Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Palestina dalam Pusaran Politik Internasional


Topswara.com -- Saat ini, wilayah Gaza nyaris luluh lantak. Betapa tidak, hampir sebulan penuh tanah ini dibombardir militer zionis laknatullah atas bantuan penuh Amerika. Tercatat hingga Senin (6-11-2023), hampir 9.900 warga sipil terbunuh menjemput syahid dan 26.000 warga lainnya terluka parah. 

Jumlahnya diduga kuat akan terus bertambah, mengingat masih banyak korban tertimbun di bawah reruntuhan gedung yang nyaris rata dengan tanah. Sementara itu, pada saat yang sama, militer Zionis tidak henti-hentinya menyerang, membasahi tanah Gaza dengan darah harum para syuhada.

Mereka abaikan semua konvesi internasional yang mengatur tentang perang pada masyarakat yang katanya berperadaban. Mereka menggempur Gaza secara brutal tanpa pilih-pilih sasaran. Bahkan pengungsian, rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja pun tanpa ampun mereka hancurkan. 

Wajar jika mayoritas korban adalah warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan. Di antara mereka, ada ratusan tenaga medis, relawan kemanusiaan, dan jurnalis internasional. Saat kecaman dunia datang secara bergelombang, mereka melakukan playing victim untuk menutup segala kebohongan.

Palestina dan Bumi Syam dalam Sejarah Umat Islam

Syam memang sarat dengan sejarah. Tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga Kristen (Eropa) dan Yahudi (Israel). Bagi umat Islam, Syam adalah tanah yang penuh berkah. Syam adalah tempat para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah. 

Ke Syam pula, Rasulullah Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah Ta'ala dari Masjidilharam, untuk selanjutnya dimikrajkan ke Sidratul Muntaha. Bagi umat Kristen, Syam dahulunya bagian dari Imperium Romawi Timur, Byzantium. Sementara itu, bagi umat Yahudi, Syam mereka klaim menjadi tempat suci mereka, yakni lokasi Haikal Sulaiman berada. 

Wilayah yang dahulu disebut Syam, saat ini meliputi Suriah, Palestina, Lebanon, dan Yordania. Negeri-negeri tersebut dikenal sebagai negeri para nabi. Kita tahu mereka adalah manusia-manusia pilihan yang Allah beri wahyu untuk menuntun jalan hidup umat manusia agar senantiasa menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.

Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Para nabi tinggal di Syam. Tidak ada sejengkal pun Kota Baitulmaqdis, kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR At-Tirmidzi).

Rasulullah SAW. memberikan banyak pujian pada negeri Syam. Di antaranya:
طُوبَى لِلشَّامِ فَقُلْنَا لِأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا

“Keberuntungan bagi penduduk Syam,” Kami bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena para malaikat membentangkan sayap-sayapnya kepada mereka (penduduk Syam).” (HR At-Tirmidzi).

Rasulullah SAW. bersabda, “Syam adalah bumi pilihan Allah. Di sana terdapat ciptaan dan hamba pilihan-Nya. Sekelompok umatku akan masuk surga. Mereka tidak akan dihisab dan diazab.”(HR Ath-Thabrani).

Secara geografis, Syam khususnya Suriah adalah daerah yang subur dan memiliki posisi strategis. Suriah adalah negeri yang menjadi jembatan menuju negeri-negeri lain yang berada di delapan penjuru mata angin. Tidak heran, sejak dahulu hingga kini, Suriah sering disebut-sebut dalam pusaran konflik di antara sejumlah bangsa di dunia.

Konflik tersebut tidak hanya terjadi di Suriah. Lebanon, terlebih Palestina, hingga detik ini juga rawan konflik. Hanya saja, saat ini konflik di kawasan tersebut lebih karena adanya sekularisasi dan penjajahan politik yang mengikuti kepentingan Dunia Barat. 

Namun, hal itu tidak mengurangi makna Syam sebagai wilayah yang strategis dan selalu diperebutkan oleh bangsa-bangsa di dunia. Termasuk didalamnya adalah Palestina. 

Al-Quds (Palestina) dalam sejarahnya telah resmi menjadi milik kaum Muslimin. Pembebasan Al-Quds terjadi di masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, setelah peperangan yang berkecamuk selama berbulan-bulan, dan kaum muslim berhasil mengepung Baitulmaqdis sekaligus menekan penduduknya, akhirnya Uskup Yerusalem, Sophronius, menyerahkan kunci Kota Yerusalem kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. secara langsung. 

Mereka bersedia melakukan perjanjian damai dengan kaum muslim. Syaratnya, yang meneken perjanjian damai tersebut haruslah Khalifah Umar ra. sendiri.

Umar pun berangkat ke Al-Quds dan meneken perjanjian tersebut yang dikenal dengan nama Al-Ahdah Al-Umariyyah atau Mitsaq Ailiya. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 20 Rabiulawal 15 H (5 Februari 636 M). Dalam perjanjian tersebut, Khilafah berkewajiban memberikan jaminan kepada kaum Nasrani baik terkait harta, jiwa, dan ibadah mereka. 

Khilafah juga diminta untuk tidak mengizinkan orang-orang Yahudi tinggal bersama kaum Nasrani dan kaum muslim di Yerusalem. Khalifah Umar kemudian menjamin tidak ada satu pun orang Yahudi yang lewat dan bermalam di wilayah tersebut. 

Dengan perjanjian ini, Baitulmaqdis telah resmi dibebaskan oleh kaum muslim, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Syam. Seluruh wilayah0 Syam pun menjadi milik kaum muslim hingga hari akhir. Tanahnya adalah tanah kharajiyah dan status politiknya berada di bawah perlindungan khilafah. 

Palestina dalam Pusaran Perebutan Politik

Perlindungan dan penjagaan Islam terhadap bumi Palestina tidak berubah, walau Daulah Utsmaniyah mulai melemah. Hal ini tebukti dari pernyataan Sultan Abdul Hamid II ketika Theodore Hertzl meminta sejengkal tanah di Palestina, yang ternyata dalam rangka cikal bakal tegaknya negara zionis Yahudi, yaitu Israel. 

Sultan menyampaikan pesan, “Nasihati Mr. Herzl agar ia tidak terlalu serius menanggapi masalah ini. Sesungguhnya, saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah Palestina, sebab ini bukan milik pribadiku, tetapi milik rakyat. Rakyatku telah berjuang untuk memperolehnya dengan siraman darah mereka. Silakan Yahudi menyimpan kekayaan mereka yang miliaran itu. Jika pemerintahanku ini tercabik-cabik, saat itu baru mereka dapat menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, meski tubuhku terpotong-potong, maka itu lebih ringan daripada Palestina terlepas dari pemerintahanku.”

Namun, saat Khilafah Turki Utsmani di ambang keruntuhannya melalui berbagai konspirasi busuk penjajah Barat, diperparah dengan posisinya menjadi pihak yang kalah di perang dunia I bersama Jerman, membuat Inggris memiliki mandat untuk mengelola wilayah dari negara-negara yang kalah dalam perang. 

Salah satunya adalah membagi-bagi wilayah kekuasaan daulah Utsmaniyah. Dan Pemerintahan Inggris saat itu. memiliki kepentingan strategis untuk menjaga Mesir dan Terusan Suez agar tetap dalam lingkup pengaruhnya maka Inggris menggalang dukungan dari kalangan Yahudi. Untuk hubungan timbal balik yang saling menguntungkan ini maka pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, mengeluarkan Deklarasi Balfour. Isi Deklarasi Balfour adalah "Pemerintah Britania Raya melihat dengan simpati pendirian tanah air nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina".

Deklarasi ini ditujukan kepada tokoh Yahudi Inggris, Lord Lionel Walter Rothschild, yang juga merupakan pendukung kuat gerakan Zionisme. Inti dari isi Deklarasi Balfour adalah memberikan dukungan dari Pemerintah Britania Raya terhadap pendirian tanah air nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. 

Deklarasi ini menciptakan dasar hukum dan dukungan politik bagi gerakan Zionis yang berupaya untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina. Deklarasi ini juga ditujukan untuk memenuhi aspirasi nasional Yahudi yang telah lama menginginkan kembali tanah leluhur mereka dan membangun negara mereka sendiri di Palestina.

Dan akhirnya Inggris berhasil menguasai Palestina, pemimpin mereka, Jenderal Allenby, berhasil menguasai Kota Yerusalem pada 11 Desember 1917, mengakhiri kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah di Tanah yang Diberkati yang berlangsung selama empat abad. Inggris memilih untuk menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi yang merupakan implementasi dari Deklarasi Balfour. 

Benar saja, setelah Khilafah runtuh tahun 1924, kekuasaan Yahudi semakin terasa. Upaya implementasi mandat ini sering kali bertentangan dengan aspirasi lokal yang memicu ketegangan dan perlawanan. Konflik semakin memanas ketika pada 1947, PBB mengadopsi Rencana Pembagian Palestina yang bertujuan membagi wilayah menjadi negara Yahudi dan Arab. 

Hingga pada 1948, pendirian negara Israel menyebabkan perang besar di Timur Tengah yang melibatkan negara-negara Arab dan Israel. Israel mendapat dukungan internasional, terutama dari negara-negara Barat, AS dan negara-negara Eropa. Sementara itu, penduduk Palestina menganggapnya sebagai pengusiran besar-besaran dan penghilangan hak-hak mereka atas tanah tersebut.

Merebut Kembali Hak Kaum Muslimin

Sehingga wajar kalau pejuang Hamas melancarkan the Operation Al-Aqsa Flood terhadap penjajah Yahudi pada 7 Oktober lalu. Hal ini sebagai bentuk perlawanan masyarakat Palestina terhadap penjajahan Yahudi yang mereka derita selama berpuluh-puluh tahun. Jutaan orang meninggal, rumah mereka dirampas hingga harus meninggalkan rumahnya sendiri. 

Hamas hanya sebagai simbol saja.
Keadaan mereka sendirian, ditengah-tengah negeri-negeri Arab dan kaum muslimin yang berdiam diri. Karena kondisi mereka sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, Gaza sejak 2007 diblokade dan dikepung oleh Israel, baik udara, laut, maupun darat. Bahkan keran air pun tidak bisa dibuka karena air minum Gaza selama ini dari Israel. 

Karena pengepungan ini, Gaza sering disebut sebagai penjara terbesar di dunia. Bahkan dikabarkan Israel tahu alamat setiap rumah yang ada di Gaza sampai nomor teleponnya sekalipun. Israel bisa membunuh atau menculik mereka kapan saja. 

Rakyat Palestina tidak punya cara lain untuk menyampaikan kepada dunia bahwa mereka butuh pertolongan, kecuali harus menyerang dulu sehingga dunia bereaksi. Maka terjadilah serangan kepada zionis Yahudi Israel melalui pertempuran Badai Al-Aqsha, yang diletuskan oleh para mujahid terkhusus Brigade Izzudin al-Qassam dari wilayah Gaza.

Solusi Islam terhadap Palestina

Israel sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, yang memberikan kekuatan Israel adalah Amerika, NATO, dan sekutunya yang menyuplai senjata, teknologi, dan uang tanpa batas. Negara-negara besar mem-backup-nya. 

Bahkan dari informasi yang didapat menurut Pakar hubungan internasional Dr. Hasbi Aswar, setiap ada senjata baru, Amerika selalu mengirim ke Israel, dan Gaza menjadi bagian uji coba senjata tersebut. Jadi, ini masalah kepentingan politik negara-negara Barat yang sengaja menciptakan instablitas di Timur Tengah dengan menanamkan tubuh asing (Yahudi) di wilayah itu.

Maka, tidak ada solusi lain, kecuali umat Islam bersatu dengan memperkuat diri dengan kekuatan militer yang tangguh, kekuatan ekonomi yang tangguh, yang bisa menandingi kekuatan super power yang ada di belakang Israel. 

Syaratnya, kekuatan umat Islam harus independen seperti di masa lalu pada saat umat Islam menjadi negara independen dan menjadi super power. Dan semua itu hanya bisa diwujudkan dengan tegaknya daulah khilafah yang akan membebaskan Palestina dari penjajahan zionis Israel. Tak hanya Palestina, daulah khilafah pun akan membebaskan negeri negeri Muslim dari cengkeraman negara-negara kafir penjajah.


Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah Jogja) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar