Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korporasi Penguasa dalam Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- Dilansir dari CNBCIndonesia.com (13/12/2023). Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) cukup vital bagi perekonomian suatu negara. Maka dari itu, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diharapkan mampu memberi dampak ekonomi termasuk pemberdayaan UMKM.

Dikembangkan sejak tahun 2009, keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) telah memberikan dampak ekonomi di berbagai bidang, mulai dari serapan tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat sekitar, pemberdayaan UMKM, peningkatan aktivitas ekonomi, peningkatan PDRB daerah dari aktivitas usaha di KEK, hingga terbentuknya pusat-pusat perekonomian baru di suatu wilayah.

Dalam pengembangannya, UMKM tidak bisa hanya dilakukan secara konvensional, melainkan UMKM perlu memanfaatkan digitalisasi dan ikut perkembangan zaman. UMKM yang terdigitalisasi perlu didukung oleh KEK.

"KEK perlu dorong UMKM agar terdigitalisasi." ungkap Rizal Edwin Manansang, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Perekonomian dalam acara SEZ Business Forum dengan tema Peluang Bisnis Dalam Sektor Manufaktur Dan Sektor Pariwisata di Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia yang digelar di Sheraton Belitung Resort, KEK Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung.

“Jangan terlalu alergi dengan investasi,” inilah narasi yang dikemukakan pemerintah atau ekonom agar rakyat mau menerima para investor, baik asing maupun swasta. 

Tentu saja narasi seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang memandang investasi sebagai variabel penentu peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Selain itu, posisi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator sehingga swasta menjadi pelaku utama ekonomi dan negara jadi bergantung pada investasi swasta. Akhirnya, mayoritas rakyat juga bergantung pada swasta.

Konsep inilah yang membuat swasta (korporasi) menjadi penguasa sebenarnya di negara yang menganut sistem kapitalisme. Kekuatan ini menjadikan investasi sebagai alat tawar swasta untuk menekan suatu negara.

Tidak ayal, investasi menjadi penjajahan gaya baru sistem kapitalisme pada era globalisasi. Para ekonom lupa bahwa sistem ini lahir dari asas sekularisme dan prinsip kebebasan. Para pemodal (swasta) akan bersaing dengan penuh tipu daya dan membabi buta untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.

Pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah, jadilah korporasi raksasa yang akan menguasai ekonomi dunia. Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara.

Atas nama investasi, kaum kapitalis menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara berkembang (miskin). Demikian juga SDM-nya diiming-imingi lapangan kerja, tetapi dengan gaji murah.

Kenaikan gaji sulit bisa terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga selalu naik. Akhirnya rakyat menjadi “sapi perah” korporasi.

Badai PHK melanda beberapa perusahaan Indonesia. Tidak hanya start-up, tercatat pula perusahaan telekomunikasi yang mengumumkan adanya PHK.

Selain itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap badai PHK juga akan berdampak ke sektor bisnis garmen atau pakaian dan alas kaki. Hal itu karena kedua sektor tersebut tengah mengalami penurunan orderan hingga 50 persen.

Artinya, pemerintah telah “menipu” rakyat dengan narasi investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja sengaja dikebut untuk memuluskan investasi, padahal mayoritas rakyat menolaknya.

Rakyat tidak butuh investasi, melainkan butuh ri’ayah (pengurusan) negara terhadap hak-hak mereka. Hak-hak itu bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, atau papan (perumahan), melainkan juga hak hidup aman, sehat, mendapatkan keadilan, menuntut ilmu, serta hak untuk bahagia berkeluarga dan untuk menerapkan aturan agama secara kaffah. Juga termasuk hak untuk hidup secara manusiawi (sesuai fitrah). Namun, itu tidak mungkin bisa terealisasi oleh investasi dan sistem kapitalisme sekuler.

Negara dalam Islam akan tunduk dalam aturan yang bersumber dari Wahyu Allah. Allah telah mengatur negara sebagai pelayan rakyat, termasuk tata cara (metode) negara untuk mampu melakukan itu semua. Mulai dari perincian hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, hingga sumber dana untuk pemenuhan hak tersebut.

Sumber dana itu telah diatur dalam bentuk pengelolaan harta milik umum berupa barang tambang, laut, hutan, dan milik negara (jizyah, kharaj, ganimah, dan zakat) oleh Baitulmal negara secara langsung, bukan oleh investor. Negara tidak boleh menggunakan prinsip untung rugi atau beban, melainkan prinsip “rakyat adalah amanah” yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Dengan dasar inilah negara akan menyediakan lapangan kerja bagi warga negara, baik dalam akad ijarah maupun pemberian (iqtha’) modal atau pinjaman tanpa riba dari kas Baitul Mal bagi warga negara yang ingin berwirausaha. 

Bukan seperti saat ini yang menjadikan bank sebagai sumber pemodalan riba. Dengan demikian, rakyat akan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.

Negara akan menerapkan aturan Allah Taala secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan demikian, seluruh hak rakyat akan diatur secara amanah oleh negara, bukan diserahkan pada masing-masing individu rakyat.

Itu semua bisa terwujud tentu tidak lepas dari dukungan rakyat. Pemikiran dan perasaan rakyat akan satu frekuensi dengan peraturan yang diterapkan negara. Bagaimana cara menyamakan itu semua? Tidak lain akan lahir dari keimanan kepada Allah yang diyakini rakyat dan penguasa. Konsekuensi keimanan itu akan melahirkan kesadaran untuk menerapkan aturan Allah secara kaffah. Itulah dasar membangun negara, bukan asas sekularisme sebagaimana saat ini.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar