Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Demokrasi Membabat Korupsi


Topswara.com -- Korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi seseorang. Tindak pidana korupsi meliputi berbagai aktivitas, diantaranya gratifikasi/penyuapan, pengadaan barang/jasa, TPPU, merintangi penyidikan, pungutan/pemerasan, perizinan dan penyalahgunaan anggaran.

Tindak pidana korupsi yang telah ditangani oleh KPK selama periode 1 Januari 2023 sampai dengan 6 Oktober 2023 sebanyak 85 kasus. Perkara terbanyak adalah kasus gratifikasi/penyuapan dengan jumlah 44 kasus atau setara dengan 51,76 persen dari jumlah total kasus korupsi sampai akhir bulan (katadata.co.id, 08/11/2023).

Sedangkan, sepanjang tahun 2004 hingga 2022 KPK telah menangani 1.351 kasus tindak pidana korupsi. Kasus korupsi terbanyak yang ditangani oleh KPK adalah penyuapan/gratifikasi dengan total kasus 904 kasus selama kurun waktu 18 tahun (katadata.co.id, 09/03/2023).

Kasus korupsi di atas bisa menjadi peristiwa gunung es. Kasus yang berhasil diungkap hanya beberapa, sedangkan masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap. Kapan terungkapnya hanya menunggu waktu saja. Sebab, mayoritas tindak pidana korupsi terjadi di instansi pemerintah kabupaten/kota disusul oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi.

Selain itu, banyaknya koruptor yang ditangkap menunjukkan bahwa sistem yang diadopsi negara ini adalah sistem yang rusak. Sebaik apapun pribadi seseorang, jika mereka menggunakan sistem rusak ini niscaya akan menjadi pribadi yang rusak pula. Bahkan, lembaga yang seharusnya mampu membabat habis para koruptor juga tersandung kasus korupsi. Lantas, kepada siapa rakyat akan percaya?

Tipudaya Hukum Demokrasi

Sistem demokrasi sekuler meniscayakan tindak pidana korupsi dilakukan dengan mudah. Apalagi sistem ini membutuhkan biaya yang tinggi dan sarat akan kepentingan para oligark. Ini pun juga diperkuat dengan adanya sifat serakah, rusaknya integritas abdi negara dan penguasa, toleransi atas keburukan dan lemahnya iman makin memuluskan jalan untuk melakukan korupsi.

Ibarat penyakit, korupsi seperti sel kanker yang mampu menyebar ke seluruh tubuh. Begitu juga dalam sistem rusak saat ini, korupsi akan langgeng karena sejalan dengan pijakan negara yaitu penerapan sistem kapitalisme liberal.

Kapitalisme hanya menjunjung tinggi permodalan dan keuntungan berupa materi. Sehingga, jika seorang pejabat telah mengeluarkan banyak "cuan" demi posisinya di lembaga pemerintahan, maka jalan apapun akan ditempuh seperti korupsi.

Standar materi inilah yang melandasi konsep kebahagiaan di sistem kapitalisme ini. Kebahagiaan yang dihadirkan oleh kapitalisme hanyalah kebahagiaan semu, fatamorgana semata. Makin kebahagiaan materi dikejar, semakin jauh pula kebahagiaan hakiki didapat. 

Pribadi atau penguasa yang hanya menginginkan kebahagiaan semu ini pastinya tidak akan mudah merasa berpuas diri dengan apa yang didapat. Gaji sudah besar, tetapi merasa belum cukup. Korupsi menjadi pilihan untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi.

Ditambah lagi penerapan sanksi yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi mengakibatkan mereka tidak benar-benar jera. Mereka pun mendapat perlakuan khusus ketika di dalam penjara. Masa hukuman bisa dikurangi. 

Bahkan, hakim pun bisa "dibeli" hanya karena yang bersangkutan mampu membelinya. Hukum dan sanksi tipu-tipu yang ada di dalam sistem demokrasi hanya dijadikan sebagai pemanis bibir di hadapan rakyat. Sanksi yang diberikan seakan kamuflase dan bersifat formalitas belaka.

Sehingga, harapan mayoritas rakyat kepada demokrasi dalam memberantas tindak pidana korupsi hanyalah mimpi belaka. Semua itu hanya ilusi demokrasi. Jauh panggang dari api. Masihkah menaruh harapan pada demokrasi?

Islam Punya Solusi

Dalam kitab Nizamul Uqubat karya Abdurahman Al Maliki dinyatakan bahwa tindakan korupsi dalam Islam dikategorikan sebagai tindakan khianat, termasuk penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khianat ini tidak termasuk kategori mencuri. Sebab, dalam Islam mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Sedangkan, khianat adalah aktivitas penggelapan terhadap harta yang dipercayakan kepadanya.

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain dan penjambret."

Oleh karena itu, sanksi atau hukuman bagi koruptor adalah sanksi ta'zir yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti sekadar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. 

Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta'zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Demikianlah Islam mengatur terkait sanksi terhadap pelaku korupsi. Sanksi ini tidak bisa terwujud sehingga menjerakan pelaku kecuali jika diterapkan oleh institusi negara. Negara menerapkan aturan Islam di segala lini kehidupan sesuai dengan syariat Islam.

Wallahu a'lam.


Oleh: Endang Widayati 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar