Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Aliran Dana Jelang Pemilu, Hal Lumrah dalam Demokrasi


Topswara.com -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala PPATK Ivan Yusyiavandana menuturkan bahwa PPATK juga menemukan laporan transaksi besar dari luar negeri yang melibatkan para daftar caleg terdaftar (DCT). PPATK menganalisa 100 DCT yang mendapatkan penerimaan senilai Rp 7,7 triliun (cnbcindonesia.com, 12/01/2024). 

Aliran dana yang ditemukan oleh PPATK bukanlah dana dengan jumlah yang sedikit. Penerima aliran dana juga bukan orang sembarangan. Terlebih, aliran dana semacam ini juga bukan kali pertama, namun kejadian yang terjadi berulang setiap tahunnya menjelang pemilu. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pesta demokrasi tak pernah sekalipun berpihak kepada rakyat. Ada kepentingan yang diperjual belikan dalam sistem yang saat ini sedang dianut. 

Uang dalam aliran dana pemilu merupkan hal penting yang harus ada. Jika ingin menjadi wakil rakyat, maka haruslah memiliki banyak uang. Ungkapan itu bukanlah narasi belaka, karena dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini uang mampu membeli kekuasaan. Untuk apa aliran dana fantastis jelang pemilu jika tidak untuk membeli kepentingan. Politik balas budi akan selalu ada dalam sistem batil bernama kapitalisme. 

Kejadian berulang tentang aliran dana fantastis, jual beli kekuasaan, tak pernah mendatangkan tindakan tegas dari penguasa. Tentunya karena kita paham bahwa kejadian ini sudah menjadi hal yang lumrah. Sistem telah membenarkan. Sehingga, hal buruk hingga dosa sekalipun dipandang menjadi sesuatu yang tak apa. Begitulah kapitalisme berjalan selaras dengan sekulerisme. 

Dengan sistem yang berjalan saat ini, siapapun yang menang dalam pemilu rasanya tak akan banyak mengubah keadaan. Selama politik uang dan politik balas budi masih ada maka yang berjajar dalam jajaran wakil rakyat hanya akan berpihak pada para pemberi modal, bukan pada kesejahteraan rakyat. Mereka akan menghitung untung dan rugi bukan masalah pengabdian selama melayani rakyat. 

Umat Khaththab ra. pernah mengatakan, “Suatu negeri akan hancur meskipun ia makmur.” Mereka bertanya, “Bagaimana suatu negeri bisa hancur, padahal ia makmur?” Ia menjawab, “Jika pengkhianat menjadi petinggi dan harta dikuasai orang-orang fasik”. 

Begitulah sistem yang saat ini sedang berlangsung. Jika kembali kepada sistem yang shahih yakni sistem Islam, tentu tidak ada politik uang ataupun perebutan kekuasaan. Sejatinya kekuasaan itu amat berat tanggung jawabnya. Harta dan kekuasaan akan dihisab kelak di hari akhir, sehingga siapapun sangat berhati-hati dalam menggunakannya. 

Wallahualam bishawab.


Hima Dewi, S.Si.,M.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar