Topswara.com -- Setiap tanggal 10 Desember diperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM), sebuah momen yang digadang-gadang untuk menandai betapa pentingnya hak asasi bagi setiap manusia, agar tidak ada siapapun yang boleh melanggar batas-batas kemanusiaan. Sekalipun faktanya, hingga hari ini masih banyak kita temui pelanggaran HAM berkategori ringan hingga berat di seluruh penjuru dunia.
Termasuk di negeri ini yang baru saja menerima peringkat penegakan HAM terbaru tahun 2023. Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), merilis skor indeks Hak Asasi Manusia tahun 2023 mengalami penurunan dari 3,3 menjadi 3,2.
Namun mirisnya, penguasa negeri yang hampir 1 dekade berkuasa di negeri kita saat ini, dinyatakan terburuk kinerjanya dalam melindungi rakyatnya soal pemenuhan hak atas tanah dan tentang kebebasan berekspresi serta berpendapat. (CNN Indonesia, 10 Desember 2023)
Dua indikator di atas dapat kita saksikan dari beberapa kasus konflik agraria yang terjadi antara rakyat dan negara. Contohnya perampasan lahan di pulau Rempang baru-baru ini, juga kasus-kasus lainnya yang mengatasnamakan investasi.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat rakyat pun dikebiri melalui UU ITE. Masyarakat yang ingin menyampaikan kritiknya tentang kinerja penguasa akan dianggap kontra terhadap pemerintah, dan akan langsung berhadapan dengan undang-undang yang telah dibuat. Tidak heran jika Setara Institute menempatkan indikator ini pada indeks skor sangat rendah, yaitu 1,3 dari skala 7.
Awal Mula Lahirnya HAM
Bila ditelusuri lebih mendalam, istilah Hak Asasi Manusia awalnya muncul berasal dari teori hak kodrati (natural right theory) yang dikemukakan salah seorang tokoh Barat bernama John Locke pada abad ke-17. Dia mengatakan bahwa setiap manusia dianugerahi karunia alam berupa hak hidup, hak kepemilikan dan kebebasan yang tidak boleh diganggu oleh siapapun.
Sebelum itu piagam Magna Charta pada tahun 1215, dan Bill of Rights pada 1689, menandai dimulainya pengakuan negara atas hak-hak rakyatnya, dan membatasi kekuasaan raja serta memberi kebebasan pada rakyat untuk lepas dari penyiksaan dan hukuman tanpa pengadilan.
Dalam perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20, pemahaman tentang hak asasi manusia berkembang menjadi 4 konsep, yaitu: kebebasan beragama, kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan dari kemelaratan dan kebebasan dari rasa takut.
Di Indonesia sendiri beragam kasus HAM hingga kini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Sebagai contoh: kasus pembunuhan aktivis Munir (2004), tragedi Trisakti (1998), kasus KM 50 (terbunuhnya 6 orang pengawal Habib Rizieq Syihab, tahun 2020), dan berbagai perkara lainnya.
Di dunia internasional, penjajahan Israel atas tanah Palestina sejak 75 tahun yang lalu, serta genosida yang dilakukan zionis terhadap warga di Gaza, sampai saat ini belum menemukan titik penyelesaian. Kemana organisasi dunia dan para pemimpin negara yang berteriak-teriak tentang HAM?
Hak asasi manusia menjadi standar bagi para pemimpin dunia untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Padahal pelaksanaan HAM sendiri memiliki standar ganda. Seolah membela kepentingan seluruh umat manusia, padahal sejatinya para pengusungnya hanya membela hak orang-orang yang bersekutu dengan mereka.
HAM Lahir dari Asas Liberalisme
Hak asasi manusia lahir dari hasil pemikiran manusia yang bersifat lemah. Penerapannya didasarkan pada paham liberalisme, yaitu kebebasan. Sementara liberalisme merupakan turunan dari pemahaman sekularisme yang menjauhkan aturan agama dalam mengatur kehidupan.
Oleh karena itu penerapan HAM pada kenyataannya tidak akan pernah membawa keadilan hakiki bagi manusia. Pelaksanaannya cenderung akan bertabrakan dengan kepentingan pihak lain. Karenanya prinsip HAM justru merupakan kesalahan besar jika diterapkan.
Bagaimana tidak, manusia yang secara fitrah memiliki kekurangan dan kelemahan tidak akan mampu mengetahui hakikat benar dan salah atas setiap problematik yang terjadi di tengah umat manusia.
Pada akhirnya mereka akan mencari penyelesaian secara liar, berdasarkan apa yang mampu dipikirkan dan dijangkau saja. Dan ini akan menimbulkan banyak bahaya di masa depan.
Akan banyak timbul konflik antar umat manusia. Karena ketika membela kepentingan satu golongan tak menutup kemungkinan akan mengakibatkan pengabaian terhadap kepentingan golongan lain. Akhirnya masalah tidak menemukan solusi yang tuntas.
HAM Tidak Sesuai Syariat Islam
Sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita menolak prinsip hak asasi manusia. Karena dia tidak sejalan dengan maqasid syariah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam. HAM juga bertentangan dengan ideologi Islam dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai Al Khaliq (Maha Pencipta) dan Al Mudabbir (Maha Pengatur).
Islam menetapkan bahwa setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syarak. Standar baik/benar dan salah, serta mulia dan celaka semuanya sudah ditetapkan dalam syariat. Aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. inilah yang akan membawa kebaikan serta kemuliaan bagi umat manusia. Dan pelanggaran hukum syarak akan membawa umat pada keburukan dan kebinasaan.
Syariat Islam, jika diterapkan secara kafah (menyeluruh) akan memiliki fungsi: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara harta, memelihara kehormatan, memelihara keamanan, dan memelihara negara.
Jika kita mempelajari sirah nabawiyah juga para Khulafaur Rasyidin di masa lalu, akan kita dapati bahwa penerapan syariat Islam secara kaffahlah yang membawa kegemilangan bagi umat Islam. Karena manusia, siapapun dia, muslim ataupun kafir dzimmi, diurus sesuai dengan fitrahnya.
Sebagai contoh hukum qisas bagi pembunuh, jilid dan rajam bagi pezina, potong tangan atas pencuri, dan lain sebagainya, sudah pasti akan memenuhi rasa keadilan.
Selain itu juga tidak akan menimbulkan masalah lain di belakang hari, karena syariat Islam memiliki fungsi zawajir (pemberi efek jera) dan jawabir (penebus dosa) kepada pelaku kejahatan.
Hukum-hukum syariat ini akan diterapkan melalui berbagai sistem kehidupan, di antaranya: sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem uqubat (sanksi hukum), sistem pemerintahan, dan lain sebagainya. Penguasa dalam sistem Islam selanjutnya akan menerapkan hukum ini di dalam dan di luar negeri, juga bagi seluruh umat Islam hingga kafir dzimmi (yang tunduk dengan aturan Islam).
Seperti firman Allah SWT. dalam surah Al Anbiya ayat 107, yang artinya: "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
Artinya bahwa syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. jika diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan akan membawa kebaikan bagi semua ciptaan Allah SWT.. Dengan diterapkannya syariat otomatis hak-hak manusia, bahkan setiap makhluk ciptaan Allah SWT. akan terpelihara kehidupannya.
Jadi, untuk apa mengambil HAM sebagai solusi, kalau dia hanya akan jadi ilusi? Lebih baik taat pada syariat, agar hidup selamat dunia akhirat.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar