Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Nilai Komersial dalam Transformasi Digital


Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menghentikan proyek Hot Backup Satellite (HBS) yang diperkirakan senilai Rp5,2 triliun. Hal tersebut disampaikan oleh Menkominfo, Budi Arie Setiadi di kantor Kominfo, Jumat (20/10/2023). 

Sebelumnya, tim dari Satuan Tugas (Satgas) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) telah mengkaji secara teknis terkait pengerjaan satelit HBS. Menurutnya, proyek tersebut dinilai tidak memungkinkan untuk dilanjutkan meskipun telah rampung 80 persen. (Tirto.id, 20/10/2023) 

Lebih lanjut, Budi pun tidak keberatan atas penghentian itu. Ia juga tidak mempermasalahkan jika slot orbit administrator Indonesia pada slot 113 derajat Bujur Timur yang awalnya diperuntukan bagi HBS diambil alih oleh negara lain. 

Alasan secara komersial, satelit ini dianggap kurang begitu prospek. Seperti kendala anggaran, fungsinya yang dinilai kurang begitu urgen, karena sebagai kapasitas cadangan dan sebagai cadangan apabila satelit Satria-1 gagal meluncur. 

Sehingga dianggap wajar dan seolah ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena urusan yang terkait dengan teknis, Satgas BAKTI-lah yang lebih mengetahui. 

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan justru mengajak SpaceX untuk membangun jaringan internet murah di timur Indonesia melalui Starlink. 

Dimana Starlink adalah perusahaan milik Elon Musk, pengusaha asal Amerika Serikat sekaligus CEO SpaceX. Menurut Luhut, dalam jangka pendek, Starlink adalah jawaban mengatasi ketersediaan akses internet, khususnya di wilayah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur telekomunikasi daratan. 

Sontak hal ini menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Alih-alih mendukung proyek lokal malah mempersilahkan jaringan dari negara lain untuk masuk ke Indonesia. Meskipun kehadirannya dalam bentuk kerjasama business to business (B2B), akan tetapi tetap saja akan mengancam kedaulatan bangsa terutama bagi operator seluler atau provider yang sudah lebih dulu berbisnis di industri telekomunikasi tanah air. 

Tersandera Ideologi Kapitalisme 

Masuknya jaringan lain yakni Starlink, semakin membuktikan bahwa negeri ini kian tersandera ideologi kapitalisme. Ideologi yang memiliki paradigma dimana orientasi pembangunan infrastruktur adalah aspek bisnis, atau komersial yang menilai sesuatu dari sisi untung dan rugi. 

Maka dari itu ketika pembangunan dinilai tidak menguntungkan, maka dengan mudahnya dibatalkan. Padahal sejatinya pembangunan yang sudah berjalan pasti sudah menelan biaya yang besar, apalagi jika sudah masuk tahap akhir hingga 80 persen. 

Lebih dari itu, hal demikian juga semakin memperlihatkan kepada kita bahwa pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap segala urusan rakyat kurang hati-hati dalam mengelola harta mereka. 

Seharusnya pemerintah lebih teliti lagi, dilakukan terlebih dahulu kajian yang mendalam sebelum proyek mulai dikerjakan. Apalagi di tengah program transformasi digital yang dicanangkan pemerintah. 

Sayangnya pemerintah justru terkesan lebih memilih memberikan peluang kepada jaringan lain dan asing untuk menjalankan proyeknya. 

Dengan begitu semakin tampaklah keberpihakan pemerintah yang lebih condong kepada materi dan keuntungan, dengan mengorbankan kemaslahatan rakyat. 

Dengan kata lain negara berperan sebagai regulator yang memuluskan berbagai kepentingan para tuannya, atau para pemilik modal yang lebih mampu menyediakan infrastruktur dengan harga yang lebih murah. Padahal seharusnya negara lebih mengedepankan proyek lokal dan mengutamakan kepentingan rakyat juga keamanan negara. 

Islam Menjamin Ketersediaan Sarana Telekomunikasi

Jika negara dalam sistem kapitalisme menyediakan sarana infrastruktur dengan pertimbangan komersial atau untung rugi, berbeda halnya dengan negara yang menganut sistem Islam. Negara ini menganggap sarana telekomunikasi adalah hak rakyat yang wajib disediakan oleh negara. 

Dalam pandangan Islam, sarana jaringan telekomunikasi termasuk infrastruktur keras non-fisik yang berkaitan dengan fungsi utilitas umum yang seiring dengan perkembangan zaman jaringan internet tersebut menjadi kebutuhan publik. 

Dengan internet, warga negara dapat dimudahkan dalam mengakses berbagai informasi dan dimudahkan keperluannya. Hanya saja ketersediaan jaringan internet juga berpotensi membawa dharar (bahaya). Yakni dapat mengancam keamanan negara jika negara tidak mempunyai kedaulatan untuk mengaturnya. 

Oleh karena itu, seorang pemimpin dalam pemerintahan Islam harus benar-benar menjalankan perannya sebagai periayah (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) secara optimal termasuk dalam menyediakan jaringan telekomunikasi. 

Sebagaimana sabda Rasul SAW. yang artinya: "imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR.Al-Bukhari).

Dalam hadis lain, yang artinya: "Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng .…" (HR. Bukhari dan Muslim) 

Karena internet sudah menjadi kebutuhan rakyat, maka negara wajib menyediakannya dengan pengerjaan pembangunannya sebaik mungkin. Negara akan merencanakan proyek tersebut secara cermat, dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian atas kelayakan dari berbagai aspek. 

Orientasinya juga berbeda dengan sistem kapitalisme yang didasarkan pada bisnis. Negara Islam lebih berorientasi demi mengutamakan kepentingan rakyat. Negara akan dibantu oleh para ahli telekomunikasi dan jaringan untuk merancang proyek ini agar satelit yang dibuat memiliki kualitas terbaik dengan teknologi tercanggih. 

Dengan begitu, satelit tersebut mampu menyediakan jaringan internet yang dapat menjangkau ke seluruh pelosok atau daerah. 

Selain itu, keberadaan satelit juga dapat dipastikan tetap melindungi negara dan usaha rakyatnya. Karena negara akan secara independen dalam mengendalikan proyek pembuatan satelit. Apalagi jika satelit itu digunakan untuk menjaga keamanan dan kebutuhan rakyat. Maka negara tidak akan membiarkan satelit asing masuk atau mengintervensi wilayah negara Islam. 

Adapun dalam hal berbisnis, negara tidak melarang warga negaranya untuk berbisnis jaringan internet. Hal itu dimaksudkan agar warga negara diberi ruang untuk membantu negara memberi pelayanan publik warganya. 

Demikianlah fungsi negara yang semestinya dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya termasuk sarana telekomunikasi. Rakyat dan penguasa saling memudahkan, saling melindungi, dan saling menjaga kedaulatan negara. Negara tidak pilih-pilih dalam penyediaan sarana tersebut meski hingga ke pelosok. 

Dengan begitu semua warga negara dapat menikmati internet yang saat ini begitu penting untuk mengakses berbagai informasi yang diperlukan. Namun semua itu hanya akan terwujud jika didukung oleh sistem yang shahih (benar) yakni sistem Islam dengan penerapannya secara menyeluruh. 

Wallahu a'lam biash- shawab.


Oleh: Sri Murwati
Pegiat Literasi, Komunitas Rindu Surga
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar