Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wajah Parpol dalam Sistem Demokrasi


Topswara.com -- Sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan umum (pemilu) serentak 2024. Terutama pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029. Tentunya momen ini dinantikan masyarakat Indonesia. Siapakah yang akan menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk menentukan masa depan Indonesia ke depannya?

Ada tiga pasangan capres dan cawapres 2024 yang sudah sah secara resmi mendaftar ke KPU. Mengutip detikNews, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan pasangan Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud Md mendaftar ke KPU pada 19 Oktober 2023. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka baru mendaftar ke KPU pada 25 Oktober 2023.

Yang mengagetkan publik, putra sulung Presiden Joko Widodo yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Gibran Rakabuming Raka, telah maju sebagai cawapres turut mendampingi Prabowo Subianto yang artinya Gibran telah menyimpang dari aturan PDIP. 

Bagaimana tidak, Jokowi sendiri selama dua periode menjadi presiden selalu disokong oleh PDIP. Begitu juga anak, menantu dan iparnya setia bersama PDIP.

Indikator lain mengatakan alasan terbesar kedua responden memilih PDIP karena sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo lewat rilis daringnya yang diberitakan republika.co.id, Kamis (26/10/2023). PDIP sendiri memperoleh suara 23,9 (persen) karena suka dengan Pak Jokowi. Jadi magnet PDIP karena suka Pak Jokowi ini kuat.

Namun, pemilih PDIP yang memilihnya karena sosok Megawati Soekarnoputri justru cenderung sangat kecil, yakni sebesar 2,2 persen. Padahal, Megawati notabenenya ketua umum partai berlambang kepala banteng itu.

Nah dari indikator tersebut, Putra sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka akhirnya membuktikan dirinya tampil dengan lantang dan bangga menyatakan diri siap menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. 

Tidak harus bergantung dengan kader yang diusung bapaknya selama ini bukan tidak bisa menjadi apa-apa. Justru ingin membuktikan putra sulung Jokowi itu memiliki banyak simpatisan dan dukungan di luar PDIP.

Dalam aturan partai sendiri sudah terlihat jelas bahwa Gibran Rakabuming Raka telah mengkhianati pada partainya PDIP, otomatis Gibran dinyatakan sudah tidak jadi anggota PDIP. Dan ini dibenarkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Kehormatan PDIP Komarudin Watubun saat dihubungi sebagaimana yang diberitakan detiknews.com, Kamis (26/10/2023).

Megawati selaku ketua PDIP dalam sejumlah kesempatan juga dengan tegas menyatakan sikap bahwa tidak boleh dan melarang kadernya ada di dua kaki. Untuk itu, secara de facto, keanggotaan Gibran di PDIP telah berakhir setelah pendaftarannya secara resmi menjadi cawapres dari Koalisi Indonesia Maju. 

Banyak pendukung PDIP menyayangkan dan merasa sangat kecewa dengan putusan sikap Gibran, karena dianggap sudah lupa kacang akan kulitnya. Sehingga kubu mereka terbecah belah dan otomatis perolehan pendukung juga ikut terpecah belah.

Parpol Berubah Kapan Saja

Tidak perlu heboh dalam organisasi partai, keluar, pindah, berhenti, dan beralih itu hal yang biasa dan wajar. Saat ini Gibran mengkhianati instruksi partai, maka otomatis tidak lagi di PDIP. 

Lumrah memang, keluar satu kader, ada banyak kader baru partai yang potensial bergabung ke partai lainnya atau dalam arti pindah ke hati lain. 

Tidak hanya Putra sulung Jokowi yang berubah haluan, dua capres dan cawapres juga begitu yang awalnya jadi kawan menjadi lawan, ibarat pribahasa, “Lidah tak bertulang bisa saja hari ini bilang ia besok bilang itu.” Hari ini pendukung besok berubah jadi penentang.

Yang pasti, peta perpolitikan kian karut marut tidak ada yang jelas. Baik itu partai berbasis nasional maupun berbasis Islam. Semuanya hanya topeng belaka saling mengkhianati sesama partainya. 

Namun yang tidak berubah ketika menjelang pemilu 2024 adalah publik sebagai penonton dan kehadirannya hanya dibutuhkan sebatas suara saja setelah pemilu selesai rakyat diabaikan.

Semua gagasan yang ditawarkan partai politik atau kandidat presiden tidak ada yang namanya kepentingan rakyat. Mereka menggunakan suara rakyat hanya untuk memenangkan pemilu, untuk berkuasa semata. 

Tidak ada urusannya untuk membangun atau membuat rakyat menjadi sejahtera tidak bakal terjadi. Lihat saja sekarang hasil pemilu sebelumnya apakah Indonesia semakin membaik yang diharapkan selama ini? 

Pasalnya, selalu terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Harapan rakyat dari pemilu sebelumnya adalah terpilihnya pemimpin yang amanah dan mampu membangun sistem untuk mewujudkan kesejahteraan bagi keadilan seluruh rakyat. 

Faktanya pemilu hanya menghasilakan para koruptor, pengkhianat, penjilat dan mereka menjabat hanya untuk menyengsarakan rakyat, membuat dan merubah aturan sesuai apa yang mereka inginkan. Rakyat di sini hanya menjadi korban. Korban kerakusan para petinggi elit dunia perpolitikan dalam sistem demokrasi.

Yakinlah, ratusan kali pemilu dilakukan dengan memilih pemimpin yang berbeda-beda tetap saja mereka berkuasa bukan untuk kepentingan rakyat, namun untuk kepentingan dan menguntungkan mereka sendiri. 

Mau orangnya dari kalangan santri, kiai, atau dermawan tetap saja tidak akan merubah keadaan pasti akan berubah haluan pindah sana pindah sini, lompat sana lompat sini yang penting bagaimana caranya bisa menduduki kursi kekuasaan.

Dalam hal ini kondisi parpol tidak baik-baik saja, rakyat khususnya umat Islam harus sadar memiliki alternatif mengambil hikmah kejadian yang sudah pernah dialami bahwa tidak ada harapan perubahan yang hakiki dari parpol dari sistem demokrasi. 

Saatnya melakukan perubahan hakiki menuju Islam kaffah sesuai apa yang telah Rasulullah contohkan kepada kita. Tidak hanya merubah kepada pergantian pemimpinnya saja namun juga merubah aturan sistem berdasarkan syariat Islam.

Parpol dalam Sistem Islam

Dalam konteks politik Islam, politik itu sendiri berfungsi mengurusi urusan rakyat (umat). Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang melaksanakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umatlah mengoreksi negara (An-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah, hlm. 5).
Mengurusi umat dilakukan oleh negara dengan cara menerapkan ideologi Islam (akidah dan syariah) secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tugas umat mengoreksi jalannya penerapan ideologi Islam ini jika terjadi penyimpangan. 

Sejatinya seorang Muslim adalah politikus. Sebabnya, politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Karena itu setiap politisi Muslim wajib menguasai fiqih Islam dengan baik dan benar. 

Sebabnya, jika tidak menguasai fiqih Islam, ia tidak akan bisa mengurusi urusan umat dengan baik dan benar sesuai dengan aturan Islam. Karena itu fiqih dan politik, dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, fiqih adalah solusinya, sedangkan politik adalah cara bagaimana menerapkan fiqih tersebut dalam kehidupan. 

Wajar saja jika akan menghasilkan pemimpin yang adil dan bijaksana didampakan rakyat. karena gagasan yang dimiliki tidak berdasarkan kepentingan pribadi. namun bagaimana ketika gagasan ini diterapkan hanya untuk kemaslahatan umat. Kembali lagi karena hasil gagasan tersebut berdasarkan dari aturan Islam. Yang aturan Islam tersebut berdasarkan dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT.

Tidak seperti gagsasan yang dihasilkan dari sistem demokrasi yaitu aturannya berdasarkan dari buatan manusia sendiri. Tentunya namanya manusia membuat aturan pasti mencari keuntungan bagi dirinya dan tidak akan pernah mau merugikan dirinya sendiri. 

Maka wajar saja parpol dari hasil sistem demokarsi sifatnya berubah dari masa ke masa. Selalu mengingkari janjinya, berkhianat terhadap rakyat bahkan sampai tega mengorbankan nyawa rakyat. 

Inilah yang sekaligus menjadikan politik memiliki identitas yang jelas, yakni Islam. Politik Islam semacam inilah yang membedakan dirinya dengan politik sekuler. Intinya tidak boleh seorang Muslim menanggalkan syariah Islam sebagai identitasnya dalam berpolitik. Apapun alasannya. Sebaliknya, dia wajib terikat dengan syariah Islam dalam segala aspek kehidupannya.[]


Oleh: Siti Hajar Ramli
Aktivis Dakwah di Depok
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar