Topswara.com -- Kisah tragis datang dari Desa Moro, Kecamatan Pekalongan. Seorang bocah berusia 10 tahun nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Korban ditemukan dalam kondisi tergantung dan tidak bernyawa di dalam kamarnya, Rabu (22/11). Aksi nekat tersebut diduga gegara korban dilarang main ponsel oleh ibu kandungnya. Peristiwa tersebut telah dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Sebagaimana dikutip dari laman detikjateng.com (23 November 2023), Kasatreskrim Polres Pekalongan, AKP Isnovim mengatakan pihaknya telah menerima laporan peristiwa tragis tersebut dari orang tua korban. Namun, saat polisi datang ke TKP (tempat kejadian perkara) korban telah dievakuasi ke puskesmas terdekat untuk pemeriksaan medis.
Aksi bunuh diri tidak hanya dilakukan orang dewasa. Kini aksi bunuh diri juga marak dilakukan oleh anak-anak. Hal ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak pendidik baik orang tua, masyarakat juga negara.
Sepanjang tahun 2023 pemerintah mencatat setidaknya ada 20 kasus bunuh diri anak disebabkan oleh depresi. Hal tersebut disampaikan oleh Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Terkait kasus bunuh diri anak, seorang Kriminolog Haniva Hasna mengatakan bahwa, usia muda rentan dengan masalah mental. Misalnya kecemasan, depresi, gangguan bipolar, atau punya masalah insomnia. Menurutnya secara umum ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri.
Salah satu faktor internal adalah depresi dan kesedihan yang mendalam. Korban menganggap dirinya memiliki kehidupan yang sangat gelap, membosankan, dan hanya dipenuhi oleh penderitaan. Sementara faktor eksternal penyebab bunuh diri di antaranya pengalaman hidup negatif dalam keluarga, tekanan ekonomi, budaya, sosial, dan lingkungan (pengaruh media dan alkohol).
Kemajuan teknologi yang berbasis digital tidak dapat dimungkiri turut menyumbang tingginya tingkat bunuh diri anak. Banyaknya informasi yang mudah diakses tanpa diimbangi dengan cara berpikir yang benar telah menstimulus budaya self harm.
Yaitu perilaku menyakiti diri sendiri secara ringan, seperti membenturkan diri atau menyayat jari hingga jika tidak kuat menahan depresi maka tindakan bunuh diri menjadi solusi. Setiap orang pada dasarnya memiliki ketahanan mental yang berbeda-beda, tetapi situasi dan kondisi memicu generasi untuk memiliki mental yang lemah.
Di zaman yang serba digital, generasi dimanjakan dengan berbagai kemudahan fasilitas yang dibutuhkan dan serba instan. Ketika kondisi ini tidak diimbangi dengan dasar keimanan yang kokoh, maka lahirlah generasi bemental stroberi. Mereka memang kreatif tapi rapuh dari sisi kesehatan mental.
Rapuhnya ketahanan mental generasi sebagai dampak dari pola kehidupan dan sistem pendidikan yang buruk akibat penerapan aturan sekularisme yang memisahkan antara nilai-nilai agama dan kehidupan. Sistem kehidupan yang rusak ini tidak hanya mengganggu mental generasi, tetapi hampir semua kalangan, baik tua, muda, kaya, miskin, muslim, ataupun nonmuslim dapat dengan mudah dihinggapi stres sampai depresi.
Sebabnya dalam sistem sekularisme, aturan agama dijauhkan dari sistem pendidikan. Semuanya tergantikan oleh hal-hal yang bersifat duniawi, hingga melahirkan individu-individu yang materialistik. Mereka memandang kehidupan hanya dari sisi kebahagiaan dunia saja, menafikan kehidupan akhirat.
Tidak heran jika generasi saat ini kerap menghadapi permasalahan kehidupan, tidak dapat berpikir jauh ke depan. Saat menghadapi kenyataan hidup yang tak sesuai dengan harapannya, dengan mudah menggoyahkan kesehatan mentalnya. Hingga anak-anak hanya berpikir sesaat dengan memutuskan mengakhiri kehidupan, sebagai solusi mengakhiri penderitaan. Walhasil, sistem pendidikan sekularisme telah melahirkan generasi dengan ketahanan mental yang rapuh.
Padahal anak-anak adalah generasi penerus di masa mendatang. Mereka memiliki masa depan yang membentang untuk meraih mimpi dan harapan. Terlebih kebangkitan umat pun akan tergantung pada kualitas generasi sekarang.
Oleh sebab itu diperlukan sistem pendidikan yang mumpuni sehingga mampu melahirkan generasi yang kuat, cerdas, dan tentu saja mampu bertanggung jawab dalam memimpin perubahan umat. Generasi semacam ini hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang berbasis Islam yang ditopang oleh sistem pemerintahan Islam.
Terdapat perbedaaan yang khas antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan yang lain. Yang paling mendasar adalah dalam sistem pendidikan Islam wajib menjadikan akidah Islam sebagai dasar pemikiran dalam proses pendidikan.
Sebab tujuan inti dari pendidikan adalah membangun generasi yang berkepribadian Islam, selain menguasai ilmu-ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk kehidupan di dunia seperti matematika, sains, teknologi, dan lain sebagainya.
Adapun akidah Islam yang disertai akhlak wajib menjadi pembelajaran awal bagi pendidikan tingkat dasar. Penanaman akidah dimulai dari pendidikan di keluarga. Sebab akidah adalah pondasi pemikiran yang akan membentuk kekuatan jiwa.
Dalam akidah ditanamkan keyakinan yang sahih (benar) akan keberadaan Allah Swt. sebagai Zat Yang Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur kehidupan manusia, serta keyakinan akan adanya kehidupan akhirat sebagai tempat kembalinya manusia setelah mati untuk mempertanggungjawabkan setiap amalnya di dunia.
Akidah ini wajib tertancap kokoh dalam diri anak-anak didik sehingga jiwanya kuat saat menghadapi berbagai tantangan kehidupan apapun bentuknya. Mereka tidak mudah depresi ketika menghadapi ujian kehidupan karena ia yakin bersamanya ada Allah SWT. Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang.
Sementara, sebagai hasil proses belajar (output) pendidikan Islam akan mewujudkan peserta didik yang memiliki keimanan yang kokoh dan pemikiran Islam yang mendalam (tafaqquh fiddin). Hal ini akan mendorong perilaku peserta didik untuk senantiasa terikat dengan syariat Islam. Hingga dampaknya adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak budaya amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam.
Keberhasilan sistem pendidikan Islam ini tidak dapat dilepaskan dari penerapan sistem pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam. Sebab dalam Islam, penguasa bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan warganya. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat di samping kebutuhan lain yang wajib diurusi oleh negara. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, hanya sistem pendidikan Islam yang dapat mewujudkan generasi berkepribadian luhur dan berahklak mulia. Tidak mudah goyah menghadapi berbagai tantangan dan rintangan. Selalu survive (bertahan) dalam setiap kondisi dan keadaan.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Siti Aisyah
Pegiat Literasi
0 Komentar