Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Isu Radikalisme Lagu Lama Menghambat Kebangkitan Islam


Topswara.com -- Isu terorisme dan radikalisme kembali dinyanyikan, ditengah euforia pemilu 2024 dan konflik Palestina. Isu ini kembali mencuat setelah penangkapan 59 orang tersangka pelaku teroris. 

Seperti dilansir (Metrotvnews.com, 31-10-2023) menyebutkan bahwa Densus 88 selama Oktober 2023 telah menangkap 59 pelaku terorisme dan radikalisme yang berasal dari Jemaah Islamiah, Jemaah Ansarut Daulah dan Jemaah Anshor Daulah yang tidak terstruktur.  

Pelaku diduga menyebarkan materi radikal, baik dengan sosial media maupun dengan latihan fisik. Salah satu tersangka tertangkap di Sumbar. Terhubung dengan adanya penangkapan tersangka di Sumbar, Polda Sumbar dan jajarannya mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mencegah masuknya paham radikalisme dan terorisme. 

Dikutip dari (Tribratanews.2-11-23) Kabid Humas Polda Sumbar Dwi Sulistyawan menyampaikan sosialisasi bertujuan agar masyarakat dan pemuda memahami dan terhindar dari paham terorisme, radikalisme dan paham intoleransi.

Radikalisme Adalah Lagu Lama

Radikalisme dan terorisme adalah lagu lama yang dipaksakan eksis kembali dengan anggapan isu ini penghancur pemersatu bangsa tapi anehnya kasus ini tak pernah selesai. 

Isu ini masif diopinikan tidak hanya di kalangan intelektual kampus tetapi sudah menyasar dikalangan masyarakat. Perang melawan terorisme terus dinarasikan dan digulirkan ditengah ketidaktahuan dan tidak adanya kejelasan pada masyarakat secara pasti siapa dan apa kriteria radikal dan terorisme. 

Sebab ketika adanya ajakan melawan radikal, para penegak hukum hanya memberikan data dan bukti yang sangat minim pada masyarakat terkait narasi radikalisme itu sendiri.

Terlebih lagi terkadang penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang masih berstatus terduga teroris. Sehingga jadi pertanyaan besar apakah kasus terorisme ini benar adanya atau sengaja dihadirkan ditengah umat.

Penangkapan teroris menjelang pemilu selalu jadi rutinitas penguasa negeri ini. Alasannya untuk pengamanan preventif pemilu. Fakta ini sebenarnya menguatkan program deradikalisasi dan moderasi beragama. 

Pasca disahkannya PP No. 58 tahun 2013 tentang deradikalisasi dan moderasi beragama. Deradikalisasi adalah usaha melawan radikalisme, sedangkan moderasi beragama adalah pemahaman islam model dan ala barat. Umat harus sadar bahwa isu radikalisme dan moderasi beragama adalah program yang dibidani oleh Amerika dengan settingan secara global.

Isu radikalisme yang selalu menjurus pada simbol Islam sebelumnya belum pernah mencuat ke publik. Istilah ini masif setelah pidato pertama Donal J. Trump tanggal 28 Februari 2017 dalam sidang kongres yang mengucapkan Islam radikal. 

Padahal dua presiden sebelumnya menggunakan ungkapan "perang melawan teroris" atau "war on terrorism". Secara resmi presiden George Bush menggunakan ungkapan "perang melawan teroris" pada tanggal 20 September 2001. 

Saat berpidato dalam kongres sesaat setelah serangan terhadap WTC New York pada tanggal 11 September.Tahun 2011 presiden Obama mengumumkan bahwa Amerika Serikat tak lagi "perang melawan teroris" namun ekspresi politiknya masih menggunakan tema tersebut. 

Perubahan yang dilakukan oleh Trump ini membawa pada perubahan dukungan kebijakan luar negeri AS kepada negara yang sejalan dengan hegemoninya di dunia ini termasuk negeri kaum muslimin.

Isu radikalisme bertujuan menghambat kebangkitan Islam dari perjalanan kasus radikalisme dan terorisme selama ini, pemerintah lebih menarasikan radikalisme kepada pengusung dan syariat islam kaffah, yaitu penerapan syariat Islam di semua lini kehidupan, baik individu, masyarakat maupun negara. 

Kocaknya radikalisme mencuat kembali disaat umat mulai tak percaya lagi dengan penguasa, apalagi setiap kebijakan yang ada bukan mensejahterakan tapi lebih kepada kesengsaraan. 

Umat mulai sadar bahwa sistem kapitalisme yang mengatur negeri hari ini tak bisa diharapkan. Hingga umat mencari solusi alternatif yaitu penerapan Islam di lini kehidupan. 

Inilah yang ditakutkan Barat, Islam akan bangkit kembali. Untuk itu kesadaran umat untuk menerapkan Islam kaffah perlu diredam kembali melalui penguasa boneka barat di negeri muslim. Keinginan umat ini diredam dengan opini bahwa penerapan syariat islam kaffah adalah radikal, terorisme dan intoleransi, harus dimusuhi dan musuh terbesar negri ini. 

Monstrenisasi terhadap Islam dijadikan senjata penguasa menghadapi kenyataan ketidak percayaan umat di pemilu 2024. Umat yang mulai jenuh dengan janji janji saat pemilu. Janji tidak ditunaikan saat berkuasa ditambah lagi ketika kebijakan yang tak pro rakyat, tentu membuat umat tak peduli lagi dengan pemilu 2024 nanti. Sehingga penguasa negeri ini berusaha mengembalikan kepercayaan umat dengan cara menakuti umat akan ajaran islam.

Dilain sisi konflik Palestina yang tak kunjung selesai, menambah ketidakpercayaan umat terhadap sistem kapitalisme yang memimpin dunia dan negeri-negeri Muslim hari ini. Umat melihat dan menilai sistem yang ada tidak mampu menyelesaikan konflik Palestina Israel. 

Bahkan negeri ini dan negeri muslim lainnya dibelahan dunia tak mampu melindungi saudara sesama muslim di Palestina akibat adanya sekat sekat negara dalam sistem kapitalisme. 

Kondisi kaum muslimin Palestina yang teraniaya didzalimi banyak berseliweran di media sosial. Tak hanya tentara yang luka luka banyak wanita bahkan anak kecil yang jadi korban kebiadaban Israel. 

Kondisi ini membuat publik semakin lirih dan pilu ditambah kenyataan penguasa negeri muslim membisu tak melakukan apa-apa paling jauh hanya melakukan kecaman, yang dinilai publik bukan solusi yang dibutuhkan Palestina. 

Melek dan sadarnya umat akan konflik Palestina juga jadi ketakutan tersendiri rezim kapitalisme. Bobrok dan rusaknya sistem kapitalisme yang tak bisa menciptakan kedamaian dunia mulai tampak, hingga perlu adanya penyerangan terhadap ajaran Islam untuk menutupi kebusukan sistem kapitalisme. 

Sehingga euforia pemilu 2024 dan konflik Palestina dijadikan momen menakuti umat dengan isu terorisme dan radikal dengan menghadirkan kasus baru. 

Kebutuhan umat akan Islam kaffah
Amerika sebagai negara yang mengemban ideologi kapitalisme sadar betul akan potensi dan kekuatan kaum muslimin, hingga berusaha melenyapkan kekuatan tersebut. 

Bagi mereka sangat berbahaya jika kaum muslimin sadar akan persatuan umat di bawah kepemimpinan Islam. Jika kesatuan ini terwujud maka dominasi imperium kapitalisme akan hilang. Sehingga Amerika membuat kebijakan yang mengaburkan pemahaman umat akan ajaran islam.

Berbagai ajaran Islam yang dianggap barat berbahaya bagi hegemoninya maka akan dikaburkan. Sekelompok kecil kaum muslimin yang berjuang menerapkan Islam kaffah dicap radikal, terorisme dan intoleran. 

Padahal Islam kaffah adalah perintah Allah sebagaimana yang diperintahkan dalam surat Al Baqarah 208: "wahai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan musuh nyata bagimu". 

Konsekuensi Islam kaffah adalah menerapkan islam secara keseluruhan sebagai sebuah sistem kehidupan yang mengatur urusan manusia dari perkara individu, masyarakat, hingga negara. Semua itu menuntut penegakan khilafah. 

Adanya khilafah membuat kaum muslimin bersatu dibawah komando oleh Khalifah sebagai pelaksana kebijakan semua urusan dalam negri, layanan publik, hubungan luar negeri, industri, serta militer dibawah komando khalifah.

Pelaksanaannya dibantu muawin dan sekretariat negara. Hal ini dilakukan dengan kecepatan dan ketepatan kebijakan, tidak ada intervensi pihak lain apalagi swasta dan asing. 

Khalifah sebagai pelaksana kebijakan akan dimintai tanggung jawabnya dihadapan SWT. Ini hanya bisa dilakukan dibawah kepemimpinan islam. Hingga syariat islam dalam naungan khilafah mampu menciptakan kecerdasan bangsa, menjamin keadilan sosial hingga menciptakan kesejahteraan. 

Wallahu alam.


Sri Mulyani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar