Topswara.com -- Kehebohan kembali menyeruak dunia hukum dan politik di tanah air. Menyusul aduan berbagai elemen masyarakat terkait dengan dugaan pelanggaran etik oleh hakim MK dalam penerbitan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang Syarat Menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pro kontra pasti terjadi mengingat hal ini bukan sebuah kelaziman di mana semua hakim MK dilaporkan oleh masyarakat, bahkan menurut Jimly Ashidiqqi sepanjang sejarah baru kali ini ada kejadian seluruh hakim MK dilaporkan oleh masyarakat karena dugaan pelanggaran kode etik. Masyarakat menuntut agar MKMK yang dibentuk tidak hanya mengadili soal pelanggaran kode etik, namun sekaligus membatalkan Putusan MK No. 90 2023 tersebut. Padahal dari sisi HTN Konvensional, maka pembatalan putusan MK itu tidak bisa dilakukan mengingat sifat putusan MK itu final and binding. Jadi, secara normatif positivistik adalah mustahil membatalkan putusan MK karena pada prinsipnya putusan hakim hanya dapat dibatalkan oleh peradilan yang lebih tinggi atau oleh majelis hakim lain yang berbeda, misalnya untuk kasus kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Sementara itu, tidak ada lembaga peradilan lain di atas MK dan tidak ada pula majelis hakim lain karena di MK hanya ada 9 hakim. Mestinya agar putusan M juga bisa dikoreksi dalam keadaan tertentu, haruz ada 9 hakim lain di MK. Jadi minimal di MK ada 18 hakim.
Namun, kali ini ketika keduanya tidak ada, maka harus ada langkah progresif yakni dengan melakukan terobosan dengan cara memberikan kewenangan kepada MKMK untuk memeriksa pelanggaran kode etik hakim-hakim MK terkait dan jika terbukti maka MKMK sekaligus berwenang membatalkan putusan MK yang cacat hukum.
Bolehkah, mungkinkah dari sisi ilmu hukum, apakah itu konstitusional? Untuk itu artikel panjang kali lebar ini diniatkan sebagai sarana edukasi tentang jalur "extraordinary tersebut" yakni penegakan hukum progresif oleh MKMK untuk memulihkan marwah MK yang sudah terpuruk akibat pelanggaran kode etik oleh hakim-hakim MK dalam mengadili perkara a quo. Pada dasarnya saya menganggap ketua dan anggota MKMK adalah hakim tertinggi yang akan memutus tentang pelanggaran etik dan pembatalan putusan MK yang cacat hukum. Para hakim ini harus berani melalukan terobosan hukum yang kemudian harus ditindak lanjuti oleh DPR dan KPU untuk tetap menerapkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden sesuai dengan UU Pemilu 2017 Pasal 169 huruf q, terkait dengan batas usianya.
Tujuan penegakan hukum akan kandas jika peradilan termasuk di dalamnya MKMK c.q. khususnyan para "hakimnya" tidak progresif. Perbincangan ini dilakukan tetap dalam bingkai pencarian keadialan di berbagai ruang (justice in many rooms) yang digawangi oleh hakim. Keadilan sebagai salah satu nilai dasar hukum sulit diwujudkan kecuali oleh hakim progresif.
Seorang hakim progresif sebagai pengambil keputusan hukum harus mampu dan berani meramu dan menggunakan pendekatan extra ordinary, misalnya pendekatan legal pluralisme demi menghadirkan keadilan substantif.
Sangat diharapkan setelah membaca artikel ini para hakim MKMK mampu memahami betapa hakim mereka itu harus berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa dan memutus perkara karena di tangannyalah ide hukum berupa keadilan, kepastian dan kemanfaatan itu diwujudkan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hakim MKMK tidak seharusnya hanya menyelesaikan perkara secara text book UU (la bouce de la loi) melainkan harus berani bertindak progresif dengan tindakan beyond of text atau out of the box melalui rule breaking atau breakthrough of the rule atau secara prinsip dikatakan not rule boundedness.
Ditinjau dari perkembangan hukum modern di dunia, legal positivism mencapai masa kejayaannya pada abad 19, yakni dengan munculnya tradisi baru dalam berhukum yang menghendaki kehidupan hukum itu harus dimurnikan dari pengaruh anasir-anasir lainnya, misalnya moral dan agama. Tradisi ini kita kenal dengan upaya pemurnian teori hukum (The Pure of Law Theory) atau Reine Rechtslehre yang dipandegani oleh Hans Kelsen sebagai penerus dari penggagas Law as a command bernama John Austin. Intinya teori ini menegaskan bahwa hukum harus dimurnikan dari anasir lainnya termasuk moral, bahkan dikatakan the moral must be separated from the law. Jadi yang penting adalah kepastian hukum yang dirinci dalam 3 ranah yaitu lex scripta (tertulis), lex certa (jelas, tidak ambigu) dan lex stricta (ketat, prosedural baku). Inilah prinsip aliran positivisme hukum yang cenderung menjauhkan keadilan substantif dari hukum.
Sejak hukum modern lahir, dunia hukum mengalami perubahan yang cukup dramatis terhadap pencarian kebenaran dan keadilan. Akibat perubahan dramatis pada abad ke-18 dapat dirasakan hingga sekarang ini. Pengadilan telah berubah menjadi institusi publik yang sarat dengan birokrasi, prosedur-prosedur, formalitas dan sebagainya. Untuk bisa berhasil dalam urusan hukum, orang harus ahli menguasai peraturan hukum dan pandai-pandai ‘mempermainkan’ prosedur. Satjipto Rahardjo (2004) menyebut keadaan tersebut sebagai sebuah tragedi hukum modern. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa menjalankan peraturan hukum hampir sinonim dengan menegakkan hukum.
Aspek keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan legal positivism mengalami marginalisasi besar-besaran. Pengadilan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan sebenar keadilan, melainkan untuk mencari sang pemenang (the winner). Pizzi mengatakan: “...we have developed a criminal trial system that is entertaining and that places tremendous emphasis on wining and losing, but the system badly underemphasizes truth”, sehingga muncullah fenomena yang oleh Willian T. Pizzi (1999) disebut trial without truth.
Sebagai mana saya tegaskan pada artikel sebelumnya, kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan keadilan. Jadi dapat dikatakan bahwa menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi yang disebut dengan keadilan komprehensif.
Saya mencoba melacak gerangan jenis keadilan apa yang dapat disejajarkan dengan keadilan komprehensif. Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perfect justice (Werner Menski, 2006). Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendekatan filosofis—hasilnya adalah keadilan ideal, normatif positivis—hasilnya adalah keadilan formal dan socio-legal—hasilnya adalah keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan legal pluralism.
Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perpect justice yang dapat disetarakan dengan keadilan komprehensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memerhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum seorang hakim memutus kebijakan tertentu. Kompleksitas itu berupa state law (hukum negara), living law (sosio-legal) serta natural law (moral, ethics dan religion).
Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories).
Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut. Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.
Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.
Menjadi Hakim MKMK Progresif Untuk Menghadirkan Keadilan Substantif sangat urgen.
Sebagai sebuah sistem yang lebih luas dan hidup, masyarakat terdiri atas berbagai subsistem yakni subsistem budaya, sosial, politik dan ekonomi. Dalam Teori Sibernetika Talcott Parsons disebutkan bahwa fungsi primer subsistem sosial dalam masyarakat yang lebih luas adalah melakukan integrasi berbagai kepentingan yang beragam, plural bahkan saling berseberangan sehingga seringkali membentuk friksi dalam intaraksi sosial. Dalam sistem sosial yang luas, hukum berada dalam area sub sistem sosial sehingga fungsi utama hukum juga sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam praktik penegakan hukum, pengadilan di Indonesia menjalankan fungsi integrasi yang diwakili oleh hakim, sehingga hakim memikul tanggung jawab untuk menghadirkan keadilan (bringing justice to the people) dan kebenaran (searching for the truth) dalam rangka menciptakan integrasi sosial bukan sebaliknya menciptakan disintegrasi sosial.
Harry C Brademeier yang mengadopsi teori Sibernetika Talcott Parsons menempatkan subsistem sosial sebagai posisi sentral dalam penggunaan hukum sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam dunia hukum, hakim dipercaya sebagai sosok yang mampu mengintegrasikan berbagai macam kepentingan, perbedaan dan friksi-friksinya melalui konversi yang dibekali dengan input berupa fungsi adaptif sistem dari subsistem ekonomi, fungsi mengejar tujuan dari sub sistem politik dan fungsi mempertahankan pola dari subsistem budaya. Setelah melakukan proses konversi di lembaga pengadilan, putusan yang dihasilkan hakim diharapkan memenuhi unsur-unsur efisiensi, legitimasi dan keadilan.
Pada sistem hukum Common Law, hakim dapat menciptakan hukum, hukum baru, yang dikenal dengan prinsip “Judge Made Law”, sehingga hakim benar-benar bersifat independen, tidak terbelenggu dengan peraturan perundang-undangan belaka (la bouche de la loi) dan bebas untuk memperhatikan atau tidak terhadap faktor-faktor yang mengarah kepadanya. Dalam proses mengadili suatu perkara, faktor-faktor yang berada di luar pengadilan termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups) misalnya Pers, LSM dan lainnya, dapat ditempatkan dalam kedudukan sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae).
Untuk apa pengadilan punya sahabat? Fungsi utama sahabat pengadilan adalah memberikan masukan-masukan baik diminta / tidak dalam rangka memutuskan suatu perkara, namun masukan itu tidak bersifat mendikte melainkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan karena putusan terakhir tetap berada pada otoritas hakim–hakim dalam pengadilan itu. Meminjam istilah Niklas Luhmann maka sistem pengadilan tersebut sebenarnya bersifat AUTOPOIETIC.
Sebagai sistem autopoietic, pengadilan memiliki beberapa karakter yaitu:
1. Pengadilan menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri (self-producing).
2. Pengadilan mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara, yaitu dengan cara mengorganisasikan batas-batasnya sendiri dan mengorganisasikan struktur internalnya sendiri
3. Pengadilan menentukan referensi sendiri (self-referential) sebagai rujukan untuk menghargai dirinya sendiri. Pengadilan memiliki cara kerja yang didasarkan pada kultur tersendiri yang mencerminkan karakteristik corps.
4. Pengadilan merupakan sistem tertutup, yang berarti bahwa tidak ada hubungan langsung antara pengadilan dengan lingkungannya, termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups), misalnya LSM, Pers dan lembaga-lembaga lain baik lembaga kenegaraan/pemerintah maupun swasta.
Keempat karakter pengadilan yang di dasarkan pada sistem autopoetik itulah yang sebenarnya menginspirasi dan menguatkan dalil kemandirian pengadilan dan kebebasan hakim untuk tidak dipengaruhi oleh intervensi faktor penekan dari luar. Bahan masukan, lingkungan setempat tetap penting, namun otoritas tetap berada di tangannya sehingga tidak tepat apabila hakim dalam memutuskan perkara terpasung oleh “Trial by the Press” atau bahkan “Trial by The Rule“ namun “without the truth“. Sudah semestinya hakim-hakim di Indonesia, termasuk hakim MKMK memanfaatkan “kekuasaan kehakiman” itu dengan cara-cara yang progresif, khususnya dalam menangani perkara yang bersifat extraordinary.
Sejak diduga adanya pelanggaran kode etik oleh hakim-hakim MK, maka sebenarnya perkara ini bukan perkara biasa melainkan sebagai perkara yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga juga membutuhkan tindakan yang luar biasa yang boleh jadi merupakan rule breaking, tindakan melanggar hukum normatif demi pengutamaan pencapaian keadilan substantif.
Menurut penulis ada dua hal yang menyebabkan kesulitan perwujudan nilai keadilan substantif yaitu soal kultur hukum aparat penegak hukum hakim dan kepemimpinannya. Dua hal ini menjadi bahan bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Ada contoh kasus bagaimana hakim itu bisa melakukan rule breaking dengan tindakan progresif. Untuk putusan MA atas kasus Hindratno dan Zen Umar jelas sangat kental dipengaruhi oleh faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi MA yang menangani perkara ini. Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa masih ada hakim MA yang “hidup” hati nuraninya setelah beberapa tahun lalu ada hakim MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan yang berada dalam status buronan.
Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya (legal reasoning) sebelum menjatuhkan putusannya. Hakim yang tidak responsif terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami conflict of interest bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, apakah itu campur tangan kekuasaan atau pengaruh keuangan. Sebaliknya bagi hakim seperti Artidjo, tentu telah memiliki kultur hukum yang responsif bahkan memiliki jiwa pejuang (vigilante) dan keberanian (braveness) sehingga putusannya berkarakter progresif.
Menurut penulis, kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak hakim yang merasa masa bodoh dengan kreatifitas dalam memutus perkara, apalagi berwatak progresif karena adanya kekhawatiran bahkan ketakutan akan diperiksa oleh MA dan Komisi Yudisial (KY) karena dianggap tidak mampu menerapkan hukum bila membuat lompatan putusan yang lain dari biasanya. Jadi watak positivistiknya lebih mendominasi kultur hukumnya karena yang dipentingkan bukan bagaimana menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) melainkan mulusnya karir dan yang penting “selamat”.
Dalam hal ini perlu didorong terus semangat agar hakim-hakim termasuk hakim MKMK mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam menangani suatu perkara yang bersifat extra ordinary case seperti pelanggaran kode etik ini.
Seorang hakim progresif harus lebih mengutamakan pencarian keadilan substantif dibandingkan pencarian keadilan formal-prosedural. Para hakim tidak boleh hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) dan terkungkung dalam tradisi konvensional yang menghambat kreatifitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan dari pada kepastian hukum seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav Radbruch? Bahkan, terkait dengan adanya kemungkinan pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan Radbruch memegang prinsip yang pada intinya menyatakan bahwa:
"Where statutory law is incompatible with justice requairement, statutory law must be disregarded by a jugde...." Prinsip demikian sangat progresif karena mengajarkan kepada hakim agar tidak berlaku rule bounded, melainkan breakthrough atau pun melakukan rule breaking (terobosan hukum).
Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi, tampaknya tidak cukup bagi hakim seperti Artidjo bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim untuk bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara korupsi.
Pada akhirnya perlu ditegaskan bahwa Positivisme Hukum tidak mampu menyelesaikan seluruh kasus hukum hingga diperoleh kehadiran keadilan di tengah masyarakat. Untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum masyarakat atau negara membutuhkan suatu sistem peradilan. Ilmu hukum berkembang, demikian pula metode pencarian keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan tersebut juga mengalami perkembangan.
Hukum modern bukanlah hukum yang jatuh dari langit. Ia tumbuh berkembang berseiring dengan perkembangan struktur sosial di mana hukum itu ada. Cicero mengatakan Ius societas ibi ius. Semula hukum manusia hanya didasarkan atas tradisi baik lokal masyarakat atau komunitas agama, hingga terbentuklah hukum alam (natural law). Setelah revolusi industri melanda dunia, para pemilik modal berusaha untuk menyelamatkan aset dan keberlangsungan usahanya dengan cara menyediakan hukum yang pasti. Maka muncullah hukum modern itu.
Hukum modern yang serba pasti, mekanistik dan deterministik membutuhkan hakim-hakim yang memiliki karakter untuk menyelamatkan kepentingan para kapitalis itu. Maka hakim cukuplah berfungsi sebagai corong UU (la bouche de la loi).
Dalam perkembangannya ternyata positivisme hukum tidak lagi mampu memenuhi access to justice, terutama pasca 1912 sejak hakim agung Amerika bernama Roscoe Pound mengintrusi dalil law as a tool of social engineering. Maka sejak itu hakim harus progresif. Beranikah "hakim" MKMK melakukan terobosan hukum atau rule breaking dengan membatalkan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 selain mengadili hakim-hakim MK yang diduga melakukan pelanggaran etik? Jika terbukti sebagian besar hakim MK melakukan pelanggaran kode etik, beranikah MKMK memberhentikan semua hakim MK sehingga 9 hakim direshuffle? Rakyat menunggu gebrakan progresif "hakim" MKMK. Tabik![]
Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
(Pakar Hukum, Masyarakat, dan Dosen MK Hukum Progresif FH Undip)
Semarang, Jumat Keramat: 3 November 2023
0 Komentar