Topswara.com -- Kemajuan teknologi di era kini seharusnya melahirkan generasi cerdas, sebab kemudahan dalam mengakses informasi mampu memberikan dampak positif bagi anak guna menunjang keperluan belajarnya. Akan tetapi hal ini tampaknya tidak berlaku bila landasan sistem pengaturan teknologinya ialah kapitalisme sekuler. Mengapa? Sebab yang terjadi kini ialah kemerosotan berpikir serta kerusakan moral pada anak.
Sebagaimana berita dari BBC News (27/11/2023) tentang sejumlah anak usia sekolah dasar yang didiagnosis kecanduan judi online dari konten live streaming para streamer gim yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi slot.
Bocah-bocah itu disebut lebih boros, uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, menyendiri, dan performa belajar terganggu indikasi yang mengarah pada kecanduan game online menurut dokter spesialis yang menangani anak-anak tersebut.
Ternyata bukannya untuk membeli fitur game, uang saku pemberian orang tua mereka gunakan untuk berjudi. Jika uang mereka habis karena kalah judi, perilaku mereka menjadi tidak terkendali.
Pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan pemerintah mesti menyeriusi persoalan ini karena target judi online bukan lagi orang dewasa, tapi generasi muda. Jika dibiarkan, Pratama meyakini masa depan mereka bakal hancur.
Miris sekali bukan? Ketika kemajuan teknologi dan informasi kini justru mendatangkan persoalan baru di kehidupan masyarakat.
Dewasa ini, permasalahan umat bukan lagi sebatas pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani saja, melainkan cabang-cabang dari persoalan utama itu kian tumbuh dan bermacam-macam, di mana terlahirkan dari akar yang sama. Yakni, rusaknya pondasi paling dasar dari pemikiran umat dan aturan kehidupannya.
Kini judi online tidak hanya menjerat orang dewasa, tetapi anak dibawah umur juga bisa menjadi terpengaruh adanya judi online. Data terbaru menyebutkan judi online di kalangan pelajar marak terjadi.
Laporan BBC Indonesia menyebutkan laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online – sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar – dengan penghasilan di bawah Rp100.000. Pelajar yang disebut adalah anak-anak dengan jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan mahasiswa. (okedukasi.okezone/28/11/2023)
Anak terjerat judi online adalah masalah besar yang tidak bisa diabaikan. Melihat fenomena ini setidaknya ada banyak faktor terkait, di antaranya ialah peran pendidikan, keluarga maupun masyarakat dan negara.
Kurikulum pendidikan yang berubah dari periode demi periode tergantung siapa menteri pendidikan-nya ternyata tidak memberikan dampak perubahan bagi generasi saat ini. Generasi kian terjauhkan dari nilai-nilai moral serta akidah.
Bagaimana tidak, kurikulum pendidikan kini makin menunjukkan taring sekularisme-nya. Menjadikan generasi kian cinta dunia dan tak mengetahui lagi perihal akhirat, standard halal-haram juga benar ataupun salah dalam setiap aktivitas perbuatan.
Selanjutnya peranan keluarga sebagai rumah ternyaman tidak lagi lagi ada di sistem hari ini. Sebab kebanyakan struktur keluarga era ini pun telah tersibukkan dengan urusan pemenuhan ekonomi.
Ayah dan ibu bekerja demi materi. Anak terabaikan secara emosional. Ditambah ketiadaan pondasi akidah yang ditanamkan orangtua terhadap anak-anak mereka hingga menjadikan anak tumbuh begitu saja layaknya rumput liar yang tidak pernuh diurusi.
Masyarakat pun sebagai tempat tumbuhnya anak tak menjalankan peranannya untuk mengontrol, baik itu amar makruf ataupun nahi mungkar. Masyarakat sekuler melahiran sikap individualisme yang hanya peduli urusan diri sendiri dan keluarganya masing-masing.
Sekalipun ada yang melakukan amar makruf yang terjadi biasa respon tidak menyenangkan dari yang dinasehati.
Terakhir ketiadaan peran dan komitmen negara untuk menyelesaikan persoalan ini dengan serius. Kebijakan dari penguasa hanya sebatas kebijakan tanpa penyelesaian tuntas.
Hanya berfokus pada masalah di permukaan tanpa melihat kesalahan mengakar dari rusaknya sistem negeri ini sejak awal. Sebab perlu dilakukan pengkajian mendalam untuk setiap masalah-masalah, yang mana perlu ditarik sampai ke akar-akarnya.
Masalah ini sesungguhnya lahir dari sistem kufur buatan asing penjajah, yang mana telah menjadikan generasi bangsa mayoritas muslim ini tak lagi cerdas berbudi luhur sebagaimana ajaran agamanya. Telah berhasil asing penjajah merusak generasi kini. Menghasilkan kemunduran taraf berpikir dan sangat cinta dunia.
Untuk itu untuk menuntaskan masalah ini sampai ke akarnya, terang saja hanya dengan menukar sistemnya dengan Islam. Yakni aturan Islam yang ditakuti kafir penjajah karena aturannya mampu melahirkan generasi cemerlang, baik dalam pemikiran maupun performanya mempertahankan kehormatan akidahnya.
Sungguh kembalinya generasi ini ke dalam aturan Islam ialah mimpi yang paling ditakuti oleh kafir penjajah. Maka hanya dengan Islam generasi umat ini mampu bangkit dan menorehkan prestasi dunia akhirat. Mampu membedakan mana yang haq dan bathil dalam setiap aktivitas kehidupannya.
Islam menjaga generasi dengan baik dengan sistem yang sempurna dan komprehensif melalui penerapan Islam kaffah. Hal ini bukan sebatas isapan jempol semata karena telah terbukti kepemimpinan Islam di lebih dari 13 abad lamanya telah melahirkan banyaknya generasi-generasi terbaik dan cemerlang. Yang mana tidak hanya menjadi ilmuwan dunia tetapi juga ulama-ulama yang membawa visi akhirat.
Sudah waktunya sistem kufur ini diakhiri dan menggantinya dengan sistem Islam. Agar kehidupan umat terjauhkan dari segala realitas keji zaman ini serta mendatangkan rahmat dari Allah SWT.
Wallahu'alam Bisshawab.
Oleh: Tri Ayu Lestari
Penulis Novel Remaja dan Aktivis Dakwah
0 Komentar