Topswara.com -- Dua menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpartisipasi dalam Pilpres 2024. Keduanya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang jadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Menyoal hal tersebut, Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya.
Selain untuk hindari konflik kepentingan. Tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat (tribunnews, 25/10/2023).
Sudah menjadi hal lumrah dalam politik ala demokrasi para pejabat sibuk dengan jabatannya, mempertahankan posisinya dengan berbagai macam cara bahkan mencari jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Benar semakin tinggi jabatan maka pengaruhnya, wewenang dan keuntungannya semakin besar dan luas.
Sehingga wajar saja yang sekarang jadi menteri, gubernur atau walikota ingin jadi presiden atau wakil presiden. Ini semua karena sistem demokrasi memang memberikan kesempatan untuk itu, tidak ada musuh sejati dan kawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati.
Masa jabatan yang tidak lama lagi akan berakhir seharusnya digunakan semaksimal mungkin melayani kepentingan rakyat yang selama ini belum tertunaikan. Alih-alih bersikap bijak dan sadar diri justru sebagain pejabat sibuk mencari kursi kekuasaan, bertarung untuk pemilu hingga lupa amanah yang sedang diemban.
Sehingga muncullah solusi aneh lebih baik mengundurkan diri dari jabatan dari pada menyalahgunakan jabatan demi sebuah jabatan yang baru. Ini berarti di mata para pejabat, kepentingan rakyat bukan yang utama. Akan tetapi posisi dan jabatan lah yang paling mereka kejar. Berbagai macam cara pun dilakukan yang penting sampai pada jabatan yang diidamkan.
Padahal bukankah seharusnya mereka maksimal menunaikan amanah jabatannya hingga berakhir masanya. Pada titik ini seharusnya rakyat perlu membuka mata dan sadar bahwa demokrasi bukan tempat yang layak untuk meraih sejahtera. Sebab sejak demokrasi berdiri hingga hari ini, rezim berganti ternyata hanya berhasil mengganti wajah baru pejabat di kursi kekuasaan. Sementara hidup sejahtera dan bahagia tetap jadi mimpi abadi. Sampai kapan ini terjadi?
Berharap perubahan pada pemilu 2024 akan berakhir pada kecewa selama asasnya adalah demokrasi sebab pejabat hanya melayani kepentingan elit politik dan pengusaha. Kepentingan rakyat bukan prioritas.
Islam sendiri telah meletakkan pondasi bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban. Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)'.” (HR. Muslim).
Sejarah peradaban Islam telah menggambarkan kepada kita bagaimana para khalifah dan pejabat menunaikan amanah kekuasaan dengan sebaik-baiknya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak mau menggunakan fasilitas penerangan negara saat berbincang soal urusan keluarga dengan anaknya di malam hari. Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri gandum dan mengantarkan kepada keluarga yang membutuhkan.
Hanya saja ini niscaya terwujud jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Di mana aturan dan perundang-undangan semuanya berpijak pada akidah dan syariat Islam saja. Dalam sistem ini lahirnya pejabat amanah dan peduli rakyat akan menjadi sebuah kenyataan. []
Oleh: Nurjannah Sitanggang
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar