Topswara.com -- Belum lama ini MUI mengeluarkan fatwa terbaru yaitu Fatwa MUI No. 83 tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina yang disahkan dan ditandatangani pada 8 November 2023 lalu.
Fatwa tersebut merupakan sikap mengecam terhadap serangan dan kekejian Zionis Israel kepada rakyat Palestina.
Menurut PCBS (Palestinian Central Bureau of Statistics), sampai hari ke-45 penjajahan per 20 November 2023, warga Palestina yang syahid di Jalur Gaza dan Tepi Barat mencapai 13.516 korban termasuk wanita dan anak-anak, bertambah 300 dari sehari sebelumnya.
Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam, mengatakan bahwa wajib hukumnya mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, dan sebaliknya, mendukung agresi Israel atas Palestina haram hukumnya.
Pada intinya, fatwa tersebut mewajibkan seluruh muslim untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Umat Islam diminta untuk menghindari atau terlibat dalam transaksi dan menggunakan produk dari pihak-pihak yang terafiliasi dengan kelompok Yahudi, serta kelompok yang mendukung penjajahan serta gerakan zionisme.
Aksi boikot tehadap produk-produk Yahudi telah masif dilakukan di berbagai negeri muslim. Banyak dari kalangan umat Islam yang merespon gerakan boikot produk pro Yahudi dengan antusias.
Mereka saling bertukar informasi dan menyebarkan informasi mengenai produk-produk yang harus dihindari dan memberikan rekomendasi untuk substitusi produk yang terafiliasi kelompok Yahudi dengan mencari produk pengganti. Hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi penjajah dan bentuk upaya umat Islam dalam mendukung pembebasan Palestina.
Masifnya gerakan boikot produk pro Yahudi tersebut menunjukkan adanya ghirah dan semangat perjuangan pada diri umat Islam. Melalui aksi boikot secara massal juga merupakan wujud solidaritas aksi nyata yang dapat mereka lakukan.
Selain itu, umat Islam secara aktif mengekspresikan penolakan mereka terhadap pendudukan Yahudi di Palestina melalui media sosial, walaupun seringkali media Barat mencoba untuk membatasinya.
Umat Islam juga berpartisipasi dalam penggalangan dana dan menyelenggarakan aksi massal serta doa bersama sebagai bentuk dukungan mereka. Umat melakukan apa yang mereka mampu lakukan ketika negara tidak melakukan pembelaan yang nyata atas nasib muslim Palestina.
Selama ini seruan boikot hanya lahir dari seruan masyarakat bukan dari negara sehingga dampaknya lebih kecil. Seruan boikot akan efektif jika dilakukan secara komprehensif oleh negara. Pemerintah Indonesia dapat menghentikan sirkulasi produk yang mendukung Yahudi yang banyak beredar, juga mengakhiri hubungan perdagangan dengan entitas Yahudi dan negara-negara pendukungnya.
Selain itu, Indonesia dapat memutuskan hubungan diplomatik dengan semua negara yang memberikan dukungan kepada Yahudi. Tindakan boikot semacam ini merupakan langkah konkret yang dapat diambil oleh negara.
Upaya boikot yang dilakukan oleh negara akan secara efektif melemahkan posisi Yahudi karena negara memiliki kekuatan politik yang dapat digunakan. Negara memiliki wewenang untuk membuat kebijakan yang mewajibkan pengusaha, produsen, dan importir produk yang mendukung Yahudi agar menghentikan kegiatan bisnis mereka dan beralih ke sektor lain.
Realitanya saat ini negara tidak secara total melakukan gerakan boikot tersebut. Padahal Indonesia memiliki potensi untuk sepenuhnya menolak produk yang mendukung Yahudi, asalkan pemerintah merdeka dari kendali ekonomi kapitalis oligarki. Negara perlu mencapai kemandirian, terlepas dari pengaruh bisnis para pengusaha yang mendukung Yahudi.
Hal ini dapat diwujudkan dengan melepaskan diri dari ideologi kapitalisme yang hanya fokus pada keuntungan materi dan mengadopsi ideologi Islam yang berakar pada iman kepada Allah.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam, Indonesia bukan hanya dapat melakukan boikot total terhadap produk yang mendukung Yahudi. Lebih dari itu, Indonesia dapat mengirimkan pasukan tidak hanya sebagai penjaga perdamaian, tetapi untuk melaksanakan jihad fi sabilillah, yaitu memerangi penjajah Zionis Yahudi dan membebaskan Palestina. Indonesia memiliki kekuatan militer yang cukup untuk mengatasi entitas Yahudi dalam hal ini.
Para penguasa negara ini hanya mampu mengutuk di berbagai forum, padahal yang diperlukan untuk mencapai pembebasan Palestina adalah pengiriman pasukan, bukan sekadar menyuarakan kritik. Jika hanya melakukan kecaman terhadap Zionis, negara-negara non muslim juga seringkali melakukan hal yang sama.
Diamnya para pemimpin Muslim ini disebabkan oleh pengaruh dominasi nasionalisme yang telah merajalela di antara mereka. Konsep ini diperkenalkan oleh penjajah Barat ke dalam dunia Islam, menyebabkan pembagian wilayah Khilafah Utsmaniyah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan etnis pada awal abad ke-20.
Nasionalisme menyebabkan ketidakpedulian terhadap penderitaan umat Islam di negara-negara lain, termasuk penderitaan Muslim Palestina, Uyghur, Rohingya, dan sebagainya.
Dampak dari nasionalisme ini membuat umat Islam terpecah belah seperti buih di lautan, dan mereka menjadi rentan menjadi korban kepentingan Barat tanpa adanya perlindungan. Keadaan ini tidak pernah terjadi ketika umat Islam masih bersatu di bawah payung khilafah Islamiah.
Masyarakat saat ini hanya dapat mengambil langkah boikot sebagai tanda solidaritas terhadap Palestina dan sebagai bentuk perlawanan terhadap Yahudi. Meskipun demikian, boikot tidaklah merupakan solusi substansial. Solusi substansial terhadap dominasi Yahudi adalah melalui jihad fi sabilillah untuk mengatasi keberadaan Yahudi.
Hanya khilafah sebagai satu-satunya institusi yang yang memiliki kapasitas untuk menggulirkan jihad dan memerdekakan Palestina, hal ini sudah terbukti dalam sejarah.
Oleh karena itu, tidaklah cukup hanya dengan boikot semata, tetapi masyarakat juga perlu secara nyata mendorong pembentukan khilafah ini dengan memberikan dukungan politik kepada Daulah Khilafah untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis Yahudi.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Anggi Fatikha
Aktivis Muslimah
0 Komentar