Topswara.com -- Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.Demikian definisi yang diambil dari semua kalangan.
Stunting sudah dianggap darurat di Indonesia, termasuk angka stunting tertinggi ke 5 di dunia. Itu artinya kisaran 9 juta anak Indonesia mengalami stunting. Stunting sering disebut anak pendek yang standarnya sudah diukur menurut WHO karena kekurangan asupan gizi dan bisa terdeteksi saat anak berusia 2 tahun. Namun tiddak setiap anak pendek disebut stunting karena faktor genetis.
Penyebabnya adalah kurang gizi dalam bentuk fisik sehingga otak anak tidak berkembang, rentan pada penyakit dan kelak akan mempengaruhi produktifitas kerja saat dia dewasa.
Perkara ini bisa menjadi sebuah ancaman bagi negara dalam hal terhambatnya pembangunan ekonomi sebab sumber daya manusianya yang tidak berdaya. Karena itulah stunting menjadi program nasional bahkan program dunia.
Adapun dana untuk proyek stunting Indonesia sudah memasukkan dana pinjaman World Bank senilai US$400 juta untuk penanggulangan masalah stunting atau kurang gizi kronis ke dalam APBN 2019.
Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan bahwa dana itu akan dialokasikan dalam APBN untuk disalurkan kepada kementerian-kementerian terkait yang ada hubungannya dengan masalah stunting seperti Kementerian Kesehatan. (kabar24.bisnis.com)
Dana stunting juga diambil dari dari dana desa dan telah terjadi penurun angka stunting di desa-desa dari 37 persen menjadi 30 persen. Tahun 2019 ini program stunting akan terus dilanjutkan dan diupayakan 5 tahun ke depan angka stunting menurun hingga indeks 19 persen.
Kemiskinan ternyata menjadi faktor utama stunting di Indonesia diantaranya di Lombok, kemiskinan membuat keluarga tidak bisa menyediakan gizi seimbang saat anak dalam kandungan maupun soommaat anak lahir.
Bicara kemiskinan kaitannya dengan kesejahteraan ekonomi keluarga dan bagaimana keluarga mendapatkan kesejahteraan berkelanjutan (sustainable wellbeing). Kesejahteraan yang terhambat berdampak langsung pada malnutrisi dan selanjutnya berdampak pada stunting.
Kemiskinan erat kaitannya dengan kemampuan ekonomi keluarga,jika harga pangan mahal daya beli tidak punya maka gizi tidak akan terbeli, pun biaya kesehatan mahal tidak terjangkau anak tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai di kala sakit misalkan atau sekedar memantau tumbuh dan berkembang.
Kemampuan ekonomi keluarga agar bisa sejahtera dan berkelanjutan sangat ditopang oleh sistem ekonomi sebuah negara. Jika negaranya sejahtera maka keluarga akan sejahtera begitupun sebaliknya.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadi faktor penyebab tidak meratanya kesejahteraan keluarga di Indonesia. Sumber Daya Alam yang seharusnya bisa mensejahterakan negara ternyata diserahkan kepada para kapitalis untuk mengelolanya bahkan memilikinya atas nama investor.
Negara hanya mendapatkan bagian sedikit dari pengelolaan SDA tersebut ditambah pajak. Tentu tidak akan bisa menutupi pengeluaran negara jika dibandingkan negara mengelola sendiri SDA dengan mengerahkan seluruh ahli yang dia punya.
Belum lagi proyek-proyek simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha menambah daftar panjang kasus korupsi sehingga berdampak kekayaan yang seharusnya sampai ke rakyat lebih banyak, malah di pangkas, sampai ke rakyatnya hanya sedikit.
Ketika negara menutupi anggaran dengan menaikkan pajak, maka para kapitalis itu membebankan pajak tersebut kepada harga sehingga harga melambung tinggi,rakyat semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan yang layak gizi. Inilah yang menjadi faktor tidak sejahteranya keluarga di negeri ini.
Sisi lain negara mengklaim sudah bisa mengentaskan kemiskinan dan sudah mengalami angka penurunan. Ini bertolak belakang dengan kemiskinan yang menjadikan faktor malnutrisi yang menyebabkan stunting.
Maka ada asumsi berikutnya bahwa faktor utama penyebab stunting adalah pola asuh khususnya terjadi pada keluarga pernikahan dini. Seperti yang disinyalir oleh menteri kesehatan bu Nila F.Moeluk menyebutkan:
Sejatinya pola asuh yang buruk tidak hanya terjadi di kelurga yang menikah muda dan tidak semua pernikahan muda tidak paham pola asuh. Abainya pola asuh justru banyak terjadi pada ibu yang meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu atau nenek kakek karena ibu ikut mengentaskan kemiskinan bahkan ada ibu yang bekerja menjadi TKW demi uang sementara anaknya yang masih bayi ditinggalkan.
Berkelit dan berkelindan persoalan kemiskinan keluarga ditambah kebijakan perempuan harus berdaya secara ekonomi ikut mengentaskan kemiskinan keluarga Indonesia membuat teralihnya fungsi ibu dari fungsi sebagai ummun wa rabbatul bayt (ibu dan manager Rumah Tangga ) menjadi ibu sebagi mesin uang.
Tidak sedikit ibu yang menjadi tenaga kerja murah sebagi buruh, asisten rumah tangga sementara anak-anak tidak menentu pengasuhannya. Bisa saja gizi terpenuhi tetapi tidak masuk ke tubuh anak karena salah asuhan dan pembantu tidak peduli dengan itu.
Disinilah kebijakan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan berkiprah di publik tidak sejalan dengan upaya perlindungan terhadap anak dan penuntasan masalah stunting.
Bagaimana mungkin bisa terjadi ingin melindungi anak sementara ibunya dijauhkan dari anak? Seharusnya pemerintah tidak mengambil kebijakan pemberdayaan ekonomi perempuan tetapi pemberdayaan fungsi dan peran ibu. Barulah anak-anak stunting bisa lebih mudah diatasi dengan edukasi ibu yang intens dan mencerdasan ibu bagaimna pola asuh yang baik.
Nah, pengasuhan anak ini tergantung pengasuhnya. Banyak kasus karena dibebani banyak mengurusi anak mengambil keputusan untuk mengambil pengasuh atau diasuh sama neneknya atau pembantu.
Tanpa pertimbangan yang matang karena alasan bekerja misalnya atau alasan sangat merepotkan pilihan untuk menggaji pembantu adalah sangat rasional, hanya jangan sembarangan menentukan pilihan, tidak diiringi dengan kesiapan-kesiapan dari orang-orang yang kita minta untuk ikut serta dalam pengasuhan anak-anak kita.
Cendrung menyerahkan begitu saja kepada nenek dan kakek belum tentu sepenuhnya baik, apalagi cendrung menyerahkan sepenuhnya kepada pengasuh.
Untuk memahami soal pengasuhan ini satu hal kata kunci yang harus diingat adalah “Jangan terlantarkan anak”. Karena itu pengasuhan adalah kewajiban yang termasuk penjagaan jiwa dan haram hukumnya memberikan pengasuhan kepada orang-orang yang menelantarkannya termasuk ibunya sendiri. Pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak tersebut, karena hal itu secara pasti akan membahayakan anak.
Atas dasar ini, pengasuhan anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang waras pikirannya (al-ma’tuh). Demikian juga pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak karena kelalaian atau kesibukannya dengan berbagai aktivitas lain sehingga tidak memungkinkannya mengasuh anak tersebut.
Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat- sifat buruk, seperti fasik, misalnya. Sebab sifat-sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat yang rusak, sebab kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan. Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya.
Pengasuhan anak terkait hak anak sekaligus hak pengasuh. Hanya bagi pengasuh ketika dia mengambil haknya dalam pengasuhan maka sekaligus kewajiban yang tidak boleh dia abaikan. Ibu adalah orang yang paling berhak terhadap pengasuhan anak-anaknya.
Maka ibu mempunyai beban kewajiban yang paling utama dan tanggung jawab agung untuk memperhatikan segala kebutuhan anaknya untuk tumbuh kembang sehingga anak-anak di bawah belaian pengasuhannya adalah anak-anak yang sehat dan kuat.
Bagaimana bila sang ibu berhalangan dalam pengasuhan ini misalkan karena sakit atau karena kesibukan sehingga bila tetap sama ibu tersebut anak-anak akan terlantar dan dalam bahaya, maka ada hak kerabat yang bisa dilibatkan dalam pengasuhan.
Semua mereka ketika diserahkan hak tersebut atau mereka mengambil hak itu, berarti mereka memiliki kewajiban untuk mengasuh, segala ketemtuan hukum syara’ dalam pengasuhan wajib mereka tunaikan.
Nah bagaimana bila diasuh sama pembantu? Karena hak pengasuhan itu ditentukan orang-orangnya yang terkait dengan kerabat dan tidak berlaku umum maka pembantu hanya sekedar pembantu, anak tetap dalam asuhan orang-orang yg diberi hak secara syarak.
Misalkan pembantu disertai nenek juga, atau bibinya atau uwa nya. Atau pembantunya kerabat yang sudah dipilih syarak sebagai orang yang punya hak asuh.
Ini kerabat yang diberi hak asuh sekaligus kewajiaban, adalah ibu, kemudian nenek (ibunya ibu), terus ke atas yang didahulukan dari mereka mana yang lebih dekat, lalu yang lebih dekat. Ini dikarenakan mereka adalah para wanita yang telah nyata-nyata melahirkan.
Jadi, mereka semua berkedudukan sebagai ibu. Setelah itu, baru ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnyaayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), kemudian kakek dari bapaknya,dan kemudian nenek dari kakeknya, meskipun mereka bukan ahli waris.
Jika kaum pria dan wanita sebagaimana yang telah disebutkan di atas juga tidak mampu, hak pengasuhan anak berpindah kepada saudara-saudara perempuan. Didahulukan saudara perempuan se-ayah dan ibu (saudara kandung), kemudian saudara perempuan se-ayah, lalu saudara perempuan se-ibu.
Saudara perempuan didahulukan daripada saudara laki-laki, karena saudara perempuan itu adalah wanita yang termasuk ahl al-hidhanah, sehingga dia didahulukan daripada pria yang derajatnya sama.
Jika saudara perempuan tidak ada, maka saudara laki-laki seayah dan seibu didahulukan kemudian anak-anak laki-laki dari keduanya. Tidak boleh pengasuhan anak diserahkan kepada saudara laki-laki se-ibu. Jika mereka tidak ada, hak pengasuhan anak berpindah kepada para bibi dari pihak ibu (al-khalat).
Jika tidak didapati juga, hak pengasuhan anak berpindah kepada bibi dari pihak ayah (al-’amat). Jika mereka tidak ada juga, hak pengasuhan anak diserahkan kepada paman dari se-ayah dan ibu, kemudian kepada paman dari pihak ayah. Pengasuhan anak tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu.
Jika mereka tidak ada, pengasuhan anak berpindah kepada bibi (al-khalat) dari pihak ibu, lalu bibi (al-khalat) dari pihak ayah, lalu bibi (al-’amat) dari pihak ayah. Pengasuhan tidak diserahkan kepada bibi (al-’amat) dari pihak ayah, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu.
Wallaahu a’lam bishshawab.
Oleh : Ustazah Yanti Tanjung
Pakar Parenting
0 Komentar