Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islam Kaffah Solusi Problematika Perempuan


Topswara.com -- Dilansir dari tirto.id - Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2023 (16 Days of Activism against Gender-Based Violence 2023) akan berlangsung mulai 25 November sampai 10 Desember 2023.

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 2023 merupakan sebuah kampanye yang diselenggarakan selama 16 hari. Gerakan HAKTP bertujuan untuk mencegah dan menghapus kekerasan terhadap anak-anak perempuan maupun perempuan dewasa.

Alasan dibuat selama 16 hari adalah karena kampanye dimulai sejak 25 November (HAKTP Internasional) dan berakhir pada 10 Desember (Hari HAM Internasional), rentang waktu yang menghubungkan secara simbolis antara kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan HAM. Ini karena KtP dianggap bagian dari pelanggaran HAM.

Namun demikian, sudah puluhan tahun kampanye ini digaungkan, tetapi permasalahan KtP malah makin tidak terkendali. Bahkan, setelah pemberlakuan UU TP-KS, kekerasan terhadap perempuan juga makin marak. Oleh karenanya, kampanye ini bagaikan kampanye kosong yang tidak pernah bisa menghapus permasalahan perempuan.

Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan) terjadi makin ekstrem. Namun, pengaduan kasus femisida ke lembaga layanan maupun ke Komnas Perempuan nyaris tidak ada.

Kasus femisida pasangan intim sebagai eskalasi KDRT yang berujung pada pembunuhan, baik oleh suami maupun mantan suami korban. Bentuk penganiayaannya beragam, antara lain dicekik, ditindih, dipukul, dibekap, ditendang, dibacok, dimutilasi, dibanting, dibakar, dsb.

Para pegiat kesetaraan gender pun menyimpulkan bahwa fenomena ini lahir dari gagasan kepemilikan laki-laki terhadap perempuan. Perempuan hanya dianggap properti sehingga mudah dirusak jika bosan atau cemburu. Budaya patriarki yang mengungkung masyarakat harus dihilangkan dengan ditancapkannya ide kesetaraan. Namun, mereka lupa fakta lainnya bahwa kekerasan pun bisa terjadi di luar rumah.

Ide kesetaraan gender memaksa perempuan untuk keluar rumah agar bisa disebut “pahlawan keluarga”. Bersama-sama laki-laki, mereka bekerja dan berkiprah di ranah publik agar derajatnya sama, yakni sama-sama bebas menentukan nasibnya sendiri. Oleh karenanya, untuk menghilangkan diskriminasi yang marak terjadi, perempuan didorong untuk berdaya dan memimpin.

Sayangnya, ide kesetaraan yang mereka perjuangkan malah membawa perempuan pada kemalangan yang makin nyata. Lihat saja nasib para pekerja perempuan yang dianggap sebagai pahlawan keluarga, sudahlah memikul beban ganda (menjadi pengasuh dan pengatur rumah, serta pencari nafkah), mereka harus berhadapan pada realitas kekerasan di dunia kerja. Sungguh malang perempuan kini, semua tempat seolah tidak aman lagi. Dalam rumah dianiaya, begitu pun di tempat kerja.

Persoalan ide kesetaraan tidak terhenti pada diri perempuan yang tidak aman di semua tempat, melainkan juga berlanjut pada nasib anak-anaknya. Maraknya kekerasan terhadap anak, terutama anak perempuan, makin memprihatinkan saja. Kasus pemerkosaan dan sodomi anak, perundungan, dan sebagainya, salah satunya diakibatkan oleh abainya orang tua dalam proses pengasuhan.

Seperti halnya perempuan dewasa, anak perempuan pun rentan mengalami kekerasan di luar maupun dalam rumah. Di sekolah yang seharusnya menjadi tempat terbaik dalam menimba ilmu, hari ini malah menjadi tempat terenggut nya nyawa akibat kasus perundungan. Begitu pun laki-laki, mereka tidak luput dari penganiayaan manusia-manusia biadab. Lihatlah kasus anak membunuh ayahnya, ibu mencabuli anaknya, anak dibunuh temannya, dan sebagainya.

Ide kesetaraan gender dan HAM sendiri sejatinya lahir dari pandangan hidup Barat yang serba liberal. Liberalisasi yang lahir dari paham sekuler lah akar persoalan maraknya kekerasan terhadap perempuan. 

Oleh sebab itu, memperjuangkan UU TP-KS yang dianggap mampu menghukum pelaku kekerasan adalah perbuatan sia-sia ketika sistem demokrasi yang menjamin liberalisasi di negeri ini masih diterapkan.

Islam memiliki sudut pandang khas terhadap perempuan, yaitu perempuan adalah makhluk yang harus dilindungi. Kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar dalam ketakwaannya.

Ketika Allah menetapkan kewajiban nafkah pada para laki-laki dan kewajiban ummun warabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) bagi perempuan, sungguh hal itu bukanlah untuk mengerdilkan yang satu dan meninggikan yang lain. Semua itu diatur semata karena Sang Pencipta manusia lebih mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.

Itulah sudut pandang Islam terhadap perempuan. Perempuan adalah mitra laki-laki, baik dalam kehidupan domestik maupun publik.

Selain itu, Islam juga memiliki konsep bahwa negara lah yang menjamin terlindunginya perempuan dari segala macam bahaya, termasuk kekerasan. Kalau sistem demokrasi menjamin kebebasan perempuan, sedangkan Islam menjamin perlindungan bagi perempuan.

Islam dengan kekuatan kepemimpinan dan sistemnya akan menjamin perempuan terlindungi dari kekerasan. Pertama, negara akan menjamin media steril dari tayangan yang berbau pornografi dan kekerasan.

Kedua, jaminan sistem ekonomi. Dalam masyarakat Islam, salah satu ciri masyarakat sudah sejahtera adalah ketika perempuannya sudah tidak ada minat bekerja, kecuali untuk mengamalkan ilmunya.

Ketiga, negara akan memberi sanksi yang sangat menjerakan bagi pelaku kekerasan. Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Jika sanksinya menjerakan, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.

Inilah konsep Islam dalam melindungi perempuan yang tidak akan pernah bisa didapatkan dalam sistem kehidupan sekuler liberal hari ini. Hanya saja, konsep Islam tidak mungkin bisa diterapkan sempurna jika sistemnya masih batil, yaitu demokrasi kapitalisme.

Walhasil, urgen untuk membuang sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam agar perempuan dan umat manusia seluruhnya hidup dalam masyarakat yang aman dan sejahtera.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar