Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konflik Gaza Ketika Kapitalisme Bertemu Nasionalisme


Topswara.com -- Sudah lebih dari tujuh dekade Gaza terluka. Penjajahan Yahudi Israel di tanah Palestina seakan menjadi problem abadi sepanjang usia kapitalisme tegak di muka bumi. Tidak ada tanda-tanda kemerdekaan akan terwujud meski sudah berkali-kali dilakukan mediasi. 

Dalam sejarahnya, terdapat berbagai perjanjian damai Israel dan Palestina yang pernah dibuat. 

Melansir sindonews.com (21-9-2022) Berikut ini sejumlah perjanjian yang pernah dibuat antara Israel dan Palestina:

Pertama, perjanjian Oslo I 1993. Kedua,  KTT Camp David 2000. Ketiga, road map kuartet perdamaian Timur Tengah 2003. Keempat, rencana perdamaian Trump 2020.

Namun, perdamaian itu belum terwujud nyata. Hingga hari ini, pertempuran sengit terus terjadi di berbagai perbatasan Gaza.

Pertanyaannya, mengapa para pemimpin dunia Arab dan penguasa negeri-negeri Muslim tidak mengirimkan militernya untuk membela Palestina, sebagaimana mereka mengirimkan bantuan logistik dan pangan kepada warga Palestina? Bukankah Amerika juga mengirimkan militernya untuk membantu Israel? Bukankah kebutuhan mendesak bagi palestina adalah bantuan militer? 

Mengutip detik.com yang dilansir AFP, Senin (9-10-2023), atas perintah Joe Biden, Pentagon mengirim kapal pembawa pesawat yakni USS Gerald R Ford, berikut pesawat tempur-pesawat tempurnya. AS juga memperkuat skuadron jet tempurnya di kawasan Mediterania timur itu.

Pada 1 November 2023, AS mengirimkan tambahan pasukan militernya sebanyak 300 orang. (cnbcindonesia.com,1-11-2023)

Jawaban pertanyaan di atas dapat dikembalikan kepada dua sebab. Pertama, hegemoni kapitalisme di seluruh dunia di bawah kendali Amerika, dan negara-negara Barat. Para penguasa Arab dan mayoritas negeri-negeri muslim saat ini adalah antek Barat, terutama AS. 

Sedangkan AS sendiri adalah supporter Yahudi Israel. Maka wajar para antek AS akan cenderung membiarkan kebijakan yang diambil tuannya, AS dengan membantu militer Yahudi di Palestina. 

Jikapun mengecam, kecaman itu hanyalah pemanis bibir belaka. Nyatanya, kecaman mereka (negeri-negeri muslim) belum pernah sukses menghentikan kebiadaban Israel. Apalagi, Sebagian mereka, seperti Arab dan Turki, telah lama menjalin hubungan diplomatik dengan negara Zionis itu. 

Para penguasa Arab dan Sebagian besar penguasa di negeri-negeri muslim banyak ‘berguru’ kepada AS soal urusan bernegara. AS mendikte mereka tentang kemajuan perspektif kapitalisme, dan pengaturan hubungan sosial yang liberal. AS menjadi kiblat segalanya, termasuk cara pandang terhadap konflik Palestina. 

Namanya juga antek, bagaimanapun akan ikut tuannya. Mereka seakan lupa bahwa Islam punya segalanya. Mereka juga seolah menutup mata, bahwa Baratlah penyebab kehancuran khilafah mereka, mencerai-beraikan persatuan mereka lalu membisikkan ke telinga mereka sihir nasionalisme.

Kedua, inilah malapetaka dari sikap nasionalisme yang ditanamkan Barat di negeri-negeri muslim pasca kekhilafahan Islam di Turki berhasil mereka bubarkan pada 1924 silam. 

Sikap nasionalisme pula yang menyebabkan mayoritas penguasa di negeri-negeri muslim tidak punya sense of belonging terhadap Tanah Suci ketiga kaum muslim itu. Mereka lebih sibuk dengan urusan negeri mereka sendiri sehingga tidak peduli atas tragedi yang menimpa negeri-negeri muslim lainnya. Kepeduliannya nyaris sekadar pemanis bibir semata. 

Sungguh, dosa nasionalisme ini telah mengantarkan dunia Islam ke dalam perceraian dari status mereka sebagai umatan wahidan (umat yang satu). Mereka tidak lagi merasa bersaudara karena akidah. 

Allah SWT berfirman: “Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara” (TQS al-Hujurat: 10) hari ini, mereka tercerai-berai dalam sekat negara bangsa. Mereka seperti buih di lautan yang diperebutkan oleh orang-orang kafir. Palestina adalah korban penerapan nasionalisme di dunia Islam.

Oleh karenanya, dasar persaudaraan satu akidah itu tidak boleh luntur oleh sekat negara bangsa. Saudara sesame muslim harus saling mencintai, sebagaimana pesan Rasulullah SAW. dalam hadis Riwayat Muslim, “Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai…” karena tali persaudaraan ini pulalah kita tidak boleh mendiamkan Palestina. Wajib bagi kita membelanya dari kezaliman penjajah Yahudi Israel. 

Dalam hal ini, Rasulullah SAW. mengingatkan kepada kita dalam sebuah hadis beliau, “Muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak layak menzalimi dan menyerahkan saudaranya kepada musuh…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

Bentuk pembelaan terbaik untuk Saudara Muslim kita di Palestina adalah jihad. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-baqarah ayat 190, “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian…” Karenanya, serangan umat Islam kepada Israel merupakan perintah Allah SWT. Dan ini berlaku bagi kaum muslim di seluruh penjuru dunia. 

Namun, persoalannya adalah, seruan jihad itu terhalang sekat nasionalisme. Menyeru jihad atau memobilisasi militer dalam naungan nasionalisme itu mustahil. Sehingga, yang kita butuhkan sekarang adalah khilafah. 

Khilafah lah satu-satunya kepemimpinan yang mampu memobilisasi militer di seluruh negeri-negeri Islam yang berada di bawah naungannya. Rasul Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) itu laksana perisai; kaum Muslim berperang di belakang dia dan dilindungi oleh dirinya” (HR. Muslim”

Kebutuhan kaum muslim terhadap khilafah memerlukan upaya serius untuk mewujudkannya, bukan semata janji dari Allah ataupun kabar gembira dari Rasulullah SAW. sehingga, khilafah muncul tiba-tiba. 

Agar janji Allah dan kabar gembira Rasulullah itu terwujud nyata, umat islam di seluruh dunia harus bersungguh-sungguh memperjuangkan dan siap berkorban dalam upaya penegakannya. Wallahua'lam.

Oleh: Pipit Agustin
Sahabat Topswara 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar