Topswara.com -- Pergantian hari, bulan dan tahun sebenarnya fenomena alam. Baik tahun syamsiyyah (miladiyah/Masehi) maupun qomariyah (hijriyah) keduanya mengikuti ketetapan Allah ta’ala (sunnatullah).
Dalam Al-Qur'an Allah menyatakan:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua) QS. Yasiin: 38-39).
Yang membedakan satu hari dengan hari yang lain adalah nilai atau penilaian yang diberikan padanya. Pergantian tahun hijriyah menjadi mulia karena ia dikaitkan dengan peristiwa hijrah. Ia merupakan hari kemenangan kaum muslimin. Ia termasuk dalam ayyamullah (hari-harinya Allah).
Demikian pula pergantian tahun Masehi, karena ia terkait dengan peristiwa yang dianggap sakral menurut agama tertentu (Kristen).
Secara historis, penentuan 1 Januari sebagai tahun baru masehi, awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), lalu tahun 1582. Januari dipilih menjadi bulan pertama diantaranya karena dikaitkan dengan nama dewa Janus. Umat Kristen akhirnya ikut merayakannya.
Berdasarkan keputusan Konsili Tours tahun 567 umat Kristen ikut merayakan Tahun Baru dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi (perayaan Misa dalam Gereja Katolik). Lalu pada tahun 1582 M, Paus Gregorius XIII mengubah Perayaan Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Sejak saat itu, umat kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari. (Al-Islam, 587; 2011).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya. (www.en.wikipedia.org).
Perayaan tahun baru masehi juga identik dengan aktivitas yang diharamkan seperti khalwat, ikhtilath (campur baur laki-laki dan Wanita bukan mahrom), bahkan zina. Dengan demikian perayaan tahun baru masehi menjadi ajang promosi liberalisme (paham kebebasan) yang kebablasan ala Barat.
Dengan demikian haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru masehi. Dalil keharamannya adalah al-Quran dan al-sunnah. Dalil al-Quran adalah firman Allah ta’ala dalam surah Al-Furqon: 72, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
(Hamba ar-Rahman) adalah yang tidak menyaksikan ‘al-zuur”, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Menurut Mujahid yang dimaksud “al-zuur” adalah a’yadul musyrikin (hari rayanya orang-orang musyrik).
Pendapat serupa dinyatakan oleh Rabi’ bin Anas, al-Qadhi Abu Ya’la dan al-Dhahak. Ibnu Sirin berkata: “Az-zuur” adalah hari rayanya Nasrani yang mereka lakukan pada hari Ahad (hari raya paskah). Mereka mengklaim hal itu untuk memperingati masuknya al-Masih ke Baitul Maqdis . Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Iqtidho’ al-Shirath al-Mustaqim 1/537.
Arah pendalilan (wajh al-istidlal) dari ayat ini adalah: Allah memuji hamba-Nya (‘ibadurrahman) yang tidak menghadiri (melihat atau mendengar) hari raya kaum musyrikin. Sekedar hadir. Sebaliknya orang yang hadir tentu akan dicela. Termasuk yang merayakannya.
Dalil al-Sunnah.
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذا اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى ويوم الفطر.
”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah SAW bertanya,’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan al-Nasaai).
Pada hadis ini Nabi SAW tidak mengakui dua hari raya jahiliyah. Nabi tidak mengizinkan para sababat merayakannya dengan melakukan permainan tertentu.
Nabi justru menyatakan “Allah telah mengganti untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari kedua hari raya jahiliyah tersebut”. Yang Namanya mengganti itu maknanya adalah mengeliminir mubdal minhu (yang diganti). Tidak boleh tergabung antara badal (pengganti) dengan mubdal minhu (yang diganti).
Jika umat Islam ikut merayakannya berarti termasuk dalam tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) yang dikecam oleh Rasulullah. Beliau menyatakan:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403). Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 10/271).
Hadis tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti akidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As sunnah An Nabawiyyah, hlm. 22-23).
Adapun menjalani aktivitas bekerja, memasak (termasuk bakar jagung), makan-minum, berkumpul Bersama keluarga, berwisata sambil tafakkur alam, dan lain sebagainya hukumnya adalah boleh sebagaimana hari-hari biasa. Karena memasak, makan dan minum hukum asalnya adalah mubah.
Hanya saja hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, aktivitas ini, khususnya bakar jagung tidak diniatkan untuk merayakan pergantian tahun baru masehi.
Kedua, aktivitas ini tidak bercampur dengan yang haram seperti berjudi, minum khamr, berkhalwat, campur baur antara laki-laki dan Perempuan, zina dan lain-lain. Sudah bukan rahasia umum bahwa malam pergantian tahun baru diisi dengan keharaman, khususnya zina.
Ketiga, tidak melalaikan dari melakukan kewajiban seperti dakwah, shalat 5 waktu (khususnya Subuh), menutup aurat dan sebagainya. Mengisi malam tahun baru dengan aktivitas dakwah, dzikrullah, tilawah Al-Qur'an, muhasabah diri tentu lebih utama dari melakukan aktivitas mubah.
Seorang mukmin yang memahami bahwa waktu adalah modal dari Allah yang amat berharga tentu takkan menyia-yiakan modal waktunya dengan amal-amal mubah.
Poros amalnya hanya berkisar pada wajib dan sunnah. Yang mubah ia akan pilah dan pilih yang akan menyokong amal wajib dan sunnah. Boleh juga malam tahun baru diisi dengan tausiyah dan zikir, sebagian panitia bakar jagung dan dihidangkan pada jamaah yang hadir. Semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam bi al-shawab.
Berangas, 17 Jumadal Akhirah 1445 H/30 Desember 2023
Oleh: Guru Wahyudi Ibnu Yusuf
Pengasuh Ponpes Darul Ma'arif Banjarmasin Kalsel
0 Komentar