Topswara.com -- Dikiranya menjadi caleg apa enggak pusing? Apalagi kalau sampai depresi dan gangguan kejiwaan. Apakah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) akan menjadi tempat penyembuhan? Belum lagi biaya politik yang ‘super mahal’ bagi kalangan awam. Hitung-hitung biaya kampanye dan pencalonan cukup untuk biaya hidup bagi rakyat biasa. Tampaknya, untuk menuju kursi jabatan hal-hal negatif itu dikesampingkan. Lebih diutamakan bagaimana cara untuk menang dan duduk di kursi kekuasaa. Bukankah demikian?
Semenjak liberalisasi politik demokrasi gaya berpolitik ‘ugal-ugalan’. Kebebasan di atas segalanya sebagaimana prinsip yang dipegang teguh demokrasi. Pun dengan kondisi masyarakat yang sejatinya tak siap bermain dalam politik, tapi dipaksakan. Hal itu untuk memenuhi kuota dan sekedar genap-genapan.
Aturan dalam pemilu pun membebaskan perihal pendanaan. Biaya kampanye dan pencalonan ditanggung setiap kontestan. Tidak hanya itu, saling kontestan baik sesama partai atau beda partai pun bersaingan. Berat di modal. Berat juga menjalani jalan terjal masa kampanye yang panjang.
Di tengah hiruk pikuk politik, himpitan ekonomi pun semakin menjepit. Modal biaya nyaleg tak mesti dari kantong pribadi. Ada yang pinjaman bank dengan catatan kalau terpilih SK pengangkatan langsung ‘disekolahkan’. Ada juga yang dimodali dengan syarat tukar guling kepentingan dan jatah proyek pembangunan. Intinya biaya kampanye itu besar, karena bagian dari marketing dan branding politik calon anggota dewan.
Uniknya yang belum disadari publik, jika caleg itu kalau gagal terpilih ada ragam problem yang menghinggapi. Mulai meminta lagi property yang pernah disumbangkan ke pemilih. Depresi yang akhirnya gangguan mental hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Sampai tindakan kriminal karena tak sanggup mengembalikan uang yang telah terpakai. Tagihan bank dan orang pun meneror keluarga sekitar.
Demokrasi Jalan Menuju Depresi?
Demokrasi bisa menjadi salah satu jalan merusak kehidupan. Beda pendapat sih biasa, kalau beda pendapatan biasanya yang menjadi perkara. Akar demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan (sekuler) telah menjadikan manusia kalau punya masalah kadang mudah depresi. Kasus-kasus bunuh diri pun sering terjadi ketika ada masalah tapi minim iman dan aqidah.
Antisipasi RSJ akan adanya caleg depresi bukan isapan jempol semata. Hal ini bisa menjadi fakta baru yang publik perlu tahu. Karena itu, berikut beberapa analisisnya:
Pertama, salah mindset soal jabatan sebagai anggota dewan. Hal ini bisa berdampak pada salah niat dan langkah. Seolah ingin menyejahterahkan melalui keikutsertaan sebagai legislatif, malah blunder yang berujung menyengsarakan diri sendiri.
Yang namanya jabatan itu amanah. Biasanya amanah itu berat. Kalau tidak kuat bisa kualat dan didoakan rakyat yang jelek-jelek. Apalagi kalau ketika menjabat malah sombong dan lupa pada konstituen yang memilih. Siap-siap rakyat mengudeta hati dan tak lagi pasang muka ke politisi.
Kedua, biaya dan modal besar di awal pencalonan. Tak semuanya bisa menang. Kan ini sebuah perlombaan perebutan kursi jabatan. Seringnya, biaya besar ini disalahgunakan dengan ‘politik uang’. Harapannya konstituen memilih lalu mengantarkannya ke kursi kuasa. Giliran suaranya kurang dan kalah, rasa kecewa membuncah. Ibaratkan bisnis sudah keluar modal besar malah boncos yang didapatkan.
Biaya yang besar ini pula yang mendorong ketika menjabat sudah berpikir balik modal. Akhirnya jurus gendeng 212 dipakai. 2 tahun pertama mengembalikan modalnya. 1 tahun berikutnya baru kerja untuk rakyatnya. 2 tahun setelahnya siap kampanye dan mengumpulkan dana. Ini juga menjadi salah satu alasan korupsi gila-gilaan politisi dalam sistem demokrasi.
Ketiga, cara instan duduk di kursi kekuasaan. Bicara politik tidak semudah bicara sepak bola yang menang siapa. Lebih komplek lagi jika dikatikan dengan politik demokrasi. Terdapat trik dan intrik yang tak mudah dipahami publik. Rasa frustasi dan depresi karena dikhianati teman politik sendiri kerap terjadi. Saling sikut antar politisi demi kepentingan tenar dan mempertahankan kekuasaan.
Politik demokrasi itu keras. Kalau tidak siap bisa tergilas. Tergila-gila kekuasaan bisa jadi gila beneran. Karenya banyak yang menyalonkan anggota dewan, RSJ paham harus menyiapkan bed dan kamar khusus sesuai kebutuhan yang beragam.
Keempat, merebaknya mental illness (penyakit mental) yang diidap calon anggota dewan yang tidak paham mengurusi kenegaraan. Karenanya terkadang sikap anggota dewan arogan, ngawur, bahkan menyelewengkan kekuasaan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, keputusan dan aturan yang dibuat pun akan merusak ketentraman dalam kehidupan. Sudah aturannya nggak beres malah mengorbankan rakyat di bawah. Lalu untuk apa menyerahkan aturan kepada manusia biasa?
Kalau demokrasi malah jadi jalan menuju depresi kehidupan berbangsa dan bernegara pun lebih parah. Elite politik pun bermain hanya demi kepentingan golongannya. Aji mumpung menjabat untuk meraup untung dan laba politik. Ditambah lagi oligarki yang ikut bermain menentukan percaturan perpolitikan. Akhirnya, negara hanya dikuasai ‘orang-orang jahat’ yang tak pernah mengurusi rakyat.
Tetap Hati-Hati
Maksud hati berjuang demi kepentingan rakyat melalui jalur demokrasi. Apa daya malah berujung pada depresi. Siapapun yang ingin berjuang melalui jalur demokrasi harap berhati-hati. Tak semudah itu hanya berbekal niat tulus tapi ujungnya modus. Rakyat pun juga jangan mudah termakan jargon demokrasi yang menyayat hati. Kampanye-kampanye itu memang menarik dengan janji-janji. Pertanyaannya apakah semua bisa terealisasi?
Demokrasi bisa menjadi bencana baru. Carut marutnya kehidupan bisa jadi karena salah pilihan politik yang berimbas pada aturan yang dihasilkan. Pada titik inilah semua perlu memiliki kesadaran jika ada politik yang memanusiakan manusia. Politik yang orientasi tak melulu dunia, tapi bervisi amanah dan keakhiratan. Inilah politik yang terdapat dalam Islam.
Islam menilai menjadi wakil umat itu amanah. Karenanya tak layak jika manusia meminta amanah tapi ternyata tidak kafaah (mampu). Apalagi wakil umat itu bukan mewakili semua kebahagiaan yang seharusnya dinikmati rakyat. Giliran rakyat susah tak mau membersamainya atau pura-pura tak tahu. Wakil umat itu boleh selama aturan yang ada didasarkan pada syariah. Bukan malah membuat aturan dari akal pikir manusia yang terbatas dan condong kepada kepentingan kelompoknya.
Karenanya mendasarkan seluruh aturan dalam kehidupan dan bernegara kepada syariah menjadi poin utama sebagai wakil rakyat yang amanah. Jika demokrasi telah memberikan gambaran buruk dari sistem yang ada. Kenapa tidak beralih saja kepada politik Islam yang telah Allah perintahkan?
Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media
0 Komentar