat tersebut ketika salah satu paslon menjawab persoalan geopolitik dunia yang mana Capres paslon 02 adalah seorang menteri pertahanan yang menanggapi bahwa "Saya tegaskan kembali bahwa pelajaran sejarah manusia yang lemah akan selalu ditindas. Kita lihat apa yang terjadi di Gaza, kita tidak boleh lemah ditindas negara lain," ujar dia.
Padahal, kenyataannya warga Gaza baik wanita, anak kecil, laki-laki atau perempuan. Mereka berupaya mengusir laknatullah Israel yang dibalut dengan keimanan yang tinggi.
Mengatakan Gaza adalah pelajaran tentang kelemahan suatu negeri, apatah lagi dilisan seorang menteri pertahanan adalah wujud hipokritnya penguasa dunia kini. Apakah beliau lupa bahwa negeri yang pertama kali memberikan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia adalah Palestina itu sendiri?
Kemudian, apa yang terjadi pada serangan 07 Oktober 2023 bukanlah awal dari perang yang terjadi di Palestina, tapi sudah menjadi konsekuensi dari perbuatan zalim Israel dan kroninya, yaitu perlawanan.
Hari ini dunia mungkin banyak menghujat. Menyanyangkan serangan balasan yang diawali dari kelompok Hamas yang tangguh itu. Menganggap mereka sedang bunuh diri saja melawan Israel.
Padahal dunialah yang buta, amat lemah kepiawaian perangnya, sehingga dalam membaca bahwa tentara yang menyerang warga sipil adalah kekalahan telak satuan militer suatu negeri.
Militer Israel telah melakukan genosida pada anak-anak dan wanita yang ada di Palestina. Karena tak mampu menyentuh kelompok-kelompok perjuangan dari berbagai elemen yang ada di Palestina.
Selain itu, tatkala dalam perdebatan mencuat kembali mengenai alutsista yang dibeli bekas membelinya dari negara lain. Berbeda dengan pejuang Palestina yang telah membuat rakitan senjata made in Palestina yang mampu meledakkan tank-tank merkava yang katanya butuh kekuatan besar untuk menghancurkannya.
Adapun berperang jarak dekat, tidak jarang pejuang di Palestina, laki-laki yang berasal dari masyarakat sipil sudah tak menggunakan pelindung dalam menghadapi musuh namun dapat menembak senjata tepat sasaran.
Bahkan, Palestina melalu jubir Abu Ubaidah tak pernah mengemis bantuan sekalipun pada negeri-negeri arab. Cukup mengatakan “la samhillah” yang berarti amit-amit.
Inilah akhir zaman yang sedang menyingkapkan perbendaharaannya. Kemuliaan perjuangan orang-orang di Palestina yang tidak diperhitungkan dunia yang di isi oleh penguasa-penguasa pecundang.
Penguasa yang tak mampu menembus batas-batas penjajahan. Bahwa penjajahan bukan secara fisik lagi, namun secara fikrul (pemahaman).
Sikap kepecundangan penguasa tak terlepas dari hilangnya mahkota kewajiban, yakni sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam tidak akan memberikan kesempatan pada calon-calon pemimpin yang haus kekuasaan. Apatah lagi menghianati kepentingan kaum muslim khususnya dan umat manusia lainnya.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd.
Pemerhati Media
0 Komentar