Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perempuan dalam Balutan Ketidakadilan Hukum, Akankah Feminisme Mensolusi?


Topswara.com -- Ketidakadilan hukum bagi para perempuan masih terus menjadi fakta kelam. Betapa banyak perempuan terpaksa mengalah, karena tidak ada pembelaan. Lantas, mungkinkah konsep feminisme memberikan harapan?

Sistem Destruktif Memantik Ketidakadilan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa perempuan yang terlibat dalam proses hukum, seringkali mendapati perlakuan yang tidak adil di ruang persidangan (antaranews.com, 16/11/2023). 

Bintang Puspayoga pun mengingatkan bahwa isu kesetaraan gender dalam usaha pemberdayaan dan perlindungan perempuan adalah sebuah masalah yang aktual, penting, serta krusial. 

Semua fakta ini menenkankan kepada masyarakat, perlu adanya hukum yang adil dan setara untuk semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, kaya ataupun miskin. Segala bentuk ketidakadilan dalam ranah hukum akan menciptakan tekanan psikis dan trauma pada perempuan.

Bintang juga menggarisbawahi bahwa peran strategis Komisi Yudisial sebagai lembaga yang memiliki tugas menegakkan kode etik hakim sangat penting dalam mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam konteks peradilan.

Ketidakadilan hukum sesungguhnya bukan karena perbedaan gender. Namun, karena sistem sekularisme kapitalistik yang kini diterapkan. Sistem sekulerisme telah gagal menyajikan keadilan bagi seluruh rakyat, termasuk perempuan. 

Segala persoalan termasuk masalah peradilan menjadi salah satu masalah yang terus membelit rakyat saat ini. Aturan yang diterapkan dalam sistem rusak ini didasarkan pada kesepakatan manusia yang dan menghasilkan aturan yang mudah direkayasa sesuai keinginan.

Asas kebebasan menjadi dasar konsep peradilan ala sekularisme kapitalistik. Kebebasan aturan membuat standar hukum menjadi tidak jelas dan bersifat subyektif. Ketidakadilan menjadi produk peradilan yang menzalimi rakyat. Jelaslah, sistem kapitalisme sekularistik ini merupakan sistem destruktif yang merusak kualitas kehidupan. Dan tidak sesuai dengan fitrahnya manusia.

Sistem peradilan ala sekularisme menjadikan agama sebagai aturan yang mengatur ibadah saja, tanpa memandangnya sebagai aturan yang mengatur kehidupan. Sehingga setiap aturan hidup ditetapkan oleh kebijakan aturan manusia yang akan berubah sesuai standar keinginan dan kebutuhan. 

Hukum berlaku tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Para pemilik modal dengan mudahnya terbebas dari jeratan sanksi hukuman karena konsep hukum yang memberikan kesempatan suap dalam lingkup penegak hukum. 

Sementara bagi rakyat kecil, hukum bisa sesuka hati diterapkan sesuai perintah pemilik modal. Jelaslah, konsep ini menciptakan ketidakadilan dalam hukum dan peradilan. Tidak hanya bagi kaum perempuan saja, namun juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

Segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan dan masalah kekerasan yang kini banyak menimpa perempuan bukan disebabkan ketidaksetaraan gender. Semua masalah terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme sekularistik yang tidak mampu memposisikan perempuan sebagai makhluk seutuhnya. 

Sistem rusak menjadikan perempuan sebagai obyek "murahan" yang dengan mudah dikapitalisasi. Dan dianggap sebagai pendongkrak keadaan ekonomi yang kini tengah collapse. Alhasil, perempuan tidak mampu dijaga kehormatan dan kemuliaannya dalam sistem hari ini.

Sementara di sisi lain, isu tentang feminisme dan kesetaraan gender yang digadang-gadang mampu memperbaiki nasib perempuan saat ini, hanyalah anggapan yang keliru. Konsep berpikir sekularisme menghasilkan bentuk pemikiran yang kacau. Konsepnya yang menjauhkan aturan agama dalam pengaturan kehidupan menjadikan hidup berjalan pincang. 

Dalam sistem kapitalisme, perempuan dianggap berharga jika mampu berperan sebagai pencetak cuan. Sementara di sisi lain, pendidikan generasi terabaikan. Wajar saja, saat perempuan mengibarkan kebebasan dan kesetaraan dari segala bentuk kodratnya, selalu diikuti dengan fenomena kerusakan generasi.

Perempuan Mulia dalam Syariah Islam Kaffah

Islam menetapkan bahwa perempuan adalah makhluk mulia. Perempuan dan laki-laki dikodratkan untuk saling melengkapi. Keduanya saling bekerjasama untuk saling menjaga dan meraih ridha Allah SWT. Bukan untuk saling bersaing menggapai kesetaraan. 

Telah jelas posisi laki-laki dan perempuan dalam syariah Islam. Tidak perlu ada kesetaraan tentang peran keduanya. Dalam daulah Islamiah yang dipimpin seorang khalifah, ditetapkan satu jenis peradilan yang mampu menyajikan sempurnanya keadilan. Yakni peradilan berkonsep syariah Islam. 

Konsep tersebut terbukti gemilang memberikan keadilan bagi seluruh umat termasuk perempuan. Semua aturan disandarkan secara menyeluruh pada syariat Islam. Segala aturan bersumber dari Al Qur'an dan As Sunnah. Aturan baku yang jelas standarnya. Peradilan Islam menghukumi segala jenis perkara dengan seadil-adilnya sesuai standar syariah Islam. 

Dalam sistem Islam, dikenal ada tiga jenis peradilan, yaitu peradilan khusumat, hisbah dan madzalim. Peradilan ini dipimpin para hakim (qadhi) yang adil dan taat syariat. Semua qadhi yang ditetapkan khalifah akan memberikan kontribusi terbaiknya demi keadilan yang sempurna sesuai ketetapan Allah SWT. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
(QS. Al-Anbiya :107)

Penerapan syariat Islam yang kaffah, pasti melahirkan berkah. Inilah janji Allah SWT. pada seluruh makhlukNya. Peradilan yang amanah akan melahirkan ketenangan dalam diri umat. 

Rakyat pun percaya sepenuhnya pada setiap keputusan peradilan karena semua konsepnya berasal dari aturan Allah SWT. yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai seorang hamba. Hak setiap muslim mampu terlindungi sempurna. 

Alhasil, keamanan dan ketentraman menjadi nafas yang menyejukkan kehidupan. Betapa indah kehidupan dalam lindungan syariat Islam kaffah. 

Wallahu a'lam bisshawwab. 


Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar