Topswara.com -- Beberapa waktu lalu wacana perubahan sistem debat capres-cawapres menjadi polemik. KPU dituding akan menghapus debat cawapres oleh KPU. Sejumlah pihak menganggap hal ini syarat akan keberpihakan pada paslon tertentu. Jika melihat usia dan pengalaman, ada cawapres yang berusia muda dan minim pengalaman, dianggap akan kesulihatan menghadapi debat cawapres.
Komisioner KPU August Mellaz kepada wartawan, Senin (4/12) membantah tudingan bahwa KPU mengubah format debat capres cawapres dengan menghapus debat khusus cawapres. Tidak ada pengurangan dan penambahan, semua masih sesuai UU dan peraturan KPU (jawapos.com 4/12/2023). Format debat capres cawapres akan diumumkan kamis siang 6/12 setelah rapat.
Berbagai polemik terkait pilpres ini sebenarnya sudah muncul sejak awal ketika dua menteri kabinet pemerintah presiden Joko Widodo berpartisipasi dalam Pilpres 2024 .
Keduanya adalah menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan yaitu Maffudz MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo, kemudian menteri pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka (Tribunnews.com 03/11/23). Munculnya istilah politik Dinasti juga turut mewarnai hiruk pikuk politik saat ini.
Menyoal hal tersebut, pakar komunikasi politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi PILPRES 2024, termasuk mereka yang menjadi Bacapres dan Bacawapres untuk segera mundur dari jabatannya (Tribunnews.com 03/11/23).
Menanggapi hal tersebut, anggota KPU R. Idham Holik mengatakan Bacapres dan Bacawapres yang masih berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat ijin dari Presiden untuk cuti (Tribunnews.com 03/11/23).
Aturan-aturan KPU tersebut, sesungguhnya akan membuka peluang cukup lebar terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan, bahkan fasilitas negara dan anggaran. Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab sebagai pengurus urusan rakyat dan abai terhadap hak rakyat.
Bahkan hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara apalagi didukung regulasi yang ada. Ini adalah salah satu dampak dari peraturan yang dibuat manusia buah dari kedaulatan ditangan rakyat. Peraturan yang dibuat oleh akal yang lemah tentu tidak akan mampu mencapai kebenaran mutlak justru cenderung menimbulkan perselisihan dan pertentangan.
Tinggallah suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Namun sayang suara rakyat pun tidak berarti apa-apa dalam sistem demokrasi saat ini. Karena suara rakyat yang dimaksud sejatinya adalah hanya suara segelintir orang yang terpilih dalam proses pemilu dan menduduki kursi kekuasaan. Parahnya penguasa yang terpilih tersebut harus tunduk dan patuh pada partai pengusungnya atau korporasi yang menyokongnya.
Lebih jauh lagi demokrasi sejatinya hanya dijadikan alat oleh Barat untuk menguasai negeri-negeri Muslim untuk makin mencengkramkan hegemoni mereka dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan ideologi.
Sungguh melalui demokrasi ini, lahirlah negara yang senantiasa dikontrol dan dikendalikan oleh korporasi. Dominasi korporasi semakin mencengkram setelah korporasi multinasional turut cawe-cawe.
Alhasil sejatinya demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, namun kedaulatan para pemilik modal dan korporasi. Makin lama kegiatan demokrasi berjalan, maka semakin dalam ketundukannya pada pemilik modal.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam, secara konsep Islam menetapkan kedaulatan tertinggi ada ditangan syari'at bukan ditangan manusia/pengusa. Adapun manusia tidak memiliki peran sama sekali kecuali menggali hukum dari dalil-dalil dan mengaitkan dengan fakta yg terjadi. Sistem ini akan menutup peran manusia untuk mempengaruhi regulasi tanpa adanya tendensi kepentingan pihak tertentu.
Kekuasaan tertinggi diberikan kepada penguasa. Namun ia wajib taat pada aturan Islam sebagai aturan yang dilegitimasi dalam negara Islam. Peran penguasa dan para pejabat hanyalah melakukan hukum yang diturunkan Allah.
Oleh karena itu model elektoral sistem demokrasi yang mahal dan memudahkn pintu masuknya oligarki dapat dihindari. Parpol dan umat secara konsisten diwajibkan untuk mengawasi pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan hukum Islam dapat segera diidentifikasi dan dihilangkan termasuk penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi atau segelintir orang.
Kekuasaan dalam Islam adalah sesuatu yang konsekuensinya sangat besar. Jika seorang pemimpin itu amanah, maka akan mendapat pahala yang sangat besar. Sebaliknya jika seorang pemimpin itu berkhianat bahkan memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi hasrat ambisi pribadinya, partainya, dan kelompoknya maka bukan pahala yang didapat, tetapi kehinaan dan penyesalan dunia dan akhirat.
Adapun penguasa yang dikategorikan berkhianat diantaranya adalah tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga hukum Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah makna ayat-ayat Allah, mengabaikan hudud/ hukum-hukum Allah, pengabaian terhadap hak-hak rakyat, tidak menjamin keamanan rakyat, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, dan tidak menegakkan keadilan ditengah-tengah manusia.
Inilah kategori pemimpin yang dicap sebagai pengkhianat rakyat. Sungguh kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu generasi salafush shalih sangat khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan atau kekuasaan. Paradigma ini tergambar jelas dalam benak pemikiran dan perasaan mereka. Seandainya mereka menanggung amanah tersebut maka akan berusaha menunaikannya dengan optimal dan sebaik mungkin.
Para pemimpin dalam naungan Islam sangat hati-hati agar kekuasaan yang dimiliki tidak sampai digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kerabat, atau karibnya dan mengambil keuntungan dari jabatan yg dimilikinya. Makna kekuasaan inilah yang harusnya dipahami oleh kaum muslimin sehingga tidak terjebak pada praktek politik pragmatis demokrasi.
Kaum muslimin seharusnya memiliki rancangan sendiri dengan menghadirkan kekuasaan sebagaimana yang diperintahkan Allah azza wa jallah dengan penerapan Islam secara menyeluruh pada semua aspek kehidupan.
Oleh: Ani Susilowati, S.Pd.
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
0 Komentar