Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Darurat Kerapuhan Keluarga


Topswara.com -- Kejadian lagi, prahara rumah tangga yang menyayat hati. Seorang istri di Jagakarsa, Jakarta, berinisial D, dianiaya suaminya, P (41), sampai muntah darah. Ia pun dilarikan ke rumah sakit, Sabtu (2/12). Saat ia berjuang menyembuhkan luka diri; ternyata sang suami, malah menghabisi nyawa seluruh anaknya. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan itu masih usia golden age, yang sedang lucu-lucunya. Empat anak malang itu adalah VA (6), SP (4), AR (3), dan AS (1). (Detik) 

Bagaimana remuknya hati seorang ibu, yang mengandung, melahirkan, dan menyusui empat buah hatinya, namun sekejab kehilangan mereka semua secara bersamaan. Lebih hancur lagi, orang yang membunuh keempat buah hatinya adalah sang suami, ayah kandung anak-anak tidak berdosa itu. 

Sosok suami yang harusnya melindungi istri, malah melakukan penganiayaan yang membahayakan nyawanya. Lalu sebagai ayah, seharusnya ia menjaga dan melindungi keempat anak kandungnya, malah membantainya dengan keji. Apalagi, anak-anak itu sedang ditinggal ibu mereka yang harus melakukan perawatan medis. 

Kejadian ini menambah rentetan fakta, terjadinya kekejian dalam rumah tangga. Sungguh tidak masuk nalar, mengapa keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung, malah tidak aman? Mengapa keluarga yang seharusnya wadah berkasih sayang, malah menjadi ajang penganiayan dan pembantaian? Bisakah kejadian mengerikan seperti ini dicegah? 

Kerapuhan Rumah Tangga 

Menyaksikan potret keluarga-keluarga dalam peradaban sekuler saat ini, kita akan menemukan betapa rapuhnya mereka. Rumah tangga yang gagal mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ditandai dengan tingginya kasus perceraian yang mencapai lebih dari setengah juta pasangan (Data BPS). 

Lalu, di antara perceraian itu, 70 persen dipicu oleh gugat cerai istri. Hal ini menunjukkan rapuhnya ketahanan fisik, mental dan spiritual seorang istri dalam menghadapi badai rumah tangga. 

Kadang, persoalan sepele yang dirasa menyakitkan hatinya, sudah menjadi bahan untuk memutuskan menjanda. Padahal itu baru yellow flag alias kondisi bendera kuning, pertanda hubungan suami istri kurang baik, tapi masih bisa diperbaiki. 

Masih ingat, bagaimana kasus pengantin yang baru menikah seumur jagung, memilih kabur dari suaminya? Usia pernikahan pun semakin pendek. Ada yang baru beberapa hari talak. Ada yang hitungan beberapa bulan dan beberapa tahun saja. Inilah kondisi darurat kehancuran keluarga. Artinya, sangat sulit mewujudkan keluarga sakinah, di peradaban kapitalis ini. 

Asas Manfaat dan Materi 

Lemahnya pondasi agama dalam membangun pernikahan adalah penyebab utama darurat keluarga sakinah. Suami tidak terikat pada hukum syara’ dan tidak menjalankan kewajiban sesuai yang diperintahkan Allah. 

Rusaklah peran dan fungsinya sebagai pemimpin dan pelindung keluarga. Di sisi lain, banyak juga istri yang tidak terikat pada hukum syara’. Tidak menjalankan kewajiban hingga memicu ketidakharmonisan. Tidak taat pada suami, menuntut nafkah di luar kemampuan, nusyuz atau membangkang suami. 

Kita tidak pernah tahu, siapa yang paling bersalah atas pernikahan yang hancur. Kita juga tidak bisa memastikan, apa yang sebenarnya terjadi, hingga sampai ada penganiayaan dan bahkan penghilangan nyawa dalam rumah tangga yang harusnya dibangun penuh cinta. 

Pasti kejadian itu merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang terjadi sebelumnya. Artinya, bisa jadi ada kontribusi dari dua belah pihak. Ada sebab-musabab, ada aksi dan reaksi, hingga rumah tangga terguncang prahara. 

Asas manfaat dan materi yang kini mendominasi, menjadikan pernikahan rapuh. Data penyebab perceraian, salah satu yang dominan adalah faktor ekonomi. Tak dipungkiri, kelanggengan rumah tangga harus ditopang oleh materi. Sumber pendapatan harus jelas dan cukup untuk operasional rumah tangga. 

Namun, kata “cukup” saat ini, tidaklah pernah cukup. Bila Islam membatasi kata cukup dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, kini kecukupan itu sudah berubah. Sebab, definisi “kebutuhan pokok” dalam keluarga milenial saat ini pun sudah melebar. 

Misal, istri kini tidak cukup makan nasi saja. Mereka juga butuh “makanan” lain seperti skincare, make-up dan kuota sebagai kebutuhan dasar. Bahkan kebutuhan entertaiment atau life style seperti kulineran, healing yang diartikan jalan-jalan, staycation alias menginap di hotel atau vila, ke salon dan fashion, sebagai kebutuhan yang harus dianggarkan khusus. 

Jika tidak terpenuhi, akan merasa menderita dan tidak bahagia. Stres, bahkan depresi, jika hidupnya tidak seperti kebanyakan wanita yang mereka saksikan. 

Akibatnya, makin beratlah tuntutan pada suami. Para suami pun stres dan depresi. Merasa belum mampu membahagiakan istri. Apalagi, alam bawah sadar, baik suami maupun istri, kerap membandingkan capaian hidupnya dengan orang lain. Teman, relasi, tetangga atau sosok sukses di media sosial. Semakin galaulah rumah tangga ini, hingga sakinah menjauh pergi. 

Lakukan Kewajiban Sesuai Syariat 

Sejatinya, keluarga yang senantiasa terikat pada hukum syarak, mustahil menjalin hubungan yang rusak. Adanya masalah atau konflik, bisa diatasi selama bersandar pada Allah SWT. Pasti ada jalan keluar, tanpa harus ada penganiayaan, apalagi menghilangkan nyawa pasangan. Na’uzdubillah.  Oleh karena itu, tegakkan kewajiban dan berikan hak pada pasangan. 

Kewajiban suami, yaitu memberi mahar. Memberi nafkah yang layak menurut keumuman di mana mereka tinggal. Jangan pelit untuk anak dan istri. Sebab, Allah SWT juga mewajibkan suami agar mempergauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut, penuh kasih  sayang, empati, penghormatan dan penghargaan.

Suami juga wajib memimpin keluarga dengan penuh tanggung jawab (An-Nisa:34). Membimbing dan mendidik istri dan anak-anaknya, agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berperilaku baik, dan menjaga diri dari perbuatan dosa. Menjaga aib, martabat dan kehormatan istri serta keluarganya. 

Sementara istri, wajib patuh dan taat kepada suami,  karena suami adalah qowwam atau kepala rumah tangga. Memelihara dan menjaga kehormatan diri, keluarga serta harta benda suami. 

Meminta izin suami jika keluar rumah atau melakukan hal yang berkaitan dengan hak suami bertanggung jawab mengatur rumah dengan baik sesuai dengan fungsinya (ummu warobbatul bayt). Memelihara dan mendidik anak. Berhias dan melayani suami. Bersikap rida dan syukur pada suami. 

Support System Terbaik 

Pernikahan sakinah, tidak turun dari langit. Bukan otomatis pemberian Allah, begitu ijab-qabul terucap sah. Sakinah harus diperjuangkan sungguh-sungguh oleh pasangan suami istri. Misal dengan menguasai skill agama maupun skill rumah tangga, agar sukses membangun relasi yang sehat dan harmonis. 

Selain itu, butuh dukungan luar, yaitu mencakup penerapan sistem yang mendukung ketahanan keluarga. Baik sistem ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan, hukum, maupun pemerintahan. Sebab, semua itu berpengaruh terhadap kemampuan suami maupun istri dalam menegakkan syariat dalam pernikahan. 

Misal, bagaimana para suami mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarga, jika sistem ekonomi tidak membuat regulasi yang adil tentang sistem gaji atau penetapan harga yang murah. Bagaimana para istri dapat fokus menjalankan tugas sebagai ummu warobbatul bayt, jika ternyata dia harus ikut banting tulang cari uang untuk menambah kebutuhan nafkah yang kurang. 

Demikianlah, penting penegakan sistem yang mendukung terwujudkan keluarga sakinah. Selain ikhtiar suami dan istri dalam bingkai pernikahan, terwujudnya sakinah, mawaddah dan rahmah juga tergantung pada peradaban apa keluarga itu eksis. Tentu saja, peradaban Islam adalah satu-satunya yang menjamin terwujudnya keluarga yang ideal sesuai tuntunan syariat Allah SWT.


Oleh: Kholda Najiyah 
Founder Salehah Institute 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar