Topswara.com -- Momen mencari koalisi menjelang Pilpres sudah menjadi hal lumrah dalam sistem demokrasi. Pasalnya, legalitas kekuasaan dalam sistem tersebut didasarkan pada suara mayoritas. Sebelum menjadi capres maupun cawapres para calon harus memenuhi ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik. Ambang tersebut dibatasi minimum 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi di DPR, di sinilah koalisi partai lahir.
Bagi parpol besar, koalisi bertujuan untuk memenangkan pemilu dan pilpres. Sedangkan bagi parpol kecil, pembentukan koalisi digunakan untuk mencapai ambang batas minimum keterpilihan. Koalisi dalam sistem demokrasi, sejatinya adalah untuk menjaga eksistensi kekuasaan parpol yang berkuasa. Kekuasaan tersebut akan digunakan sebagai penjaga kepentingan parpol tatkala mereka berkuasa.
Makna Kekuasaan dalam Pandangan Islam
Sebagai agama ideologis, Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Paradigma tersebut tergambar jelas dari dalil-dalil tentang siyasiyah (politik).
Rasulullah SAW bersabda,
"Seorang Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kekuasaan digunakan sebagai metode atau tariqah untuk mengurusi kebutuhan umat, bukan untuk kepentingan pribadi. Rasulullah SAW bersabda,
"Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka" (HR. Abu Nuaim).
Bahkan Allah Ta'ala sampai mengancam seorang pemimpin yang tidak melaksanakan amanahnya dengan baik tatkala dia berkuasa. Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna terkait hal tersebut. Dari Imam Fudhail bin Iyadh beliau menuturkan,
"Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi oleh Allah Ta'ala untuk mengurusi urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya, maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariat Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudud (hukum-hukum Allah). Penelantaran juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjamin keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musik Islam dan kaum Muslim dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang sebagai pengkhianat."
Dalil-dalil tersebut sangat jelas bahwa kekuasaan dalam Islam adalah sesuatu yang konsekuensinya sangat besar. Jika dia amanah dalam kepemimpinannya, maka dia akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Sebaliknya jika dia berkhianat bahkan memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi hasrat ambisi pribadinya, partainya atau kelompoknya, maka bukan pahala yang dia dapat, tapi kehinaan dan penyesalan. Hal tersebut telah diingatkan oleh Rasulullah SAW,
"Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada hari kiamat bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian." (HR. Nasai dan Ahmad).
Oleh karena itu, generasi salafush-shalih sangat khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Seandainya dia harus menanggung amanah tersebut, maka dia akan berusaha menunaikannya dengan seoptimal dan sebaik mungkin. Maka tidak heran umat terdahulu bisa merasakan kekuasaan yang sangat mengurus urusan rakyat.
Para pemimpin tersebut sangat berhati-hati agar kekuasaan yang dimiliki tidak sampai digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Di antara kisahnya, adalah Khalifah Umar pernah melarang keluarganya, kerabatnya, karibnya mengambil keuntungan dari jabatannya.
Anaknya Abdullah bin Umar beliau larang berbisnis karena khawatir orang bertransaksi dengan dia bukan karena sosok Abdullah sebagai pribadi, tetapi karena dia anak Khalifah Umar. Makna kekuasaan seperti inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum Muslim. Sehingga mereka tidak terjebak pada praktik politik pragmatis demokrasi.
Kaum Muslim seharusnya memiliki agenda tersendiri, yakni menghadirkan kekuasaan sebagaimana yang diperintahkan dalam syariat Islam, yakni khilafah islamiah.
Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar