Topswara.com -- Bulan Desember, selain menjadi bulan penutup tahun, tetapi juga di dalamnya terdapat hari peringatan yang penting di negeri ini. Yakni, Hari Ibu yang jatuh pada setiap 22 Desember.
Peringatan yang dijadikan sebagai momentum ungkapan rasa terima kasih atas jasa ibu yang luar biasa. Pada momen ini juga sebagai pesan untuk masyarakat bahwa perempuan merupakan motor penggerak keberhasilan pembangunan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA selalu mengusung tema untuk setiap tahun perayaan hari ibu. Dan dalam peringatan Hari Ibu ke-95 tahun ini adalah Perempuan Berdaya, Indonesia Maju dengan mencangkup empat subtema, yakni Perempuan Bersuara, Perempuan Berdaya dan Berkarya, Perempuan Peduli, Perempuan dan Revolusi. (cnnindonesia.com, 17/12/2023)
Di era kapitalisme saat ini, ibu dituntut untuk berdaya. Di mana ibu harus bisa menghasilkan materi untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun keluarga. Peran ibu tidak hanya sebagai pendidik generasi penerus, tetapi juga sebagai penghasil pencetak uang.
Bukan berarti seorang perempuan yang telah berkeluarga dan menyandang status sebagai seorang ibu tidak diperbolehkan untuk berkarya ataupun menghasilkan uang. Boleh saja, tetapi jangan sampai mengabaikan tugasnya sebagai ibu.
Namun, hal ini sulit karena tuntutan kehidupan di sistem kapitalisme ini sangat banyak dan berat. Biaya kehidupan yang mahal memaksa ibu untuk ikut menanggung nafkah keluarga. Ia harus bekerja agar kebutuhan keluarga bisa tercukupi. Perempuan tidak lagi menjadi tulang rusuk, tetapi juga sebagai tulang punggung. Ia tidak lagi dinafkahi, tetapi harus menafkahi.
Inillah yang dimanfaatkan kapitalis untuk mengeksploitasi kaum ibu sebagai mesin pencetak uang. Mereka bekerja, tetapi dengan gaji yang rendah. Dengan pekerjaan yang berat dan durasi yang lama, tetapi hasil yang didapatkan sangat tidak layak.
Mereka juga rentan menjadi objek seksualitas demi mendapatkan uang yang banyak. Iming-iming pekerjaan yang mudah dengan hasil yang banyak membuat mereka terjerumus pada dunia kriminalitas seperti prostitusi dan narkoba. Halal dan haram tak lagi dipertimbangkan karena yang penting dapat cuan dan tercukupi semua kebutuhan.
Kapitalisme telah menjerumuskan perempuan dengan membuatnya menginggalkan rumah. Mereka ditarik keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah atau berkarir.
Konsekuensinya, tidak hanya terlepas dari perlindungan, tetapi membuatnya meninggalkan tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Ia bergelut di luar rumah demi segepok uang dengan mengorbankan keselamatan dan kemuliaannya sebagai ibu.
Islam Memberi Solusi
Berikut ini dialog antara iblis dengan setan tentang bagaimana cara merusak ibu dan keluarga: “Jika ingin merusak sebuah keluarga, maka rusaklah terlebih dahulu Ibunya. Beri Ia perasaan lelah. Jika sudah lelah ambil rasa syukurnya. Biarkan Ia merasa hidupnya habis untuk mengurus keluarga. Setelah kau ambil rasa syukurnya, buatlah Ia tidak percaya diri ketika melihat dan membandingkan kebahagiaan orang lain dengan miliknya. Jika itu sudah terjadi, ambil juga rasa sabarnya. Buat Ia merasa ada banyak hal berantakan dan masalah yang terjadi dalam rumahnya, yang timbul dari anak-anak dan suaminya. Goda lisannya untuk berkata kasar, hingga anak-anaknya mencontoh dan tidak menghargainya lagi. Hingga bertambahlah kemarahan demi kemarahan dan hilanglah aura surga dalam rumah. Dan perlahan akan kau dapati rumah itu rusak, dari pintu seorang Ibu.”
Keluarga merupakan unit terkecil dalam negara yang terdiri dari Ayah, Ibu serta anak-anak. Namun, sekalipun unit terkecil, keluarga merupakan dasar utama yang terpenting untuk generasi penerus negara.
Dikarenakan di dalam keluarga, terdapat pendidik pertama atau madrasatul ‘ula yaitu seorang ibu yang menjadi sekolah pertama untuk anak-anaknya. Tak heran jika setan dan iblis mengincar ibu supaya bisa merusak keluarga.
Dalam Islam, ibu dan ayah memiliki peran dan fungsinya masing-masing yang tentunya saling berkaitan dan bersinergi dalam mencetak generasi penerus yang berkualitas.
Seorang suami atau ayah menyandang status sebagai qawwam atau pemimpin kepala rumah tangga. Sedangkan istri atau ibu mengemban amanah penting dan sangat krusial sebagai ummu wa robbatul bait, ibu dan pengurus rumah tangga.
Di tengah gempuran sistem yang sekuler dan kapitalistik ini, maka harus ada revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi. Sudah saatnya mengembalikan peran ibu sesuai dengan perintah Allah demi mewujudkan generasi berkepribadian mulia.
Peran penting negara sebagai pelayan rakyat, termasuk juga dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi para ayah sehingga mampu menafkahi keluarganya dengan layak. Hal ini tentu mengharuskan negara mengelola sendiri sumber daya alam agar mampu memberi kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya.
Dengan begitu, para ayah bisa bekerja di berbagai bidang pekerjaan yang luas dan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Selain itu, pengelolaan SDA oleh negara juga akan menghasilkan pemasukan yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Hasil SDA tersebut bisa dipakai untuk membiaya berbagai fasilitas publik, pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, dan pelayanan kesehatan yang merata. Ketika semua kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, maka para ibu akan bisa fokus dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik generasi.
Namun hal tersebut sungguh sulit diwujudkan, jika masih saja terbelenggu dalam sistem kapitalis seperti saat ini. Di mana kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mengedepankan keuntungan untuk segelintir pemilik modal tanpa menghiraukan jeritan rakyat kecil.
Karena itu, kembali pada Islam merupakan solusi yang tepat. Sebab, hanya Islam yang mampu mengembalikan posisi dan peran ibu yang sesungguhnya. Yakni, sebagai pencetak generasi penerus yang berkualitas dan mulia.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Oleh: Yuniarti Dwiningsih
Aktivis Muslimah
0 Komentar