Topswara.com -- Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar menyampaikan bahwa Pemerintah mencatat, setidaknya ada 20 kasus bunuh diri anak-anak sejak Januari 2023. (rri.co.id, 11/11/2023).
Komisoner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Diyah Puspitarini, memberikan penjelasan tentang berbagai penyebab kasus bunuh diri anak. Namun, sekitar 60 persen kasus bunuh diri baru-baru ini disebabkan oleh faktor perundungan yang dialami oleh korban.
Faktor tambahan adalah ekonomi keluarga dan hubungan seksual remaja. Ia juga menyampaikan bahwa Peristiwa bunuh diri anak cenderung meningkat akhir-akhir ini. Tidak hanya di Jakarta, kasus ini juga terjadi di beberapa daerah, seperti Tanah Toraja, Sulawesi Selatan; Kebumen, Jawa Tengah; dan Banyuwangi, Jawa Timur. (kompas.id, 28/09/2023).
Seperti belum lama ini, di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, seorang bocah SD nekat menggantung diri. Pada hari Rabu, 22 November, mayatnya ditemukan di dalam kamarnya. Diduga karena dilarang bermain HP, anak SD tersebut nekat melakukan tindakan bunuh diri. (detik.com, 23/11/2023).
Miris memang apalagi sudah mulai menjadi fenomena di masyarakat. Jumlah kasus yang meningkat ini menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam tata kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Beberapa hal yang perlu diperhatikan termasuk penyebab bunuh diri, sumber anak yang mengetahui cara bunuh diri, dan kondisi mental anak-anak. Tentu ini pastinya menjadi problem serius generasi saat ini.
Realitas generasi hari ini adalah generasi yang mudah menyerah ketika menjalani kehidupan. Akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap penyakit mental seperti depresi, stres, atau putus asa. Mereka percaya bahwa dengan bunuh diri, semua beban psikologis dan masalah mereka akan terlepas dan hilang. Maka muncul pertanyaan, apa yang membuat generasi kita menjadi seperti ini?
Jawabannya adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme sebagai biang keroknya. Sistem ini menghilangkan tiga pilar yang memiliki peran penting dalam membentuk generasi.
Pertama, keluarga. Mereka yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang mengalami broken home, tanpa ayah atau ibu, atau hidup berjauhan dengan orang tua biasanya mengalami generasi mental rapuh. Ditambah lagi Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara fatherless terbanyak di dunia. Orang tua ada, tetapi mereka tidak terlihat. Anak tidak merasakan kehadiran dan peran ayah atau ibunya secara fisik dan mental.
Kedua, masyarakat dan sekolah. Kurikulum pendidikan saat ini adalah sekuler yang menjauhkan orang dari aturan Allah Taala. Hasilnya, sekularisme kapitalisme ditanamkan pada generasi kita. Meraih sebanyak mungkin materi dan kesenangan duniawi adalah tingkat kebahagiaan tertinggi dalam hidup.
Ketika mereka tidak dapat mencapainya, depresi menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Standar halal-haram tidak lagi mengontrol tindakan mereka. Individualisme kapitalistik mendominasi masyarakat saat ini.
Ketiga, tanggung jawab negara. Pemuda dan remaja adalah kelompok yang paling cenderung melakukan bunuh diri. Dalam kasus bunuh diri, fakta bahwa banyak kasus bunuh diri disebabkan oleh keinginan untuk meniru bunuh diri sebelumnya.
Mereka melakukannya karena mengikuti tren di media sosial. Mereka kehilangan identitas mereka sehingga mereka tidak dapat membedakan mana yang layak menjadi panutan dan mana yang tidak layak.
Media memiliki peran yang sangat krusial dalam memnciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan kesehatan mental setiap individu. Maka dari itu negara memiliki peran untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap media saat menyebarkan tontonan dan informasi. Negara harus menciptakan suasana iman yang mendorong ketaatan, bukan kemaksiatan melalui media.
Generasi muda saat ini tidak jarang meniru gaya hidup liberal sekuler melalui tayangan yang sering mereka tonton sehari-hari. Maka disini terlihat jelas peran negara yang terkesan mandul dalam bersikap tegas terhadap muatan film dan tayangan yang bernuasa lliberal sekuler.
Peran negara hanya membatasi akses konten, yang menjadi akar masalahnya, yaitu pemikiran dan gaya hidup kapitalisme sekuler, tetap ada. Karena gempuran pemikiran ini, generasi kita menjadi lemah dan rapuh. Kenikmatan sementara sering membuat mereka lupa cara menjalani hidup dan menyelesaikan masalah dengan cara Islam.
Oleh sebab itu, disini Islam hadir sebagai solusi persoalan hidup dan Islam memiliki mekanisme dalam mencegah bunuh diri.
Pertama, anak-anak harus ditanamkan iman Islam sejak kecil. Jika setiap anak memiliki akidah yang kuat, mereka akan memahami tujuan dan tujuan hidupnya sebagai hamba Allah Taala, yang berarti beribadah dengan menaati segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Prinsip ini harus dipahami oleh seluruh keluarga muslim karena orang tua adalah guru pertama anak-anaknya. Negara akan mendorong dan mendidik orang tua untuk menjalankan tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan sesuai dengan prinsip Islam.
Kedua, menerapkan aqidah Islam dalam kurikulum sekolah. Sejarah Islam telah menunjukkan bahwa kurikulum Islam memiliki kemampuan untuk menghasilkan siswa yang kuat iman, mental tangguh, dan cerdas akal.
Negara akan memastikan bahwa program pendidikan yang bertujuan untuk membangun syakhsiah Islam dilaksanakan dengan benar. Generasi harus bertindak dan berpikir dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, mereka akan memiliki bekal untuk menjalani kehidupan mereka dan mengatasi masalah dengan cara yang dianggap Islam.
Ketiga, memastikan bahwa para ibu melakukan tugasnya dengan benar. Ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Sistem Islam (khilafah) akan memperlakukan kaum ibu sebagai ibu generasi peradaban daripada menjadi mesin ekonomi seperti halnya sistem kapitalisme, yang malah menghadapkan para ibu pada masalah ekonomi dan kesejahteraan.
Khilafah akan menetapkan kebijakan ekonomi yang dapat memanfaatkan banyak tenaga kerja laki-laki. Oleh karena itu, peran ayah dan ibu dalam keluarga dapat seimbang seiring dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang dijamin oleh negara.
Ketika Islam menjadi jalan hidup bagi semua Muslim, tidak akan ada generasi yang menderita psikologis, mudah menyerah, atau mudah putus asa. Mereka akan menjadi generasi terbaik, dengan pikiran yang kuat dan karakter yang tangguh seperti generasi sebelumnya.
Wallahu’alam.
Oleh: Nur Amalya
Aktivis Muslimah
0 Komentar