Topswara.com -- Apakah baru kali ini politik demokrasi mewanti-wanti untuk fair play dalam konteks pemilu? Bukankah selama pemilu dijalankan dalam demokrasi liberal, kecurangan itu ditolelir? Publik pun dibuat rancu akan arti kejujuran dalam setiap pemilihan.
Fakta di lapangan menunjukkan kecurangan kerap ditemukan. Bentuk kecurangan bisa berupa penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi data, pengerahan pejabat negara, hingga politik uang.
Kecurangan menjadi barang menakutkan ketika politisi merasa suci dan penjaga setia demokrasi. Upaya menghadirkan pejabat negara dan pemimpin diharapkan penuh dengan kejujuran. Tujuannya hadir orang-orang yang memang terpilih dan mampu membawa perbaikan bagi negeri ini. Apa mau dikata, terkadang politik demokrasi bermain kasar dan kotor. Sekasar pukulan mematikan dan sekotor air yang terkena limbah berbahaya.
Jika calon pejabat negara mengalami amnesia seolah menutup mata di pemilu sebelumnya tak ada kecurangan. Bisa jadi tahu ada kecurangan tapi membiarkan. Kali ini mewanti-wanti menjunjung tinggi kejujuran seolah ingin mendapatkan dukungan simpatik. Serta menjadi pesan kepada publik jika dirinya ingin tampil dan bisa diharapkan membawa perubahan.
Sementara itu, amnesia rakyat terjadi berkali-kali. Rakyat tak kapok mendukung sana-sini. Ketika sudah duduk di kursi kekuasaan yang terpilih malah mengkhianati. Rakyat terkadang cuek. Yang penting dalam pemilu dapat ‘mahar’ lima tahun berlalu.
Demokrasi Diliputi Kecurangan
Sekuat apapun teori mempertahankan demokrasi sebagai pilihan terbaik, faktanya kini berbalik. Demokrasi dengan teori yang membuat melayang hanya angan-angan. Demokrasi pun kini diliputi kecurangan. Hal ini karena demokrasi berbasis pada sekulerisme dan liberalisme.
Teori ini sejalan dengan praktik yang menunjukkan demokrasi tidak mengenal benar dan salah. Tidak mengenal pahala dan dosa. Alhasil, kebebasan dijunjung tinggi sebagai sebuah nilai. Padahal kebebasan telah memberikan ruang bencana bagi kehidupan manusia.
Selain itu, upaya wanti-wanti akan ada kecurangan sangat wajar. Pasalnya, hal itu bisa saja terjadi dan siapa pun elit politik dan pelakunya mengetahui. Karenanya, wanti-wanti agar tidak ada kecurangan bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, belajar dari pemilu sebelumnya yang terwarnai oleh kecurangan secara tersistem, sistematis, dan massif (TSM). Kondisi ini banyak diungkap di media baik media sosial ataupun analisis banyak pakar dan tim pemenangan.
Kedua, adanya dugaan pelanggaran konstitusi terkait perubahan aturan usia minimal capres-cawapres. Lalu diwarnai dugaan politik dinasti menggunakan aji mumpung kekuasaan. Kondisi ini seolah mengulangi pola di pemilu sebelumnya.
Ketiga, rasa terdesak akan kalah memunculkan alarm tanda bahaya akan ada kecurangan. Ini wajar karena elite pun belajar dari pengalaman. Kamuflase ini terkadang aneh seolah mendiamkan kecurangan pemilu sebelumnya. Kemudian ingin meraih dukungan seolah bebas dari kecurangan.
Keempat, dalam bahasa komunikasi politik rakyat sebagai konstituen diajak untuk memikirkan kembali nasib demokrasi yang sudah terpuruk. Demokrasi seolah menjadi barang yang lapuk dan ingin coba dibangkitkan lagi jika kejujuran dalam demokrasi akan melahirkan pejabat dan pemimpin yang sevisi dan semisi dengan rakyat.
Kelima, kondisi ini mempertegas jika demokrasi diliputi kecurangan dan keculasan. Elit politik seolah menampilkan kepolosan dan kejujuran berpolitik. Sayangnya, hal itu tidak tercermin dalam keseharian tatkala mengurusi urusan rakyat. Ramalan bagaimana demokrasi mati akan terbukti. Kematian demokrasi di awali dari bilik suara tempat pemilu berada.
Mengharapkan kejujuran dalam pemilu demokrasi seperti bermimpi bisa terbang tanpa sayap. Menjadi kemustahilan karena dalam praktik di beberapa negara kecurangan dalam pemilu demokrasi itu. Bahkan ketika ada kelompok pemenang bisa saja mudah dianulir dan dikudeta. Ke depan demokrasi akan mundur ke belakang dan terbelakang.
Adakah Pilihan Jujur?
Kalau ada piihan jujur dan mujur, kenapa mesti mempertahankan demokrasi yang diliputi kecurangan? Kejujuran ini penting agar tak salah dalam pilihan politik. Salah menentukan sistem politik sangat berbahaya dan menjadikan kehidupan penuh dengan salah langkah. Jika demokrasi berasas sekulerisme dan liberalisme, maka ini berbeda dengan politik Islam.
Kejujuran sistem politik Islam terletak pada basisnya yaitu aqidah Islam. Akidah yang mengikatkan hamba kepada Allah Sang Pencipta. Politisi dan pejabat negara merasa diawasi oleh Allah. Untuk menduduki sebagai pemimpin dan pejabat negara tak bisa menghalalkan segala cara. Ada syarat dan mekanisme yang penuh aturan dalam syariat.
Sebagaimana syarat menjadi pemimpin negara yaitu muslim, laki-laki, bertaqwa, adil, baligh, merdeka, dan mampu. Poin pentingnya mau menjalankan syariah secara menyeluruh.
Tujuan politik dalam Islam untuk menjaga agama dan mengurusi rakyat seutuhnya. Menjadi pemimpin dan pejabat negara bukanlah kebanggaan, tetapi pengabdian. Karena seruan syariah Islam ketaatan pemimpin dan pejabat negara itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan malah taat kepada kapitalis dan oligarki. Apalagi kepada ketua partai politik.
Maka pilihan jujur bagi siapapun yang ingin mujur, politik Islam inilah menjadi jawaban. Demokrasi telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi tidak baik dan perlu kiranya publik mengambil pilihan politik yang baik. Itulah politik Islam. Politik yang memiliki integritas dan jauh dari manipulasi manusia yang culas.
Oleh: Hanif Kristianto
(Analis Politik-Media)
0 Komentar