Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Road to 2024 (38): No Money No Democracy, No Money Nodong Oligarchy


Topswara.com -- Politik tidak anti uang. Justru politik membutuhkan uang. Bukankah demikian? Apalagi dalam menjalankan politik demokrasi. Makin ke sini makin tahu jika uang adalah segalanya dan segalanya butuh uang. Mau cetak kaos dan banner? Butuh uang. Mau mengumpulkan massa dalam kampanye? Butuh uang dan konsumsi. Bahkan pelaksanaan pemilu biayanya pun besar untuk cetak kertas suara, kotak suara, penyelenggara di TPS, pengamanan, hingga sosialisasi.

Publik sementara ini dibuai demokrasi. Seolah tumpuan harapan perubahan dan perbaikan tumpah ruah dalam demokrasi. Padahal demokrasi telah menunjukkan wajah asli. Demokrasi telah merusak orang-orang baik dan ikhlas terlibat politik uang, korupsi, hingga penyelewengan kekuasaan. Publik juga masih terkunci pemikirannya seolah tidak ada pilihan politik lain dari demokrasi yang lebih baik dan memperbaiki.

Siapa pun yang aktif dalam politik demokrasi baik politisi senior atau junior tidak menafikkan kebutuhan logistik. Kalaupun ada yang tanpa modal, biasanya ada funding father (bapak pendana). Tak semua orang mau dikenal sebagai politisi karena alasan tertentu. Demi memuluskan kepentingannya cukup menjadikan orang lain sebagai pionnya.

Politik demokrasi pun berkelindan kepentingan. Kepentingan ekonomi, kelompok, bisnis, dan jangka panjang untuk merebut remah-remah kekuasaan. Pasalnya kekuasaan dalam demokrasi sumber kekayaan ada dalam kekuasaan. Berkumpulnya uang dari hasil penarikan dan pajak, pendanaan semua kegiatan, hingga cara mudah memperkaya diri.

No Money No Democracy

Demokrasi menjelma menjadi sistem politik yang bersendi pada kapitalisme. Ideologi kapitalisme dikenal karena ekonominya cenderung pada materi dan modal yang menonjol. Adapun politik dikenal dengan demokrasi. Maka karakter politik demokrasi tidak bisa dilepaskan dari dasar ideologi yaitu memisahkan agama dari kehidupan (sekuler) dan kebebasan dalam bertindak.

No money no democracy tampaknya bisa menjadi rumusan logis dari praktiknya saat ini. Kondisi ini diperparah dengan liberalisasi politik yang tajam dam suasana demokrasi menghadirkan perseteruan. Tidak ayal juga korupsi menjadi perbincangan dan produk dari jalan demokrasi sebagai konsekuensi mahalnya biaya politik.

Demokrasi berkelindan dengan uang dan tanpa uang tampaknya tidak berjalan. Hal ini bisa dianalisis sebagai berikut:

Pertama, tidak ada jalan gratis dalam pemilu demokratis. Ada keringat dan usaha kerja keras yang harus dibayar. Kekuatan logistik uang tidak lagi malu untuk jadi perbincangan. Modal awal tidak cukup niat ikhlas dan semangat. Kalau hanya itu modalnya bisa jadi sebagai penggenap dalam urutan calon yang dipilih. Lalu menunggu keajaiban dari Allah agar bisa terpilih.

Kedua, pragmatisme kehidupan. Kondisi saat ini nilai materi menjadi yang utama. Jangka pendek dan hasil nyata diwujudkan di depan mata. Ada uang abang dipilih. Tak ada uang abang dibiarkan dalam bilik suara. Minimnya edukasi politik dan ekonomi yang tak tentu pragmatisme menjadi karakter hidup masyarkat kini.

Ketiga, modal untuk menang. Tidak melulu bicara gagasan, tetapi lebih kepada kemenangan. Nah, di sinilah perlu ada konsultan politik, lembaga survey, marketing politik, hingga branding politik. Upaya untuk menang berkaitan dengan berapa modal yang dikeluarkan. Kalaupun tak pakai uang pribadi ada pendana yang siap menyumbang dengan atau tanpa konsekuensi.

Keempat, liberalisasi politik yang menggerus idealis. Mahalnya demokrasi karena melibatkan semua rakyat seolah ingin kembali ke definisi awalnya. Padahal tatkala sudah duduk di kursi kekuasaan, pelibatan rakyat sangat minim. Bahkan urusan kekuasaan hanya berputar di kalangan elit politik. Rakyat sekedar menunggu kepastian apakah janji itu akan diwujudkan?

Kelima, tujuan berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Namanya modal dan uang sumbangan tanpa ada filter asal-usulnya. Apalagi kalau tanpa modal bisa menodong oligarki yang siap mendanai. 

Oligarki dalam politik demokrasi daya rusaknya kian besar dan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Segelintir oligarki rela merogoh kocek untuk pendanaan politisi yang siap menjadi boneka dan lumbung mendapatkan akses ekonomi ketika berkuasa.

Oligarki menginginkan usahanya lancar. Maka biar terkesan konstitusi mereka masuk ke pembuatan undang-undang. Sudah banyak UU yang dihasilkan pun liberal dan tidak pro rakyat. Tidak hanya itu, oligarki menjadi yang dimuliakan dan diberikan akses luas dibanding rakyat yang seharusnya diurusi kehidupannya. Bukan malah mengurusi oligarki yang memang niatnya menguntungkan dan memperkaya diri sendiri.

Alhasil, uang dan modal akan terus berputar di tahun politik. Pragmatisme politik hanya untuk meraih kekuasaan cara instant dan cepat. Tanpa berfikir untuk mengedukasi politik yang benar agar negara ini diatur oleh orang-orang benar dan penuh ketaatan kepada Tuhan.

Hati-hati Penumpang Gelap

Politik demokrasi hati-hati dikorupsi dan dimanipulasi. Ada yang terang-terang sebagai penunmpang dengan menjadikan dirinya sebagai politisi. Ada yang gelap-gelap menumpang karena tak ingin terusik kepentingan dan tujuan jangka panjang. Kegelapan demokrasi menyelimuti kehidupan yang tak lagi membawa kebaikan. 

Oligarki kerap menjadi sandaran mengumpulkan modal dan kapital. Ada deal yang tertulis dan tidak tertulis. Asalkan ketika duduk di kursi kekuasaan semua berjalan mulus sesuai kepentingan. 

Jika ini dilanjutkan tanpa ada pemikiran mendasar dan mendalam untuk mengoreksi, maka tidak akan ada perubahan. Penumpang gelap dan nakal malahan akan subur jika demokrasi masih menjadi esensi dalam politik negeri ini.

Kiranya publik perlu menyadari hal ini. No money no democracy. No money nodong oligarchy. Gambaran itu kini nyata di depan mata. Perubahan tak bisa diharapkan dari sistem politik yang demikian. 

Maka cobalah tengok politik yang tidak bertumpu pada uang semata, tapi pada ketaatan Rabb Alam Semesta. Inilah gambaran jika menelisik politik Islam. Politik yang bertumpu pada pengurusan rakyat dan menjaga agama.

Untuk menjadi penguasa tujuannya jelas taat pada Allah dan Rasul-Nya. Tendensi kekuasaan dan kekayaan bisa diminimalisir. Justru jabatan dimanfaatkan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Menegakkan hukum Allah yang penuh keadilan dan keberkahan. Inilah esensi yang perlu dibangun dibenak publik. 

Kalau sudah demikian, maka politisi yang mencalonkan diri bukan lagi minta dilayani tapi melayani. Bukan lagi taat pada oligarki, tapi taat pada Allah dan nabi. Gagasan menghadirkan politik yang baik hanya ada dalam politik Islam. Inilah yang perlu kembali ditegaskan.


Oleh: Hanif Kristianto 
(Analis Politik-Media)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar