Topswara.com -- "Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Ungkapan populer dalam politik demokrasi ini bukannya tanpa bukti. Saat kita menoleh ke belakang, banyak fakta kembali tergali.
Bagaimana seseorang yang mulanya menjadi rival, justru akhirnya bersanding menjadi pembantu kekuasaan bagi sang rival. Bagaimana partai-partai besar pada level nasional bertarung sebagai lawan, namun pada level daerah justru berkoalisi memenangkan calon pemimpin daerah yang sama.
Sayangnya tabiat plin-plan politik demokrasi ini tidak disadari oleh rakyat pendukung peserta pemilu. Disaat partai peserta pemilu dan paslonnya putus-sambung kemesraan, rakyat pendukungnya justru bersitegang hingga memunculkan konflik yang berujung perpecahan.
Masih lekat di benak kita, bagaimana kampanye Pemilu 2019 telah menyebabkan kegaduhan 'cebong-kampret' hingga persatuan Indonesia sempat terbelah. Bukan tidak mungkin, Pemilu 2024 akan mengantarkan kita pada kondisi yang sama.
Niccolo Machiavelli dalam bukunya, Il Principe, membahas tentang bagaimana merebut, mempertahankan, dan kehilangan kekuasaan (kompas.tv, 3/5/2023).
Karena tulisannya dalam buku tersebut, banyak kalangan menganggap Machiavellis memiliki gagasan bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi pemerintahan dan negara, adalah sah dan baik untuk dilakukan.
Dengan kata lain, demi tujuan mencapai, merebut, dan mempertahankan kekuasan, segala cara halal dilakukan. Hal inilah yang kemudian memberikan warna dominan pada praktik demokrasi negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Tidak heran pada kampanye pemilu, kita menemukan cara-cara curang seperti suap, pencitraan, dan black campaign yang dilakukan kontestan maupun para pendukungnya demi memenangkan suara rakyat. Padahal praktik semacam ini akan mengantarkan rakyat pada konflik yang membahayakan persatuan dan kesatuan.
Praktik menghalalkan segala cara dalam politik demokrasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Dalam demokrasi, secara teori kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun pada faktanya, kedaulatan (hak membuat hukum) hanya dimiliki oleh segelintir anggota parpol peserta pemilu yang terpilih sebagai wakil rakyat.
Rakyat tidak memiliki kedaulatan. Fungsi rakyat sebagai pemilik kekuasaan pun terbatas pada memilih orang-orang yang akan menjadi penguasa melalui pemilu.
Karena mustahil menyatukan suara rakyat banyak, maka kita akan mendapati praktik suap, penggiringan opini melalui pencitraan ataupun black campaign untuk menjatuhkan lawan politik. Suara rakyat 'dibeli' dan digiring opininya melalui citra yang dibangun oleh media dan buzzer.
Selain bisa memunculkan para pemimpin yang tidak punya kompetensi dan kapabilitas, praktik semacam ini juga bisa memunculkan potensi konflik di tengah-tengah rakyat.
Jabatan Adalah Amanah
Berbeda dengan demokrasi yang memandang jabatan adalah sarana menguasai urusan rakyat melalui perundang-undangan yang dibuat oleh wakil rakyat, ideologi Islam justru memandang jabatan adalah amanah atau beban yang sangat berat, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan hingga akhirat.
Karena beratnya urusan ini, Islam memiliki mekanisme agar pemilihan penguasa berjalan secara rapi, lancar, dan penuh kebaikan.
Islam menetapkan bahwa kedaulatan di tangan Allah. Karenanya, yang satu-satunya berhak membuat hukum hanyalah Allah. Fungsi kepala negara atau khalifah adalah pelaksana hukum sekaligus memastikan bahwa hukum yang dilaksanakan senantiasa berjalan sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Khalifah tidak berhak membuat hukum kecuali dalam perkara-perkara teknis. Ketentuan ini akan meminimalisir ambisi rakus manusia untuk menguasai manusia lainnya melalui produk hukum yang zalim dan tidak berpihak kepada rakyat.
Langkah berikutnya adalah teknik pemilihan penguasa (khalifah). Para calon khalifah hanya bisa dipilih jika mereka memenuhi minimal tujuh syarat utama pengangkatan, diantaranya: muslim, laki-laki, baligh, berakal (tidak memiliki gangguan mental), adil (tidak zalim), merdeka (bukan budak yang tunduk pada kemauan tuannya) dan mampu memikul beban kepemimpinan.
Tanpa ketujuh syarat minimal ini, maka seseorang tidak bisa mengajukan diri menjadi penguasa. Dari sini praktik pencitraan ataupun black campaign akan bisa dihilangkan.
Secara teknis, langkah pemilihan penguasa ini telah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat memilih penggantinya. Umar menetapkan enam calon yang kompeten.
Diantara keenam calon ini, mereka melakukan musyawarah hingga menetapkan dua calon yang dianggap paling baik dari mereka, yakni Ali dan Utsman. Setelah itu, dimintalah pendapat masyarakat hingga akhirnya suara mayoritas memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah yang baru.
Dari sini jelas, politik demokrasi rawan memunculkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Berbeda dengan politik Islam yang justru terbukti mampu menutup celah-celah kecurangan dalam pemilihan penguasa, sekaligus meminimalisir bahkan menghilangkan potensi konflik di tengah-tengah rakyat.
Allahu a'lam.
Oleh: Ranita
Pegiat Dakwah
0 Komentar