Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Sistem Demokrasi Sesuatu yang Niscaya


Topswara.com -- Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menyatakan bahwa bakal calon presiden (bacapres) maupun bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti. 

Hal ini berdasarkan pada Pasal 16 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 

Adapun Pasal 15 PKPU Nomor 19 tahun 2023 mengatur bahwa selain menteri maupun pejabat setingkat menteri diantaranya seperti presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota, kesemuanya tersebut juga tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya jika mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. (antaranews.com/18/10/2023)

Telah diketahui bersama bahwa di kabinet Presiden Jokowi terdapat dua menteri yang berpartisipasi dalam pilpres 2024, yaitu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo, kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. 

Hal ini disorot oleh seorang Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi yang berharap agar para menteri yang bersinggungan dengan perpusaran koalisi Pilpres 2024 termasuk bacapres dan bacawapres untuk mundur dari jabatannya. Selain untuk menghindari konflik kepentingan, tujuan lainnya adalah menghindari posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. 

Fakta menunjukkan bahwa saat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendaftar ke KPU sebagai peserta Pilpres 2024, sejumlah menteri kabinet pemerintahan Presiden Jokowi cuti kerja untuk menghantar pasangan tersebut ke KPU. 

Beberapa menteri juga masuk tim pemenangan nasional Prabowo-Gibran, diantaranya Menko Perekonomian yang juga Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan yang juga Ketum PAN Zulkifli Hasan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menjadi wakil ketua pemenangan Prabowo-Gibran. Dari sini menurut Ari Junaedi cuti panjang atau mundur dari jabatan merupakan cara untuk meminimalisir peluang penyalahgunaan kekuasaan dalam proses pemilu. (tribunnews.com/25/10/2023)

Tahun politik telah dimulai. Partai politik pun telah menyiapkan calon-calon yang akan maju mengisi kursi-kursi kekuasaan. Tim sukses tak lupa untuk dibentuk guna mensukseskan dan memeriahkan kampanye demi menarik suara rakyat agar memilih para calon mereka. 

Baliho-baliho telah banyak bertebaran di tepian jalan. Terpampang foto ukuran super jumbo wajah-wajah para calon. Jargon politik pun diketik didekatnya. Beginilah hal-hal yang biasa dilakukan di awal masa-masa kampanye pemilihan para penguasa. 

Serentetan agenda berikutnya yang sudah menjadi keumuman dalam kampanye biasanya blusukan, bagi-bagi sembako, bagi-bagi angpao, bagi-bagi kaos sablon partai, konser musik, dan lain sebagainya. Semakin tampak besarnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan untuk menjadi pemenang. 

Karena itulah mendapat sebutan pesta demokrasi. Berpesta dalam pemilihan pemimpin, menghamburkan banyak uang sekedar untuk memilih orang yang akan memimpin dengan hukum buatan manusia. 

Dalam proses pemilu demokrasi yang sedemikian rupa, aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh mereka sangat memungkinkan peluang adanya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan bahkan juga fasilitas negara dan anggaran. 

Selain itu terdapat potensi pengabaian tanggung jawab tugas dan abai terhadap hak rakyat. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidak adilan yang dilegitimasi oleh negara apalagi didukung regulasi yang ada. Sebagai contoh seperti fakta di atas. 

Aturan baru dari KPU yang membolehkan para calon untuk cuti tanpa harus mundur dari jabatannya. Sementara untuk mengurusi kampanye banyak hal yang harus dilakukan. Padahal setiap amanah (jabatan) akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Sungguh berbeda dengan pemilu dalam sistem Islam. Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. 

Seseorang yang dipilih adalah yang akan menerapkan hukum Allah secara keseluruhan. Bukan hukum yang dibuat suka-suka oleh manusia. Biaya yang dikeluarkan untuk pemilu juga sedikit. 

Para calonnya pun memandang jabatan sebagai wasilah penerapan hukum syarak dalam kehidupan manusia. Bukan sesuatu yang dibanggakan apalagi untuk memperkaya diri dan golongan. 

Ketegasan Islam akan adanya pertanggung jawaban kelak di akhirat dapat menjaga setiap orang termasuk para calon pejabat untuk taat kepada aturan Allah dan rasul-Nya.

Wallahua'lambishshawab.


Oleh: Iliyyun Novifana, S.Si.
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar