TopSwara.com – Berbicara mengnai kasus korupsi di Indonesia seperti tak ada habisnya. Adanya lembaga KPK yang menangani masalah korupsi, sudah menangkapi ribuan koruptor, namun nyatanya belum bisa menyelesaikan tindak pidana korupsi dengan tuntas. Kasus korupsi masih terus terjadi dan jumlah kasusnya pun tetap tinggi.
Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, bahwa KPK sudah mengkap 1600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu sejak 2003 hingga 2023. Dan ada 513 koruptor yang telah tertangkap dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. (sumbar.pikiran-rakyat.com, 10/11/2023)
Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah merilis informasi bahwa nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023 mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022. Pada tahun 2022 sebesar 3,93, tahun ini justru menurun menjadi 3,92. Ini berarti perilaku anti korupsi di negara ini makin turun. (tirto.id, 8/11/2023)
Tingginya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini yang dibuktikan dengan banyaknya koruptor yang ditangkap, telah menggambarkan kepada kita tentang bobroknya kualitas sistem yang dipakai di negara ini. Adanya KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi, nyatanya tak mampu membabat habis permasalahan korupsi.
Maraknya kasus korupsi di negeri ini juga tak terlepas dari fakta mahalnya biaya politik ala sistem demokrasi kapitalisme. Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi pejabat di negara ini harus merogoh kocek yang dalam. Baik itu dari kantong pribadi maupun dari para donatur yang membantu mereka yang pasti ada imbalan yang harus dikembalikan, karena tidak ada makan gratis dalam konsep demokrasi.
Bagaimana tidak mahal, biaya politik untuk menjadi bupati atau wali kota saja bisa mencapai Rp 30 miliar rupiah, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar. Belum lagi jika berbicara tentang mahar politik, yaitu sejumlah uang yang diberikan kepada partai politik agar seseorang dipinang atau dicalonkan dalam pemilihan.
Tingginya biaya politik inilah pada akhirnya menjadi penyebab lahirnya para koruptor. Lantaran para pejabat yang lolos dalam kampanye politik, mereka harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye. Jumlah biaya yang fantastis yang tidak mungkin tertutupi hanya dengan gaji pejabat setiap bulannya.
Selain itu, sistem demokrasi kapitalisme yang jauh dari agama, telah menciptakan para pejabat dan abdi negara yang lemah iman dan takwanya. Akibatnya, muncul pejabat yang serakah dan tamak akan harta. Sehingga, alih-alih menggunakan jabatannya untuk melayani rakyat, namun yang terjadi adalah mereka sibuk menumpuk pundi-pundi harta.
Oleh karena itulah, kejahatan korupsi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Maka selama sistem demokrasi kapitalisme ini yang diterapkan oleh negara, maka pemberantasan kasus korupsi akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam. Harta hasil korupsi dalam Islam termasuk harta ghulul (tidak jelas) yang diharamkan. Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikannya dalam surat An Nisa ayat 29, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar).” (QS. An Nisa: 29).
Oleh karena itulah, Islam memiliki berbagai mekanisme untuk mencegah korupsi. Di antaranya adalah:
Pertama, sistem pemerintahan Islam berdiri berdasarkan aqidah Islam, sehingga para pejabat yang dipilih adalah orang-orang yang bertakwa dan mampu. Sehingga pejabat yang terpilih adalah pejabat yang jujur, amanah dan tidak akan menyelewengkan wewenang kekuasaan karena takut akan hisab dari Allah.
Kedua, pemilihan pejabat dalam Islam sangat mudah, tidak berbelit-belit dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Sehingga para pejabat tidak akan mempunyai beban untuk harus mengembalikan modal besar yang digunakan dalam proses kampanye yang saat ini menjadi penyebab munculnya bibit-bibit korupsi.
Ketiga, sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi. Islam telah menetapkan sanksi berupa takzir bagi para koruptor. Artinya, sanksi bagi koruptor akan ditentukan oleh Khalifah sesuai dengan seberapa besar kerugian negara dan umat akan korupsi yang dilakukan.
Sanksi tersebut bisa berupa penjara, penyitaan terhadap harta, bahkan sampai hukuman mati. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang menyita harta pejabat yang bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan tersebut dikumpulkan di Baitul Mal untuk digunakan bagi kepentingan rakyat.
Dengan mekanisme pencegahan yang ada dalam Islam, maka pintu celah korupsi akan ditutup serapat mungkin. Demikian juga, dengan adanya penerapan sistem pemerintahan yang tegak berdasarkan aqidah Islam, insyaAllah akan menumbuhkan para pejabat yang berakhlak mulia, jujur, amanah dan takut akan Allah.
Inilah kesempurnaan sistem Islam dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, korupsi hanya bisa diselesaikan dengan tuntas lewat penegakan sistem Islam (Khilafah), bukan dalam sistem busuk ala demokrasi kapitalisme seperti saat ini.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Siti Mariyam, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar