Topswara.com -- Korupsi, kata yang tidak asing di telinga kita. Konotasi negative melekat erat padanya. Setiap orang yang bersentuhan dengannya seketikahilang kehormatan dan harga diri. Racun yang mematikan bagi masyarakat.
Sehingga negara membentuk “pasukan” khusus untuk menangani masalah ini. Itulah yang dinamakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau dikenal dengan KPK.
Belum lama ini kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada tanggal 9 Desember. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Sinergi Berantas Korupsi, Untuk Indonesia Maju”.
Harapan pemerintah dari tema itu yakni, masyarakat ikut serta dalam memberantas korupsi. Diharapkan masyarakat menjadi factor utama yang senantiasa berinisiatif dalam memberantas koruptor.
Dorongan pemerintah pada masyarakat agar punya rasa memiliki terhadap upaya penghapusan korupsi ini, digambarkan dalam logo barunya yang punya filosofi, dalam keanekaragaman saling bahu membahu melawan dan memberantas korupsi.
Kendati demikian, semangat saja nampaknya tidak cukup, butuh keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini. Bila dilihat dari pergerakan kepercayaan public terhadap kinerja badan KPK Nampak terjadi trend yang merosot dari waktu ke waktu.
Hal ini dapat dilihat dari hasil survey Indikator Politik Indonesia (IPI) pada rentang 18-24 Mei 2022 menyatakan bahwa tingkat kepercayaan public terhadap KPK paling rendah diantara lembaga penegak hukum.
Selain itu upaya penegakan tindak korupsi di KPK cenderung menurun. Hal ini dapat dilihat dari laporan hasil pemantauan trend penindakan korupsi tahun 2022 yang diterbitkan ICW. Disana disebutkan bahwa pada tahun 2019 KPK menangani 62 kasus dengan 155 tersangka. Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi 15 kasus dengan 75 tersangka.
Sementara itu, pada tahun 2021 KPK menangani 32 kasus dan menetapkan 115 tersangka. Adapun pada tahun 2022 KPK menangani 36 kasus dengan tersangka sebanyak 150 orang. Dari sana bisa dilihat bahwa KPK belum konsisten dalam menangani kasus ini. (Tirto.id-9 Desember 2022).
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kondisi ini sebagaimana dinilai oleh para aktifis anti korupsi melemahkan posisi KPK, diantaranya diawali oleh Revisi UU KPK, kemudian polemic Test Wawasan Kebangsaan (TWK), lalu masuknya komisioner yang dianggap tidak mumpuni, juga pelanggaran kode etik oleh sejumlah pejabat tinggi KPK . Yang paling hangat adalah penetapan ketua KPK nonaktif Firli Bahuri, sebagai tersangka kasus korupsi.
Dimana tersangka terjerat dugaan kasus pemerasan atau gratifikasi terkait kasus korupsi di Kementrian Pertanian. Selain itu diduga memiliki rumah mewah di Kartanegara Jakarta Selatan. (Tirto.id-9 Desember 2023).
Pergerakan badan eksekutif tampak jelas dalam upaya menguasai lembaga KPK ini. Sehingga dari sana dengan mudah mengatur langkah-langkah pengawasan, penyadapan, hingga SP3, dan berhasil melemahkan KPK. Seperti yang dijelaskan oleh Castro dalam wawancara dengan reporter Tirto, Jumat (3/12/23). KPK kini kebih menitik beratkan pada upaya pencegahan dan meninggalkan penindakan, alhasil kinerjanya makin merosot.
Penghilangan korupsi dalam sistem kapitsalisme adalah sesuatu yang mustahil. Dikarenakan sistem politik demokrasi yang terdapat di dalamnya memunculkan praktek politik transaksional dengan biaya tinggi ini justru menumbuh suburkan praktek-prektek korupsi, rasuwah, dan kolusi. Semua upaya menjadi terasa bagaikan isapan jempol belaka. Alih-alih menghilangkan, korupsi malah makin membudaya.
Bila dilihat lebih dalam, korupsi merupakan persoalan sistemis. Dimana pemahaman sekularisme menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dalam politik dan pemerintahan. Sehingga tidak ada kontrol internal di dalam diri para pejabat.
Disamping itu biaya tinggi dalam politik demokrasi meniscayakan korupsi tumbuh subur, lalu sanksi bagi koruptor yang tidak menimbuklan efek jera, dimana rata-rata para koruptor hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Wacana hukuman mati untuk koruptor malah dijegal oleh HAM.
Selain itu sebagian besar pelaku berada dalam link kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa yang dijatuhi hukuman adalah mereka yang tidak punya posisi kuat dalam politik. Jadi kesimpulannya bahwa korupsi ini diciptakan oleh sistem yang sedang kita jalani saat ini.
Penting kiranya kita mengganti sistem ini dengan sistem yang mampu melindungi manusia dari masalah-masalah seperti ini, sehingga langkah yang tepat adalah dengan melakukan perbaikan dari akar permasalahannya.
Kesempurnaan sistem Islam yang lahir dari kesempunaan Sang Pencipta, memberikan jaminan yang pasti untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia di dan seluruh alam, baik di dunia maupun di akhirat.
Setidaknya ada enam faktor budaya korupsi tidak akan tumbuh dalam sistem Islam.
Pertama, dasar akidah Islam akan membentuk kesadaran penuh bahwa pengawasan Allah senantiasa tertuju pada setiap manusia. Sehingga menjadikan para politisi bertakwa dan enggan untuk berbuat dosa. Karena mereka meyakini setiap perbuatan dosa akan memberikan kosekwensi yang besar bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ini menjadi kontrol internal bagi setiap individu.
Kedua, sederhananya sistem politik Islam menjadikan biaya politiknya minim. Sifat kepemimpinan dalam Islam adalah tunggal, dimana pengangkatan dan pencopotan pejabat adalah kewenangan khalifah. Oleh karena itu praktek balas budi dan utang piutang dengan para “pemodal” jabatan menjadi hilang. Ini menjadi pencegah praktek korupsi.
Ketiga, peran parpol dalam Islam fokus pada dakwah, amar makruf nahi mungkar, dalam mengontrol dan mengkoreksi pemerintah. Jadi proses politik dan politisi tidak tergantung pada partai politik.
Seorang anggota parpol harus melepaskan partai politiknya bilamana ia sudah terpilih menjadi pejabat. Ini yang mencegah terjadinya praktek jabatan yang dieksploitasi partai, seperti yang marak terjadi hari ini.
Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Siti Rini Susanti
Aktivis Muslimah
0 Komentar