Topswara.com -- Miris 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta menjadi korban perundungan atau bullying oleh kakak kelas. Kondisi belasan siswa tersebut memprihatinkan usai dianiaya secara brutal oleh 15 orang kakak kelasnya, XI dan XII.
Peristiwa itu terjadi di rumah salah satu pelaku berinisial D di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (1/12/2023) sore sekitar pukul 16.00 WIB. Salah satu korban dalam kasus ini yaitu siswa berinisial AF (16).
Tubuhnya lebam hingga kemaluannya terluka akibat dianiaya belasan kakak kelas. Sementara itu, Fahrizal menyebut siswa lain yang juga menjadi korban mengalami patah tulang rusuk. Ia menilai kasus ini bukan persoalan sepele. Menurut dia, penganiayaan ini dilakukan secara terorganisir.
Bullying merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut segala bentuk kekerasan yang dialami korban dan biasanya dilakukan oleh teman-temannya di dunia nyata maupun di dunia maya.
Adapun menurut definisi lain, bullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan berulang dan terus-menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri. Bullying di dunia maya disebut dengan cyberbullying yaitu kegiatan perundungan dengan menggunakan alat bantu elektronik (Tribuntrens.com, 09/12/2023).
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying di kalangan remaja Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Artinya, yang tampak di permukaan hanyalah sejumlah kecil, sedangkan yang tidak tampak karena tidak terlaporkan disinyalir kasusnya jauh lebih banyak.
Bullying terjadi dengan beberapa sebab di antaranya: Pertama, menurut National Youth Violence Prevention Resource Center (2002) adalah suasana sekolah yang tidak kondusif. Kurangnya pengawasan orang dewasa atau guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku bullying, serta penerapan peraturan anti-bullying yang tidak konsisten.
Kedua, tontonan yang tidak mendidik. Banyak perilaku bullying dan kekerasan yang dicontohkan oleh sinetron-sinetron yang ada. Ditambah semakin banyaknya konten-konten bebas yang tersebar di media online seperti kanal YouTube dan lainnya. Hal ini kemudian ditiru oleh generasi saat ini. Alhasil, perilaku bully dan kekerasan baik secara verbal, fisik, maupun cyber semakin masif terjadi.
Ketiga, minimnya ilmu agama di sekolah. Perundungan yang dilakukan pelaku bullying, disebabkan proses pencarian jati diri tanpa mampu mengontrol emosi dan pola pikir mereka. Sehingga perlu adanya langkah yang ditempuh negara untuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap anak. Butuh adanya sinergi antara negara, anak, dan keluarga.
Apa akibat dari bullying? Seseorang yang menjadi pelaku bullying tidak memikirkan atau tidak peduli apa akibatnya terhadap kondisi psikis si korban. Tidak heran mengapa banyak sekali korban bullying yang akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Si korban merasa itulah jalan satu-satunya agar terbebas dari tindak bullying. Tentu saja ini membuat kita miris.
Jika bullying ini dibiarkan terus terjadi dan tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan oleh negara, maka tentu hal ini akan mengancam generasi mendatang. Selama ini tindakan negara dalam mengatasi bullying hanya sebatas mengambil peran kuratif ketimbang preventif.
Sudah terjadi, barulah sibuk memikirkan langkah untuk menyelesaikannya. Orang Tua juga tidak berperan dengan baik dalam proses mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Orang tua cenderung melihat prestasi akademik tanpa memedulikan pemahaman agama pada anaknya. Begitulah yang terjadi di sistem pendidikan sekular saat ini.
Inilah salah satu bahaya menjadikan sekularisme sebagai landasan sistem kehidupan saat ini. Pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan memberi pengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat.
Pendidikan hanya sebatas keberhasilan prestasi siswa didik dengan nilai di atas kertas. Akhirnya, anak tumbuh menjadi hedonis, tidak memperdulikan dosa dan pahala. Prestasi demi prestasi dibanggakan namun jauh dari pembentukan kepribadian dan akhlak terpuji.
Berbeda dengan Islam sebagai satu-satunya sistem yang menyodorkan solusi atas setiap problematika kehidupan. Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada generasi penerus, bahkan sejak usia dini. Pada masa Islam berjaya, orang tua menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya.
Orang Tua akan menjalankan perannya dengan mendidik anak sesuai tuntunan syariat. Dengan demikian, anak memiliki pegangan hidup yang kokoh sehingga di usia baligh mereka siap menjalani kehidupan dan memahami hakikat hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah Ta'ala.
Ketika remaja, mereka akan disibukkan dengan ketaatan kepada Allah. Baik membaca, mendengar atau menghapal Al-Qur’an, Hadis, kitab-kitab tsaqafah para ulama, atau berdakwah di tengah-tengah umat dan sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat yang diatur Islam, masyarakat melakukan kontrol dengan aktivitas saling mengingatkan antar anggota masyarakat agar mereka senantiasa berjalan sesuai dengan tuntunan syariat. Perasaan masyarakat juga Islami, tidak akan mampu melukai hati orang lain.
Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan membentuk kepribadian Islam pada setiap anak didik. Negara akan memfasilitasi media untuk pendidikan yang akan mendorong peserta didik berperilaku positif, sebagaimana dicontohkan generasi-generasi sukses sebelumnya dalam peradaban Islam.
Negara akan melarang semua konten media yang merusak, baik dalam media buku, majalah, surat kabar, media elektronik dan virtual. Negara berkewajiban menutup semua pintu-pintu kemaksiatan dan akan melaksanakan sanksi yang tegas atas segala pelanggaran hukum syarak.
Maka bisa disimpulkan bullying merupakan duri dalam pendidikan Indonesia. Dan permasalahan ini hanya akan bisa diatasi dengan solusi Islam yang menyeluruh serta membutuhkan kerja sama antara keluarga, masyarakat dan negara. Tanpa sistem Islam, manusia tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua permasalahan hidupnya.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar