Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konflik Agraria Buah dari Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- Berdasarkan catatan konsorsium pembaruan agraria (KPA) tahun 2015-2022, jumlah konflik agraria tercatat 2.710, dengan luasan lahan 5,8 juta hektar, menimbulkan korban terdampak 1,7 juta keluarga. Bahkan, terjadi penangkapan besar-besaran, seolah sedang  berperang melawan penjajah sebab berbagai macam tuduhan kriminalisasi terjadi tercatat sebanyak 1.615 ditangkap, 29 diantaranya meregang nyawa dalam mempertahankan hak tanahnya. 
 
Lebih ironis lagi, terjadi pengamanan rakyat yang dilakukan aparat hingga 77 orang tertembak dan 842 warga harus dipaksakan dibawa ke meja hijau untuk diperkarakan. 

Adapun catatan komnas HAM pada Januari-September 2023 terhimpun 692 laporan kasus konflik tanah atau di asumsikan setiap hari terjadi 4 kasus terkait proyek strategis nasional (PSN). 

Wilayah yang paling rentan yaitu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Pohuwato di Gorontalo, dan Seruyan di Kalimantan Tengah. 
 
Dimana selurunya berada dalam sektor konflik yang beragam; Adapun sektor tersebut adalah sektor Perkebunan, properti, kehutanan,agribisnis/pertanian, inftrastruktur, pertambangan, falilitas militer, serta pulau-pulau kecil dan pesisir. 

Keberadaan semua sektor ini pada dasarnya baik negara dan pihak swasta saling bersinergi dalam mewujudkan proyek-proyeknya. Tentu, tanah/lahan menjadi modal utama dalam hal ini. 
 
Maka tidak ayal, jika proyek strategis nasional kini orientasinya telah menjadi ambigu. Bahkan dengan vulgar menampakkan keberpihakan pada swasta semata dengan konsep business to business. 

PSN, hanyalah modus baru dalam perampasan lahan meskipun dengan berbagai  macam janji yang menggiurkan.
 
PSN, menjadi alat penyalahgunaan konstitusi mengatasnamakan pengembangan food estate, pengadaan aset tanah bank tanah, Kawasan strategis pariwisata nasional (KPSN), perdagangan karbon, dan proyek-proyek perubaban iklim. Dipermukaan nampak seolah filantropis tetapi rakyat ditepis hak hidupnya dengan sinis. 
 
Apabila diinsafi tindakan represif yang dirasakan Masyarakat dengan pemaksaan oleh pemerintah yang lebih berpihak pada swasta ada pola domenter klari dengan cara-cara setidaknya tiga Langkah:
 
Pertama, masyarakat dihadapkan dengan kekerasan secara fisik bahkan dikerahkan aparat dalam rangka pengamanan. Bahkan ada ancaman dalam kasus Rempang dari oknum aparat dengan ancaman ‘memiting’ warga sipil. 
 
Kedua, pola kriminalisasi, tercatat ada 51 orang warga dalam kasus rempang misalnya dikriminalisasi dengan tuduhan melanggar ketertiban umum, melawan penguasa, merusak hutan, melanggar tata ruang bahkan tuduhan korupsi. 

Padahal, tuduhan korupsi itu ditujukan kepada masyarakat yang tidak memiliki sumber daya atau hanya masyarakat biasa yang tak punya alat-alat produksi yang memadai bahkan untuk mengelola hutan secara besar-besaran. 
 
Ketiga, pola pecah belah ala kolonialisme jaman penjajahan Belanda. Tokoh adat dan aparat dibujuk berpihak kepada investor yang nakal. Sehingga terjadi polarisasi, sehingga persatuan untuk mempertahankan wilayah menjadi melemah. 
 
Pada akhirnya masyarakat yang paling dirugikan tak mendapat perlindungan yang seharusnya dilakukan oleh negara. Kini, negara justru hadir sebagai juru bicara menghadapi rakyat menggunakan kekuasaan. 

Dalam PSN, rakyat tidak mendapatkan ruang diskusi untuk menolak tapi hanya sepihak dipaksa direlokasi. Padahal dalam UU pengadaan tanah ada mekanisme bagaimana sosialisasi konsultasi yang partisipasi bermakna bukan dengan penggusuran.
 
Konflik agraria menjadi konflik yang sangat kompleks sebab di kawal dengan paradigma yang keliru dengan kapitalisme. Sehingga menimbulkan implementasi yang sangat kacau. Sebab, orientasi dalam PSN ini bukanlah untuk rakyat tetapi bagi oligarki. 
 
Hal ini tentu berbeda pendekatannya dalam Islam Ketika menempatkan hak individu yang harus dinegosiasikan demi kepentingan umum. Sebagaimana pada masa khalifah Umar Bin Khattab yang ingin membeli salah satu lahan warganya tapi warganya selalu menolak untuk dibeli. 

Sehingga Umar Bin Khattab perlu beberapa kali untuk menjelaskan maksudnya. Yang pada akhirnya warga pemilik tanah tersebut menyebutkan alasannya mengapa ia tidak mau menjualnya kepada khalifah yaitu ia tidak ingin menjualnya namun ingin mewakafkannya untuk kepentingan masyarakat di Mekkah.
 
Dalam Islam negara berperan sebagai Junnah; perisai, pelindung dalam urusan rakyat bukan semata memikirkan untung-rugi, namun menjadikan adil dan dzalim sebagai parameter dalam mengambil kebijakan. 
 
Wallahu ‘alam bisshawab.


Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd.
Pemerhati Kebijakan Publik
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar