Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Refleksi Hari Guru Nasional, Generasi Makin Rusak di Tengah Kurikulum Merdeka


Topswara.com -- Tanggal 25 November 2023 akan diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Tema yang diusung oleh Mendikbud sendiri melalui surat pedoman peringatan Hari Guru Nasional tahun 2023 nomor 36927/MPK.A/TU.02.03/2023 yang dirilis pada 26 Oktober 2023 lalu dengan tema Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar.

Tema ini menjadi pertanyaan bagi kita, mengingat berbagai realita generasi yang sarat berbagai masalah serius mulai dari semakin meningkatnya perilaku bullying, melakukan pembunuhan, penganiayaan, pelaporan terhadap guru, tawuran, begal, kesehatan mental, bahkan tingginya angka bunuh diri.

Fenomena kerusakan generasi menunjukkan bahwa pembelajaran selama ini tidak berjalan dengan baik, ditambah lagi pendidikan saat ini tidak memiliki cukup pengetahuan untuk memajukan generasi. Alhasil, kurikulum silih berganti dengan klaim perbaikan, namun kualitas generasi justru semakin amburadul.

Fakta-fakta yang terjadi di tengah-tengah generasi telah jelas menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan saat ini tidak tepat dan bermasalah. Kurikulum pendidikan berasaskan sekularisme ialah akar masalahnya, paham sekularisme menjadikan agama terpisah dari kehidupan.

Sekularisme juga melahirkan ide kapitalisme yang berorientasi materi pendidikan yang berasaskan kapitalisme sangat berbahaya. Sebab generasi hanya terus didorong menjadi pekerja yang menghasilkan uang tanpa memikirkan masalah umat. Maka wajar jika pendidikan yang berasaskan sekularisme kapitalisme gagal mencetak generasi mulia.

Ada beberapa pokok persoalan pendidikan di negeri ini, diantaranya:

Pertama, masalah kurikulum. Berkali-kali negeri ini berganti kurikulum, pendidikan Indonesia tak kunjung menemui titik terang dan guru pun dituntut mampu beradaptasi dengan perubahan kurikulum yang terus berganti. Sementara hasil perubahan tersebut belum signifikan bagi perbaikan karakter generasi.

Kedua, masalah infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang tidak merata yang dialami seorang guru. Alhasil, ketimpangan ini menjadi masalah menahun yang juga belum pernah terselesaikan dengan baik.

Ketiga, kompentensi guru. Hal ini menjadi factor krusial mengingat guru adalah ujung tombak pendidikan. Di tangan merekalah yang akan menerapkan sistem pendidikan yang benar, manajemen, kurikulum, dan seluruh perangkat pendidikan yang dibutuhkan oleh guru dalam membimbing dan mendidik generasi yang unggul.

Sangat berbeda dengan sistem Islam, Islam mampu menjadikan generasi sebagai sosok yang mulia, hal ini telah terbukti sepanjang penerapan sistem Islam dalam khilafah. Sebagai bukti dunia saat ini bisa membaca biografi generasi Islam yang cemerlang, seperti Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid dan panglima perang. 

Dalam Islam, gelar mujtahid maupun mujahid adalah gelar yang mulia, gelar yang tidak bisa diraih kecuali oleh orang-orang dengan ketinggian berpikir dan beriman. Dalam masa khilafah, sosok seperti Imam Syafi’i begitu banyak ditemui. Hal ini menunjukkan keberhasilan pendidikan Islam dalam mencetak generasi menjadi pilar-pilar pengokoh dan penjaga peradaban bukan generasi yang sakit seperti pendidikan saat ini.

Keberhasilan ini ditopang dengan sistem pendidikan yang jelas, matang, dan shahih. Syaikh Atha’bin Khalil dalam kitabnya “Usus at Ta’lim fi Daulah al Khilafah” menjelaskan tentang tujuan pendidikan Islam adalah: pertama, membentuk kepribadian Islam. Kedua, menguasai pemikiran Islam dengan handal. Ketiga, guru pun harus menguasai ilmu pengetahuan, dan teknologi). Keempat, memiliki keterampilan tepat guna dan berdaya guna.

Dengan tujuan pendidikan seperti ini, kurikulum pendidikan harus sejalan dengan tujuan tersebut. Maka dengan lembaga pendidikan khilafah baik sekolah maupun perguruan tinggi khilafah, mereka harus membentuk para pelajar berkepribadian Islam. 

Tolak ukur kepribadian Islam adalah ketika seseorang memiliki pola pikir dan pola sikap secara Islam. Pola pikir dan pola sikap harus sejalan beriringan, pembentukan ini tidak mudah dan tidak instan. 

Oleh karenanya, seorang guru tidak hanya dituntut mengajar dengan baik, tetapi bagaimana ia mendidik anak didiknya dengan memadukan ilmu dan iman dalam pengelolaan pembelajaran. 

Dalam Islam pun, pembelajaran dilakukan secara talqiyan fikriyan yaitu metode pemindahan ilmu kepada seseorang sebagai sebuah pemikiran dengan cara menstransfer hasil penginderaan terhadap fakta melalui panca Indera ke otak, kemudian dihubungkan melalui informasi sebelumnya yang telah terbukti benar kepastiannya yang digunakan untuk menginterpretasi fakta tersebut. 

Sebagai contoh pada tingkat TK-SD akan dikenalkan Allah sebagai Al-khaliq dan Al-Mudabbir atau pengatur melalui pengamalan pada manusia, kehidupan, dan alam semesta sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Pengenalan ini harus sampai keyakinan kuat sehingga setaip siswa memiliki keimanan yang kokoh. Mereka yakin bahwa Allah yang menciptakan seluruh alam semesta dan sebagai hamba harus terikat pada syariat Allah SWT. 

Dengan demikian, mindset inilah yag digunakan untuk menghukum perbuatan mereka sendiri dan fakta-fakta disekitar mereka, sehingga para perlajar akan peka terhadap permasalahan umat dan Islam. 

Sistem pendidikan Islam tidak hanya bertumpu pada negara akan tetapi bersifat menyeluruh. Islam juga menwajibkan orangtua mendidik anak-anak dengan akidah dan syariah Islam sejak dini. Rumah pun adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Tidak hanya didalam keluarga masyarakat juga dituntut menjadi tempat rill bagi anak-anak belajar dan mengamati penerapan syariat. Islam, mensyariatkan amar ma’ruf nahi mungkar serta ta’awun (tolong-menolong) menjadi budaya di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan demikian adanya keterpaduan keluarga, masyarakat, dan negara akan menjamin keberhasilan membentuk generasi yang berkualitas. Dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh sistem Islam yakni khilafah. 

Wallahu a’lam bis shawwab. 


Hamsia
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar