Topswara.com -- Kenapa setiap calon legislatif, kepala daerah, hingga presiden-wakil presiden menggunakan rasa sakit (pain) dalam kampanye (campaign)? Seolah ini menjadi penarik awal sebuah gagasan kampanye.
Tatkala hal itu sesuai dengan alam pikiran rakyat, maka harapannya rakyat memilih dan mendukungnnya. Rasa sakit bisa menjadi bahan kampanye dalam bahasa komunikasi politik dengan konstituen. Sama halnya dalam pemasaran publik, rasa sakit yang dihadapi akan diberikan solusi untuk menghilangkannya.
Sama seperti dalam kampanye, ketika rasa sakit rakyat itu ada, maka solusi dari calon pejabat menjadi pemikat untuk mendekat. Mengamati kampanye publik dalam pemilu 2024 banyak kata yang bisa jadi contoh.
Ketika anak-anak stunting dan kekurangan gizi maka solusinya dengan maka siang gratis dan susu di sekolah. Ketika marak korupsi maka bersama rakyat memberantas korupsi dan mendorong UU Perampasan Aset.
Ketika SDM menurun dan dikatikan dengan peningkatan taraf hidup maka tawaran pendidikan gratis hingga pendidikan tinggi. Sedikit sekali calon pejabat dan politisi yang berhasil mengidentifikasi persoalan utama negeri ini.
Kegagalan mengidentifikasi ini tidak ubahnya karena banyaknya problem yang sistemik. Solusi yang dibutuhkan sebenarnya fundamental, bukan parsial. Satu sisi diberi solusi satu sisi mengalami ketimpangan. Belum lagi bicara apakah problem ini disebabkan sistem atau orang yang menjalankan sistem? Hal inilah yang perlu dijawab dan dikaji lebih lanjut oleh siapapun yang ingin maju sebagai pejabat dan penguasa Indonesia.
Rasa Sakit Jadi Bahan Sakti
Kecakapan komunikasi politik dapat dilihat dari gaya berfikir dan berbicara. Dalam alat peraga kampanye dan debat publik, konstituen dapat menilai siapa yang memiliki komunikasi yang baik. Media penghantar pesan pun kian beragam.
Baik yang beredar di jalan-jalan, podcast, diskusi, ataupun media sosial. Politisi dan calon pejabat negeri ini harus mengeluarkan energi besar untuk menarik suara publik. Belum lagi bersaing dengan sesama partai atau calon lainnya.
Rasa sakit atau problem menjadi bahan sakti untuk kampanye dan debat publik. Karena dari rasa sakit inilah rakyat bisa merasa. Calon pejabat pun mencoba empati dan seolah memberi solusi. Alasan yang kerap terlontar darinya ialah ingin memberikan kebermanfaatan bagi rakyat. Tentunya sesuai cara yang mereka pahami.
Tanpa rasa sakit tampaknya kampanye akan terasa garing. Ibaratkan uji kesaktian solusi yang ditawarkan diharapkan menjadi angin surga dari janji-janji yang bisa terwujud nanti. Jika mengamati dari sudut padang komunikasi politik, maka penggunaan rasa sakit ini bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, rasa sakit menjadi kata kunci pertama dalam pembuka komunikasi. Ambillah contoh rasa sakit yang dialami guru. Generasi muda tak banyak melirik profesi guru karena bergaji rendah.
Apalagi gaji guru honorer dan pengangkatan menjadi PNS. Maka isu peningkatan kesejahteraan guru dan guru honorer menjadi daya pikat bagi kelompok guru dan mahasiswa yang ingin menjadi guru ketika lulus.
Kedua, rasa sakit diangkat seolah politisi mendengar dan merasakan nasib penderitaan rakyat. Dalam komunikasi jika sefrekuensi maka akan terjadi tautan untuk melanjutkan pembicaraan. Obrolan dan diskusi kian asyik dan menilai solusi gagasan nanti menjadi hal baru yang ditumpukan kepada politisi dan calon pemimpin negeri ini.
Ketiga, bahan sakti untuk mengunggulkan diri dari pemerintahan sebelumnya. Cukup menarik memang ketika mengusung gagasan perubahan di setiap pemilu. Pasalanya perubahan inilah yang diharapkan publik, meski sekedar berganti orang. Karenanya publik pun perlu memahami juga perubahan sistem yang diharapkan akan membawa kebaikan.
Ketika ada pembeda pemerintahan sebelumnya dan yang akan datang, maka menjadi entry poin untuk layak dipilih. Adu gagasan dan ide masa depan menjadi bahan menarik publik. Belum lagi segudang masalah akan ditanyakan dan dimintakan respon kepada calon pemimpin bangsa.
Keempat, gaya komunikasi yang dipakai lebih pada problem, agitatif dan solution (PAS). Ketika muncul masalah maka harapannya calon pemimpin mampu menyelesaikannya. Hal itu pula yang tertuang dalam visi misi pasangan capres-cawapres, maupun caleg yang menetapkan diri masuk ke parlemen. Uji gagasan publik menjadi sebuah hal menarik.
Gagasan itulah yang coba diterapkan ketika berkuasa. Sebab dengan kekuatan kekuasaan mampu menyelesaikan dengan mudah. Dukungan SDM dan sumber dana mampu mengerjakan dengan seksama dan cepat.
Alhasil, rasa sakit akan menjadi jualan dan bahan kampanye setiap politisi. Sayangnya, belum menyentuh rasa sakit sebenarnya yang bisa jadi ke depannya muncul masalah baru. Hal yang tidak mengenakkan ialah mudah menyalahkan pemerintahan sebelumnya.
Menggali Masalah dan Solusinya
Seseorang tidak pernah berfikir solusi pengganti sebelum mengetahui kerusakan suatu hal dan solusi yang fundamental. Sebenarnya kemiskinan, kelaparan, korupsi, hukum yang jual beli, ketimpangan ekonomi, dan lainnya adalah masalah cabang. Adapun masalah inti dari itu semua karena sistem yang diambil dalam bernegara tidak membawa kebaikan.
Ambil contoh kelaparan. Problem itu karena negara tidak memenuhi sandang, pangan, dan papan rakyat secara menyeluruh. Padahal itu menjadi kewajibannya. Begitu pun ekonomi hanya berputar di kalangan pemilik modal dan oligarki.
Alhasil, akses kekayaan dan pemenuhan kebutuhan tidak bisa untuk rakyat. Kondisi itu diperparah dengan penerapan ekonomi kapitalisme yang liberal. Sumber Daya Alam yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya diberikan untuk kemakmuran rakyat malah diserahkan kepada asing. Maka solusi kelaparan tidak cukup dengan makan siang dan pemberian susu. Betul begitu?
Belum lagi bicara hukum yang mudah dikangkangi kepentingan penguasa. Semua sama di hadapan hukum, tapi tidak di depan hakim. Begitu anekdot yang sering dijumpai. Pun demikian dengan politik yang berkolaborasi dengan kepentingan oligarki. UU yang digedok pun lebih berkepentingan kepada oligarki dan menyengsarakan rakyat. Maka solusinya tak cukup dengan mengangkat orang-orang baik dan amanah, tapi juga merombak sistem hukum dan politiknya.
Kalaulah semuanya mau jujur, problem yang terjadi di negeri ini diakibatkan karena manusianya tidak taat pada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga sistem kehidupan yang jauh dari syariah Islam kaffah. Alhasil ketimpangan pun kerap terjadi dan mengharapkan solusi yang ditawarkan politisi dan calon pemimpin negeri ini tampaknya tambal sulam. Belum menyentuh akar dan fundamental.
Sebuah gagasan untuk perubahan nyata yaitu diikuti kembali kepada syariah Islam kaffah. Inilah jalan hakiki untuk kembali kepada ilahi rabbi. Allah Yang Maha Baik telah memberikan seperangkat aturan untuk kehidupan manusia.
Tinggal manusia menjalankan dan menerapkannya tatkala diberikan amanah memerintah. Hakikat berkuasa tak sekedar ingin dicatat dan dikenang manusia. Lebih dari itu ini jalan meraih ridho Allah dan mendapatkan perlindungan ketika di hari kiamat tidak ada perlindungan.
Oleh karena itu siapapun yang menyalonkan diri sebagai politisi dan capres-cawapres, bawalah Islam kaffah untuk Indonesia lebih berkah. Adil, makmur, dan sejahterah mudah terwujud di mana-mana. Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 dengan Asta Cita akan mudah dihadirkan dalam kehidupan. Bahkan Menuju Indonesia Unggul Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari bukan lagi sebuah mimpi!
Oleh: Hanif Kristianto
(Analis Politik-Media)
0 Komentar