Topswara.com -- Kasus gagal ginjal akut (GGA) pada anak-anak masih menimbulkan kekhawatiran banyak orang tua. Hal ini disebabkan masih beredarnya obat sirup demam dan batuk yang disinyalir menyebabkan penyakit tersebut.
Belum lagi tidak ada kejelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas persoalan ini. Penanganan kasus ini pun dinilai lambat oleh beberapa orang tua korban anak, baik yang meninggal maupun selamat.
Dikutip dari situs BBC News Indonesia, 21 Desember 2023, seorang ibu korban bocah delapan tahun yang meninggal akibat gagal ginjal akut progresif atipikal, dengan terang-terangan menyebutkan bahwa anaknya telah dibunuh oleh sistem. Karena menurutnya peristiwa ini sebagai kejahatan besar akibat kelalaian beberapa pihak.
Sementara itu, ibu dari bocah berusia enam tahun yang selamat, menuntut keadilan untuk buah hatinya. Sebab janji santunan yang sedianya akan diberikan kepada korban, hingga kini belum kunjung terealisasi. Orang tua pasien anak tersebut sampai harus menjual rumah, demi memenuhi biaya pengobatan anaknya yang belum mengalami perubahan signifikan sejak dirawat dulu.
Kasus gagal ginjal akut yang dialami oleh anak-anak usia 6 bulan-18 tahun awal terjadi pada pertengahan tahun 2022 dan mengalami lonjakan Agustus 2022. Kejadian ini ditemukan kembali di bulan Januari 2023. Hingga 5 Februari 2023 tercatat sebanyak 326 anak penderita gagal ginjal beserta satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia, 204 di antaranya meninggal dunia.
Zat Cemaran Biang Masalah
Penyakit ini diduga disebabkan oleh cemaran bahan pelarut yang terdapat dalam obat sirup untuk anak-anak. Cemaran tersebut didapati melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh BPOM, yaitu sebesar 0,5 mg per kilogram berat badan/hari.
Akibat konsumsi yang berlebihan dari cemaran tersebut dapat membentuk asam oksalat di dalam tubuh dan kemudian terbentuklah kristal tajam dalam ginjal yang menyebabkan kerusakan pada organ tersebut.
Zat cemaran berupa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE) adalah zat yang pasti akan muncul dalam setiap proses pelarutan obat sirup. Tujuannya agar obat tersebut homogen dan tidak menggumpal. Akan tetapi kadar cemarannya tidak boleh melebihi ambang batas.
Namun sayangnya, obat-obat ini yang justru beredar di apotek, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas, juga tempat-tempat penjualan obat resmi lainnya. Padahal obat-obatan tersebut telah berlabel BPOM. Artinya obat ini telah melalui uji coba lembaga resmi pemerintah, bukan ilegal.
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan tingginya angka cemaran pelarut obat ini disebabkan karena bahan bakunya. Pergeseran negara asal impor bahan baku berpengaruh pada kualitas obat yang dihasilkan. Sementara itu negeri ini sangat bergantung pada impor dalam memenuhi bahan baku obat, yaitu 95 persen. Sebagian besar berasal dari Cina, sebagian lainnya dari India dan Eropa.
Pemerintah seolah-olah ingin mengatakan bahwa satu-satunya pihak yang patut disalahkan dalam kasus ini adalah produsen obat-obatan sirup tersebut. Karena sebagai perusahaan farmasi, merekalah yang bertanggung jawab menyediakan bahan baku produknya, termasuk menentukan dari negara mana mereka akan membeli bahan baku tersebut.
Padahal semestinya pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam pengadaan obat-obatan serta jaminan keamanannya, sehingga masyarakat tak perlu ragu dalam penggunaannya. Apalagi untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang notabenenya secara fisik, tubuh mereka belumlah sekuat orang dewasa.
Sementara itu BPOM yang seharusnya mengawasi perusahaan farmasi di tataran produksi dan distribusi obat-obatan, seolah lepas dari tanggung jawab. Alih-alih melakukan penelitian komprehensif sebelum obat diedarkan, lembaga ini dianggap tidak memenuhi standar dalam prosedur mengeluarkan izin edar produk farmasi.
Dengan dalih tidak mungkin menguji satu per satu produk buatan pabrik farmasi, ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan dan didakwa dengan pidana hanya sampai para produsen obat.
Tata Kelola Berbasis Kapitalisme
Seharusnya penguasa negeri ini memiliki aturan yang jelas untuk tata kelola pengadaan obat-obatan. Dari mulai riset, pengawasan bahan baku, produksi, izin edar, distribusi hingga ke tangan konsumen.
Sehingga apabila terjadi kasus luar biasa seperti gagal ginjal akut pada anak, dapat segera ditangani dan diketahui penyebabnya. Tidak seperti penanganan kasus GGA yang terkesan lambat. Sudah jatuh korban jiwa dalam jumlah yang tidak sedikit, barulah pemerintah mengambil tindakan dengan menarik peredaran obat-obatan tersebut.
Masyarakat juga semestinya mendapatkan edukasi mengenai pentingnya keamanan obat dan makanan. Seperti memperhatikan masa kadaluarsa obat, indikasi dan kontraindikasi, efek samping, dosis, cara pemakaian, dan lain sebagainya.
Sehingga apabila ditemukan kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kontraindikasi terhadap reaksi obat-obat yang dikonsumsi, dapat mengambil tindakan menghindari pemakaian obat tersebut.
Dari sini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah lalai dalam menjaga keamanan obat bagi rakyat. Tidak adanya aturan menyeluruh mengakibatkan penerapan standar mutu tinggi dalam obat dan makanan dipinggirkan.
Penguasa hanya bertindak sebagai regulator yang mengeluarkan izin kepada industri farmasi untuk memproduksi obat, tanpa melakukan penelitian dan pengawasan yang mendalam.
Di sisi lain produsen obat-obatan adalah para kapital yang mengedepankan keuntungan semata. Mereka bisa jadi tidak terlalu memprioritaskan kualitas, dan mengabaikan efek samping produknya. Sehingga tidak ada jaminan keselamatan jiwa bagi konsumen, yaitu rakyat.
Besarnya persentase impor bahan baku obat terutama dari Cina, lagi-lagi karena permainan bisnis para kapital, utamanya produsen bahan baku obat-obatan. Pangsa pasar dalam negeri yang kecil memaksa perusahaan farmasi tetap menggantungkan diri pada impor.
Belum lagi regulasi harga yang tidak wajar, dan persaingan usaha yang tidak sehat, membuat negeri ini akhirnya menarik diri dari kesempatan memproduksi sendiri bahan baku obat-obatan tersebut. Semua hitung-hitungannya hanya di untung rugi, bukan di tujuan mengurusi sebagaimana yang seharusnya dilakukan negara terhadap rakyatnya.
Islam Menjamin Kesehatan Umat
Jaminan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat hanya ada dalam Islam. Sebab agama ini sangat menghargai arti sebuah nyawa, karenanya umat Islam diperintahkan untuk menghindarkan diri dari bahaya.
Seperti firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat 195, yang artinya:
"Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
Atau sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
"Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya, dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah SWT. akan menyulitkannya." (HR. Al Hakim dan Baihaqi).
Islam memiliki mekanisme yang khas dalam mengurus kesehatan umat. Pelayanan kesehatan diberikan karena dasar ketakwaan pemimpinnya, bukan berdasarkan untung rugi, apalagi berbisnis kepada rakyat. Oleh sebab itu masyarakat di dalam negeri yang diatur dengan Islam dapat memperoleh layanan kesehatan secara gratis dan berkualitas.
Di samping itu seorang penguasa dalam sistem Islam sangat memperhatikan zat-zat yang terkandung dalam makanan/obat yang akan dikonsumsi oleh umat. Apakah halal atau haram serta tayyib atau membawa mudarat.
Untuk pengadaan obat-obatan, penguasa Islam akan fokus pada penelitian dan pengembangan sehingga akan diproduksi obat-obatan yang berkualitas dan menjamin keamanannya. Di samping itu juga mengawasi dengan cermat distribusi serta peredarannya.
Negara dengan sumber daya alam dan manusianya yang besar akan mengupayakan produksi obat dari hulu hingga hilir. Di antaranya dengan menyediakan laboratorium untuk penelitian yang mendalam guna menciptakan jenis obat baru, memperbanyak jumlah ahli di bidang farmasi, juga mendukung dan membiayai industri obat-obatan secara mandiri, sehingga dapat mengurangi bahkan boleh jadi hingga meniadakan aktivitas impor dari luar negeri.
Penguasa pun akan mengedukasi masyarakat sehingga memahami tatacara penggunaan obat dan interaksinya terhadap tubuh. Dengan demikian, apabila terjadi suatu kasus penyakit akibat kontraindikasi obat ataupun sebab lainnya, akan ditangani dengan cepat dan cermat. Sehingga tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Semua mekanisme ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam Islam seluruh ongkos yang dikeluarkan untuk penanganan kesehatan dikeluarkan melalui Baitulmal, yaitu sebuah lembaga keuangan negara yang bersumber dari harta fai', kharaj, jizyah, ghanimah, SDA dan harta tidak bertuan yang dikuasai oleh negara. Dan seluruh kebaikan ini akan terlaksana jika aturan Islam kafah diterapkan dalam mengatur kehidupan seluruh umat manusia.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar