Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Pemberantasan Korupsi di Sistem Demokrasi


Topswara.com -- Pada tanggal 1 Januari dan 6 Oktober 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 85 kasus tindak pidana korupsi. Jumlah kasus korupsi terbanyak berupa penyuapan atau gratifikasi, dengan 44 kasus, yang merupakan 51,76 persen dari kasus korupsi yang ditangani KPK sampai akhir bulan lalu. 

Korupsi pengadaan barang dan jasa adalah kasus lain yang banyak ditangani KPK dari Januari hingga Oktober 2023, dengan 32 kasus. Selanjutnya, ada 6 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), 2 kasus perintangan proses penyidikan, dan 1 kasus pungutan atau pemerasan. Namun, sampai Oktober 2023, belum ada kasus korupsi perizinan dan penyalahgunaan anggaran yang ditangani KPK. (databoks.katadata.co.id, 08/11/2023).

Menurut Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, KPK telah menangkap 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2003 hingga 2023. Di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh, Firli Bahuri membuat pernyataan itu selama roadshow Bus KPK dan Road to Hakordia 2023. (antaranews, 09/11/2023).

Cukup miris memang melihat banyaknya koruptor yang ditangkap. Hal ini menunjukkan bahwa betapa buruknya sistem yang diterapkan oleh negara ini. Bahkan dengan menciptakan lembaga anti korupsi, tidak juga mampu untuk mencegah dan memberantas korupsi di negara ini. 

Bahkan dalam sistem ini, korupsi menjadi kebiasaan. Ini adalah konsekuensi dari penerapan struktur politik yang berbasis pada demokrasi kapitalisme sekuler. Selain itu, sistem demokrasi yang berbiaya mahal sarat akan kepentingan para oligarki.

Sistem demokrasi berfokus pada pengambilan kekuasaan. Rakyat mengurus pejabat, bukan pejabat mengurus rakyat. Pejabat dalam pemerintahan demokrasi dapat memperkaya diri dan mendapatkan banyak fasilitas. 

Akibatnya, para pejabat akan berusaha mendapatkan suara rakyat dengan menghabiskan banyak uang, yang pasti tidak akan hanya berasal dari kantong pribadi mereka sendiri. Dengan demikian, para pemilik modal memiliki peluang yang luar biasa untuk berpartisipasi. 

Kekuasaan tidak digunakan untuk mengurus rakyat, tetapi untuk memperkaya diri pejabat itu sendiri. Akibatnya, masuk akal bahwa korupsi telah berlangsung dari generasi ke generasi di negara demokrasi ini.

Salah satu bentuk normalisasi korupsi adalah penangkapan dan pemenjaraan, serta izin untuk mencalonkan diri menjadi pejabat. Para koruptor yang ditangkap dan dipenjara tidak mau bertobat karena hukuman yang mereka terima tidak mengerikan. 

Mereka memiliki kebebasan untuk beraktivitas di dalam penjara berkat fasilitas mewah yang mereka dapatkan. Karena itu, jelas bahwa pemberantasan korupsi di negara demokrasi hanyalah ilusi. Maka penerapan sistem Islam menjadi solusi hakiki menggantikan demokrasi kapitalis sekuler yang rusak.

Korupsi dalam Islam dianggap sebagai pegkhianatan karena pelaku menggelapakan uang yang diamanatkan kepada mereka. Sanksi Islam adalah tegas dan tidak pandang bulu. Sanksi ta'zir, yang jenis dan tingkatnya ditentukan oleh qadhi, diberikan kepada mereka yang melakukan korupsi. 

Sanksi ta’zir beragam, menurut Syaikh Abdurrrahman Al Maliki dalam kitab Nizhomul uqubat, mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran dari hakim, hingga penjara, denda (gharamah), hukuman cambuk, pengumuman pelaku di depan umum atau media (tasyhir), hingga yang paling berat, hukuman mati. 

Hukuman ta’zir akan diberikan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan. Dalam Islam, sanksi memiliki efek zawajir, yang berarti mencegah orang lain melakukan hal yang sama. Selain itu juga bersifat jawabir yakni sebagai penebus dosa pelaku dan menimbulkan efek jera.

Maka jelaslah bahwa Islam memiliki solusi integral dalam memberantas korupsi. Dalam Islam aqidah Islam berfungsi sebagai landasan bagi tindakan dan prinsip kehidupan kaum muslim. Mengharapkan ridha Allah adalah tujuan hidup dari umat Islam. Dengan demikian, dorongan untuk berperilaku buruk dapat dikurangi.

Selain kontrol internal, yaitu ketakwaan individu, ada juga kontrol eksternal, yaitu negara Khilafah memeriksa kekayaan pejabat sebelum dan setelah mereka menjabat. Jika ada kenaikan gaji yang tidak wajar, pejabat harus menunjukkan sumber kenaikan gaji yang tidak wajar tersebut. Jika mereka tidak dapat membuktikan, negara akan menyita harta tersebut.

Jadi, penerapan Islam secara kaffah melalui institusi khilafah akan mampu memberantas korupsi sampai ke akarnya dan akan terwujud nyata bukan hanya sekedar ilusi.

Rasulullah SAW. bersabda, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR Muslim no. 3415; Abu Dawud no. 3110).

Wallahu’alam.


Oleh: Nur Amalya
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar