Topswara.com -- Entah akan ada kisah sesadis apalagi dalam dunia pernikahan saat ini. Seperti kisah tragis Fitriani (21), asal Sulawesi Tenggara. Ia dibunuh suaminya, SH, dua tahun lalu, 2021. Namun, kasusnya baru terbongkar akhir November ini. Hal itu tak lepas dari kondisi kematian ibu muda yang sangat mengenaskan tersebut.
Bagaimana tidak, almarhumah dipukul tengkuknya hingga tewas, lalu dikubur dan dicor semen di kamar rumahnya sendiri di Blitar, Jawa Timur. Jasad ibu dua anak itu ditemukan tinggal tulang belulang, Selasa (21/11/23). Ini setelah suaminya, SH, menjual rumah itu kepada sang kakak ipar, Sugeng Riyadi (46). Ketika pemilik rumah baru merenovasi dan membongkar lantai kamar, ditemukanlah jejak korban (Kompas).
Apapun motifnya, perbuatan biadab itu sungguh sangat mengerikan. Bagaimana bisa, hubungan pernikahan yang dibangun atas kesepakatan dan cinta kasih, berujung pada kebencian, kekejian dan kesadisan. Sangat ironis dan di luar nalar sehat. Namun, itulah fakta yang terjadi di peradaban sekuler saat ini. Institusi pernikahan pun bisa berubah menjadi pembantaian. Karena itu, penting untuk mengenali, tanda-tanda bahaya dalam rumah tangga. Istilah populer saat ini, waspadai red flag dalam relasi suami istri.
Standar Bahaya
Merujuk kamus Oxford, red flag artinya tanda bahaya atau sesuatu yang selayaknya tidak dillanjutkan. Baik dalam konteks pekerjaan, bisnis, maupun relasi atau hubungan cinta. Termasuk dalam pernikahan, jika ada red flag yang bisa mengancam salah satu atau kedua pasangan, sebaiknya dipertimbangkan untuk tidak meneruskan hubungan.
Bukan berarti memotivasi agar bermudah-mudah cerai, tetapi segeralah mencari pertolongan jika tanda-tanda bahaya menyusup dalam rumah tangga. Sebab, dalam relasi suami istri yang terikat akad pernikahan, terjadi interaksi terus menerus setiap hari. Hal ini meniscayakan adanya gesekan yang bisa melukai hati, menyinggung harga diri, hingga memupuk rasa dendam.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, nafsu setan pun mendominasi. Terjadilan kezaliman demi kezaliman yang membahayakan keselamatan salah satu atau kedua pihak. Kita saksikan hari ini, tidak sedikit pasangan yang menjadi korban kezaliman orang yang seharusnya melindungi dan mencintainya. Itulah red flag, yaitu kondisi hubungan yang sudah tidak sehat, bahkan justru berbahaya jika dilanjutkan.
Namun, standar “bahaya” di sini tidak boleh diserahkan pada akal manusia, tetapi timbangan syariat Allah SWT. Bukan sembarang red flag yang dipahami kaum sekuler liberal, hingga memicu gagalnya relasi suami istri alias perceraian secara masif dan masal. Jangan sampai, gara-gara beda cara memencet pasta gigi saja, sudah dianggap red flag, lalu tali ikatan pernikahan pun “digunting” di hadapan KUA. Na’uzdubillah.
Tanda Bahaya
Lantas apa saja tanda-tanda red flag menurut syariat? Pertama, terjadi penelantaran sebagai akibat dari kewajiban tidak dijalankan. Misal, suami tidak memberi nafkah materi dengan sengaja selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tanpa ada penjelasan dan bahkan tanpa ada kabar beritanya. Jika ini terjadi, pernikahan sudah diambang bahaya. Tidak seperti saat ini, baru juga akhir bulan diuji kurang nafkah sedikit saja, istri sudah main gugat cerai ke KUA.
Kedua, dominasi pasangan berupa kekerasan, agresi, serta intimidasi, baik fisik maupun verbal. Misal, pasangan melampiaskan kemarahan dengan meledak-ledak, hingga main tangan dan melukai pasangan. Ini red flag serius, karena melanggar perintah Allah SWT agar memperlakukan pasangan dengan makruf. Kekerasan dan ancaman fisik, memerlukan pertolongan segera. Namun, ada tata caranya.
Sekali-dua kali dimaafkan, karena janji akan berubah, masih bisa ditoleransi. Namanya manusia bisa saja khilaf. Beri kesemptan tobat, jangan buru-buru bendera merah. Namun, jika kemudian terulang lebih dari tiga kali dan seterusnya, hingga pasangan babak belur penuh luka; cukup sudah untuk memberi kesempatan berubah.
Pada dasarnya watak seperti itu sangat sulit dirombak, kecuali ia benar-benar tobat nasuha dan tunduk patuh pada syariat. Jika ini tidak dilakukan, putuskanlah arah pernikahan ini dengan bijaksana.
Ketiga, dominasi maksiat terus menerus dalam rumah tangga oleh salah satu atau kedua pasangan. Misal, ada kebohongan yang terus berulang. Ada korupsi atau harta haram masuk dalam rumah tangga. Terlibat judi online, terjerat pinjaman riba, ada perselingkuhan dan perzinahan. Kecanduan narkotika atau konten porno. Bermufakat jahat melakukan penipuan, pencurian atau tindak kriminal lainnya. Jelas ini adalah bendera merah tanda rumah tangga tidak lagi berkah. Bila pintu tobat tidak bisa diupayakan, istikharah saja.
Keempat, rusaknya akidah dan penyimpangan dalam pemahaman Islam. Ketika suami dan istri sudah tidak menegakkan ibadah ritual. Tidak lagi saling menasihati dalam ketaatan pada Allah SWT. Saling mengumbar aib secara terang-terangan. Tidak mendidik putra-putrinya dengan agama, adab, akhlak dan syariat. Membiarkannya terlibat dalam pacaran alias pergaulan bebas. Merestui pilihan atas gendernya alias ganti kelamin. Bahkan memberi kebebasan dalam beragama alias murtad.
Sungguh, ini adalah kegagalan yang nyata dalam membangun pernikahan sesuai landasan agama. Masih bisakah rumah tangga seperti ini diperbaiki? Bisa, jika mau hjirah kaffah secara totalitas. Ini red flag serius yang bukan hanya butuh sentuhan iman pada individu-individu pelakunya, tapi butuh support system dari lingkungan dan negara. Sungguh, mereka butuh pertolongan.
Faktor Mikro dan Makro
Tidak ada jaminan bahwa pernikahan akan berjalan konstan dan baik-baik saja. Selalu ada ujian, baik pertengkaran kecil maupun besar. Mulai mempertengkarkan hal-hal sepele, semisal cara menaruh handuk basah, hingga konflik rumit yang melibatkan hawa nafsu, pikiran, emosi dan bahkan materi.
Jika bukan karena takut kepada Allah SWT, bisa saja konflik-konflik mikro ini memicu godaan setan untuk merobohkan bangunan pernikahan. Bahkan bukan hanya rumah tangga yang dirobohkan, pasangan hidup pun dilenyapkan. Na’udzubillahi mindzalik.
Ini baru faktor internal atau mikro, yang seharusnya bisa diselesaikan cukup berdua, baik suami maupun istri. Duduk saling berdiskusi guna mencari akar masalah dan menganalisanya dengan kepala dingin. Apapun yang terjadi, yakinlah bahwa Allah SWT juga menyertakan solusi. Sehingga, tidak perlu fokus mencari siapa yang salah, tapi bagaimana berdua bisa keluar dari masalah.
Ya, dalam aspek mikro ini, ketahanan keluarga diwujudkan oleh kedua pasang suami dan istri itu sendiri. Ini di wilayah yang mereka berdua punya kendali, akan dibawa ke mana bahtera rumah tangganya. Layar sudah berkembang, bahtera sudah bergerak, tinggallah suami sebagai nahkoda bertanggung jawab mengarahkan pernikahan menuju gerbang sakinah, mawadah dan rahmah.
Sementara istri, ibarat navigator yang membantu memberitahu posisi kapal sepanjang waktu. Apakah arahnya sudah tepat atau justru menyimpang dari jalur utama. Apakah kewajiban suami sudah dilaksanakan dengan makruf atau belum, suami tidak perlu tersinggung dan emosi jika istri mengingatkannya. Red flag bisa dihindari.
Namun jangan lupa, ada gangguan dan godaan eksternal yang mengancam eksistensi pernikahan. Seperti ketidak-mampuan para suami memberi nafkah yang layak, hal itu karena tidak adilnya sistem ekonomi dan tidak adanya jaminan kebutuhan pokok oleh negara. Juga, penerapan sistem ekonomi yang eksploitatif, monopoli dan dikuasai oligarki. Rakyat miskin dibiarkan tetap miskin, kesenjangan dengan yang kaya seperti jurang yang menganga.
Demikian pula longgarnya pergaulan, hingga melahirkan godaan perselingkuhan dan perzinahan. Maraknya dunia hiburan dengan konten mesum dan kepornoan. Hal itu karena tidak tegaknya sistem sosial berbasis aqidah Islam. Lalu maraknya kemaksiatan yang menyeret salah satu atau kedua pasangan terlibat dalam perbuatan haram dan kriminal. Hal itu karena tidak tegaknya sistem hukum dan sanksi berbasis ideologi Islam. Demikian seterusnya.
Semua gangguan eksternal yang menggerogoti ketahanan rumah tangga ada kontribusi dari faktor makro. Diproduksi secara sistemik oleh ideologi yang eksis saat ini. Jadi, red flag alias bendera merah yang paling berbahaya adalah diterapkannya ideologi sekuler kapitalisme. Bahtera pernikahan dapat mengarungi samudera dengan arah yang benar dan sampai tujuan, jika didukung faktor makro berupa sistem kehidupan yang baik dan benar. Itulah sistem yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
0 Komentar