Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Apakah Menjadi Ahli Syukur atau Kufur?


Topswara.com -- Sobat. Allah membagi manusia ke dalam ahli syukur dan ahli kufur. Hal yang paling dibenci oleh Allah adalah kekufuran dan yang sejenis. Sementara yang paling dicintai-Nya adalah rasa syukur dan sejenisnya. 

Allah SWT berfirman :
إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا  
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan (76) : 3).

Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad, manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan kejahatan.

Dari perkataan sabil yang terdapat dalam ayat ini, tergambar keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing mereka kepada hidayah-Nya. Kata sabil lebih tepat diartikan sebagai petunjuk daripada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kenabian yang disebutkan dalam kitab suci.

Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti wujud-Nya melalui penglihatan terhadap diri mereka sendiri dan alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.

Akan tetapi, memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur, tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin, dan ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia. 

Pada ayat lain disebutkan:
 ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ  
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 2)
 
Firman Allah:
Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31)

Bahwa manusia diciptakan atas fitrah dan hidayah-Nya terlebih dahulu, baru kemudian datang godaan untuk mengingkari Allah, disebutkan dalam suatu ayat:
 فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ  

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Rum (30) : 30).

Dalam suatu hadis disebutkan:
Tiada seorang pun yang keluar (rumah), kecuali di tangannya ada dua bendera: bendera (yang satu) di tangan malaikat dan bendera (yang lain) di tangan setan. 
Jika seseorang keluar karena mengharapkan apa yang dicintai atau disenangi Allah, niscaya ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera malaikat sampai ia kembali ke rumahnya. Dan jika seseorang keluar karena mencari apa yang dimurkai Allah, niscaya ia diikuti oleh setan dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera setan sampai ia kembali ke rumahnya. (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah)

Sobat. Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah", terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. 

Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" diartikan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-dzariyat/51: 56).

Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. "Wajah" atau "muka" dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.

Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi: 
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. 

Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah ayat ini yang artinya: fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah." 

Dalam riwayat lain, "Sehingga kamu merusaknya (binatang itu)." Para sahabat bertanya, "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?" Rasul menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. 

Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . . . "(Riwayat Ahmad dari hammad) 

Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui," yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:

Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, "Maka Rasulullah ditanya, 'Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, 'Dan anak-anak musyrik." (Riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub).

Sebagian ulama lain mengartikan "fithrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya." 

Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa "fithrah" itu berarti "kejadian" dan "fathir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:

Katakanlah, "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi." (az-Zumar/39: 46) 
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22).

Dia (Ibrahim) menjawab, "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya." (al-Anbiya'/21: 56).

Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. 

Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. 'Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, "Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan." Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.

Ungkapan "itulah agama yang lurus", menurut Ibnu 'Abbas, bermakna "itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. 

Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.


Oleh: DR Nasrul Syarif M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spiritualiy – Meraih Sukses Tanpa batas.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar