Topswara.com -- Baru-baru ini, jagat sosial media dihebohkan oleh berita beberapa publik figur yang menjadi korban kekerasan (abusive) yang dilakukan oleh pasangannya, atau lebih dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi.
Dalam beberapa waktu belakangan, berita-berita serupa seringkali berseliweran di jagat maya. Seperti sudah menjadi berita umum sehari-hari, dan spekulasi-spekulasi masyarakat pun mulai terpacu pada beberapa faktor yang dijadikan alasan, yang katanya menyebabkan hal tersebut, baik itu masalah ekonomi maupun masalah sosial.
Akan tetapi, perlu diperhatikan pula, bahwa dampak dari kasus-kasus seperti KDRT, dan yang serupa bukan hanya melibatkan suami istri (orang tua) saja, akan tetapi anak-anak yang kemungkinan besar merasakan dampaknya juga. Dan itu tidak sederhana efeknya kepada mereka. Kejadian-kejadian seperti ini terjadi karena banyak alasan, baik itu alasan internal maupun eksternal.
Beberapa hal penting yang luput dari perhatian banyak orang, bahwasanya akar utama dari permasalahan-permasalahan dalam keluarga maupun yang serupa, adalah kurangnya perhatian pada akar permasalahan dari semua itu. Yang dalam hal ini mencakup penyebab internal maupun eksternal.
Hal ini juga berkaitan dengan pemisahan agama dari lini kehidupan sehari-hari, sehingga agama bukan lagi dijadikan patokan utama pengambilan keputusan maupun acuan untuk melakukan segala sesuatu.
Banyak yang memaklumkan bahwa faktor ekonomi cukup menjadi alasan seorang suami istri mengalami ketidakcocokan sehingga berujung terjadinya kekerasan. Ada Pula yang berspekulasi bahwa seorang istri bisa saja tidak menjalankan hak dan kewajibannya sehingga wajar saja jika suaminya marah dan terjadilah hal yang tidak diinginkan tersebut.
Padahal, dalam hal ini, jika seorang suami memahami akan hakikat dirinya sebagai qawwam, maka ia tidak akan semena-mena kepada istrinya. Begitupun sebaliknya, jika seorang istri menjalankan tugasnya sebagai umm wa robbatul bait dengan baik dan memberikan hak-hak kepada suaminya, dan itu semua dilandasi pada pemahaman agama yang mumpuni, maka hal-hal seperti permasalahan ekonomi atau yang lainnya tidak akan dengan mudahnya menjadi alasan adanya kekerasan di dalam sebuah rumah tangga.
Pertanyaannya, apakah suami dan istri, telah dipastikan oleh negara, sebagai institusi tertinggi yang bertanggung jawab bahwa mereka memahami hal ini dengan baik? Tentunya tidak. Peran negara tidak ‘difungsikan’ sejauh itu.
Hal ini menjadi makin tidak terelakkan karena dukungan sistem yang menjadi tonggak utama pemisahan agama dari pengaturan kehidupan sehari-hari. Dan memang begitulah tujuan dari sekularisme yang diusung oleh kapitalisme sendiri.
Berbicara tentang pengaturan hidup yang mencakup keseluruhan lini kehidupan, Islam memiliki aturan sempurna yang mengatur segala urusan hingga interaksi dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan umum bermasyarakat.
Di dalam Islam, lingkungan dan masyarakat yang baik menjadi angin segar kerukunan antar sesama yang juga berdampak baik pada kehidupan dalam lingkup sosial yang lebih besar, seperti dalam kehidupan bernegara.
Dalam kehidupan berumah tangga, Islam memiliki aturan yang telah teratur dan terstruktur tanpa mengabaikan fitrah dan hasrat utama manusia dalam menjalankan rumah tangga, dengan segala pernak-perniknya yang disusun sedemikian rupa, sehingga terwujud baiti jannati
Dalam lingkup sosial yang lebih besar, Negara pun akan mendidik Masyarakat, untuk menghadirkan kesadaran umum yang lebih luas, agar mampu mengendalikan dirinya dan lingkup sosial di lingkungannya agar semua berjalan baik, tidak membahayakan jiwa.
Sehingga jika ada beberapa kelompok kecil yang terlihat tidak pada aturan yang telah diketahui bersama, maka negara melalui masyarakat yang telah dibentuk kesadarannya dapat dengan mudah ber-amar makruf nahi mungkar.
Oleh: Rahmi
Aktivis Muslimah
0 Komentar