Topswara.com -- Sahabat, apakah bullying itu membuat kita keren? Inilah fakta yang terjadi akibat bullying dibeberapa kota di Indonesia. Satu Siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kota Medan menjadi korban pembullyan dan penyiksaan oleh teman-temannya kemudia viral di sosial media. Ia dipukuli, disuruh memakan sendal berlumpur, makan daun mangga dan dipaksa meminum air yang sudah diludahi sekitar 20 orang.
Bukan cuma itu, punggung telapak tangannya juga disundut menggunakan kunci yang dibakar terlebih dahulu menggunakan korek api. Setelah dibakar, kunci sepeda motor panas tadi ditempelkan ke tangan dan dibentuk huruf PA hingga melepuh.
Mirisnya lagi, 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta menjadi korban perundungan atau bullying oleh kakak kelas. Belasan korbannya dikeroyok secara bergiliran. Para pelaku lebih dulu menutup kepala korban sebelum melakukan penganiayaan.
Nah, bukan hanya dikalangan remaja saja bahkan ditingkat sekolah dasar terdapat fakta bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) berduka cita yang mendalam atas meninggalnya siswa kelas 6 SD berinisial F (12) di Bekasi yang menjadi korban bullying hingga berujung kakinya diamputasi.
Bahkan, terjadi kasus dugaan perundungan atau bullying siswa kelas 3 SD oleh teman sekolahnya di salah satu SD swasta di Sukabumi, Jawa Barat, masih dalam proses penyelidikan polisi.
Sahabat, jika seperti itu, menyakiti orang lain, menghilangkan nyawa hingga berujung bui dengan alasan tak berarti dimana letak kerennya, sahabat? Tentu amat jauh dari definisi keren.
Beberapa potret maraknya bullying tersebut sebagai penggambaran bagaimana kondisi kualitas generasi kini. Generasi yang ingin memperlihatkan eksistensinya namun nahas tercemar oleh bentuk pengakuan yang batil.
Pengakuan yang batil yaitu berupaya menjadi kuat dari pada teman lainnya dengan membuat ‘geng’ atau circle pertemananan khas dengan kekerasan yang mengatasnamakan solidaritas. Tidak bisa dipungkiri, hal ini telah membuat generasi tertipu dengan pengakuan diri yang salah arah bahkan tersesat.
Namun, disisi lain kondisi yang terjadi bukanlah semata karena invividu/pribadi yang tak pandai dalam menentukan arah hidup, mencari teman, hingga gagal menampakkan kemampuan dirinya dalam berinteraksi.
Karena, pada dasarnya setiap remaja tentu akan berada pada masa ingin mengetahui bahkan menemukan jati dirinya melalui apa yang ada disekitar mereka atau yang sering disebut sebagai eksternalisasi diri hingga menjadi internalisasi diri atau memasukkan habits dari luar/lingkungan untuk dijadikan kebiasaan sampai menjadi wataknya.
Siklus dalam pembudayaan sikap/watak dimana semua berawal dari tempat remaja kini belajar. Tentunya, pengajaran yang dimaksud disini bukanlah yang ada disekolah formal saja, akan tetapi termasuk apa saja yang diajarkan dirumah/keluarga mereka?, bagaimana kondisi sosial di lingkungan mereka? hingga tatanan pemerintahannya seperti apa? Apakah sudah dijalan yang benar atau justru sebaliknya?
Dari segi keadaan rumah atau keluarga, apabila diinsafi keadaan yang terjadi pada rumah tangga di Indonesia kini berada dalam kondisi yang memilukan. Berdasarkan laporan statistik di Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia 516. 334 kasus pada 2022.
Penyebab utamanya yaitu perselisihan dan pertengkaran, 63,41 persen dari total faktor penyebab kasus perceraian di tanah air. Berdasarkan data tersebut dipastikan beberapa anak akan menyaksikan pertengkaran orang tuanya, yang menyebabkan anak tak lagi betah dirumah mencari kenyamanan lain diluar rumah.
Adapun dari sisi pendidikan formal, di sekolah yang terlihat minat bersekolah masih ada tapi minat belajar yang menurun. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal yang kompleks sehingga anak-anak bahkan remaja kini hadir disekolah dengan model belajar 3D1P yaitu, 3D (Datang, Duduk, dan Diam) serta 1P (Pulang).
Minat belajar kini yang masih diupayakan oleh pemerintah yang sayangnya meskipun telah berkali-kali mengganti kurikulum setiap kali ganti menteri tapi justru output yang hadir justru bullying yang meningkat bukanlah minat belajar bahkan kesadaran untuk terus belajar.
Padahal, generasi kehilangan strong why atau alasan kuat mengapa mereka harus belajar. Apatah lagi, sejelek apapun nilai belajar mereka nilai raport akan tetap di make-up oleh gurunya agar naik kelas.
Bahkan sekolah kini, terdapat polarisasi sekolah favorit dan sekolah biasa saja. Ini tentu sangat kompleks karena biaya Pendidikan yang semakin menguras dompet orang tua untuk menemukan sekolah yang berkualitas.
Selain itu, hal yang paling utama yaitu, peran pemerintah atau negeri dalam membina generasi kini. Setiap negeri tentu mempunyai ideologi yang khas. Ideologi tersebut yang menyadarkan setiap warga negara terhadap qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) masyarakatnya.
Meskipun kini, negeri ini menganut ideologi berasaskan Pancasila namun, pada kenyataanya pola sikap masyarakatnya kental dengan sekularisme liberalisme.
Sekularisme liberalisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan dengan memilih gaya hidup sebebas-bebasnya bahkan kebebasannya dijamin oleh undang-undang, dengan dalih HAM.
Dalam Pancasila di sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada dasarnya, remaja kini memang mengakui dirinya beragama. Entah itu Islam, Nasrani, Budha. Tetapi, pada kenyataannya tempat ibadah tidak dimakmurkan oleh remaja tapi justru oleh kakek-kakek yang sudah sepuh.
Anehnya lagi, apabila mendapati remaja yang rajin beribadah dan rajin mengikuti kajian Islam seketika akan dikatakan alim hingga komentar paling negatif yaitu “sok alim” padahal yang dikerjakannya adalah kewajiban agamanya sendiri yang itu menjadi hal wajar, bukan hal yang luar biasa, tapi biasa saja. Ada juga level nyinyiran paling epic yaitu radikal.
Ada pula kasus dalam beberapa waktu yang lalu ada seorang guru yang viral hendak dipenjarakan oleh orang tua siswa karena mendidik muridnya untuk shalat wajib. Bahkan tak tau malu orang tuanya menuntut keberatan sebesar 50 juta. Aneh bukan? Naudzubillahi mindzallik.
Artinya, dengan hal tersebut negeri ini berada dalam pusaran sekularisme yang paling memiliki dosa besar atas kerusakan generasi di negeri ini. Secara kebijakan tampak negeri ini tidak mempunyai instrumen untuk menshalih-shalihahkan generasi dengan aturan yang mengikat/ketat mengenai hubungan anak-anak atau remaja untuk mendekatkan diri pada penciptaNya.
Tidak ada sanksi yang tegas dari negara apabila tidak shalat bahkan asal bergaul pada remaja. Jika seperti itu bagaimana bisa terbentuk remaja yang bertakwa?
Remaja kini tak punya arah, sebab kurikulum Pendidikanpun tak mendidik bagaimana menjadi manusia yang paripurna. Bahwa, setiap insan harus mempunyai jawaban yang tuntas mengenai dari mana dirinya berasal? untuk apa dirinya berada di dunia ini? Serta akan kemana dirinya setelah kehidupan dunia?
Jika negeri ini belum bisa memberikan pengajaran atas jawaban yang benar atas pertanyaan ini maka generasi kita akan menjadi generasi yang kerdil, hasilnya cuma bisa mengusik temannya sendiri bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
Karena jawaban atas pertanyaan tersebut tak memuaskan akal. Remaja hanya bisa berpikit dangkal bahwa ia berasal dari ayah-ibunya, kehidupannya hanya untuk menggapai cita-cita yang cenderung materi semata bahkan akhir kehidupan saja tentang ukhrawi tidak yakin bahwa semua akan berpulang pada penciptaNya, terbukti sikap remaja muslim secara khusus yang telah banyak meninggalkan salat tak mengenal agamanya, terasing dari agamanya.
Hal ini berbeda dalam pendidikan generasi dalam Islam. Generasi dibimbing untuk menjadi generasi yang gemilang yang jelas arahnya untuk ketaatan pada Allah swt. Sehingga pola pikirnya bersandar pada standar yang jelas halal, haram, mubah, dan makruh, yang akan membentuk sikap mereka. Bukan standar biasa atau luar biasa. Viral atau tidak viral.
Sebagaimana contoh kegemilangan generasi Islam kontemporer yang ada di belahan bumi Syam, Palestina terutama Gaza. Anak-anak bahkan remaja di Gaza memang terbatas dalam berbagai hal.
Secara logika, wilayah mereka diboikot oleh zionis; sumber air, listrik hingga pabrik roti sebagai bahan makanan pokok mereka. Tetapi, mereka tetap bertahan dan berjuang melawan untuk tanah suci milik seluruh umat muslim.
Remaja di Gaza mempelajari Al-Qur’an, menghafalkannya menjadikan standar dalam kehidupan mereka sehingga, mereka fokus dan konsisten dalam menjaga kewibawaan Islam.
Bahkan dalam saku celana seorang anak yang syahid di Gaza karena tertimpa reruntuhan anak tersebut menuliskan apa-apa saja kelalaiannya dalam mengingat Allah SWT disetiap hari. Bahkan, saat ia mencetak gol lalu ia berbangga diri dia menuliskannya sebagai bentuk kesalahan yang dilakukannya di hari itu.
Selain itu, pemuda di Gaza jauh dari kaum yang asik rebahan tapi benar-benar mewujudkan perubahan, dalam hal ini berhasil menelanjangi negeri adidaya seperti Amerika bersama sekutunya Israel yang tak berdaya menghadapi mujahid di Gaza.
Amerika Israel sibuk bombardir rakyat sipil karena kelemahannya terhadap pemuda atau jundi di Gaza. Hingga kini mereka berusaha menemukan para mujahid dengan berbagai cara tapi tak ada kemajuan untuk menemukan mereka.
Sahabat, mari bercermin dengan cermin Islam agar kita menatap wajah kita sebagai generasi yang di berikan asa yang tidak sepele untuk agama ini. Pemuda bukan berarti hanya bisa bergantung pada orang tua, tetapi kitalah yang mampu menjadi wasilah kebahagiaan sebab amal jariyah orang tua adalah anak yang shalih-shalihah yang bertakwa pada Allah SWT.
Ketika kita menjadi pejuang Islam bukan menjadi pembuli yang ulung maka keberkahan bukan hanya pada orang tua saja tapi untuk seluruh muka bumi ini.
Semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari segala fakta yang terjadi dalam kehidupan kita, berusaha jujur pada diri bahwa sistem kehidupan dalam negeri ini terdapat kesalahan fatal yang harus segera dibuang jauh-jauh.
Sebab akan membawa petaka berkepanjangan yakni ide kufur sekularisme liberalisme karena ide tersebut telah nampak kerusakan generasi sebab meninggalkan ajaran Islam sebagai sumber hukum kehidupan kita.
Allah SWT berfirman: “dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS. Al-Maidah: 49).
Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd.
Pemerhati Remaja
0 Komentar