Topswara.com -- Presiden Cina, Xi Jinping mengumumkan bahwa negaranya akan menyuntikkan dana lebih dari US$100 miliar atau sekitar Rp1.576,99 triliun ke Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Sejak diluncurkan pada 10 tahun yang lalu, BRI merupakan pilar utama Xi Jinping dalam memperluas pengaruh negaranya secara global. Ratusan miliar dolar telah digelontorkan untuk membiayai pembangunan jembatan, pelabuhan, jalan raya, pembangkit listrik, dan proyek telekomunikasi di Asia, Amerika Latin, Afrika, dan bagian Eropa (CNNIndonesia.com, 19/10/2023).
Kerja sama BRI di seluruh dunia sudah mencakup 79 negara. Yakni, di 44 negara dari Afrika subsahara dan 35 negara yang ada di Eropa dan Asia. Indonesia sendiri telah bekerja sama dengan Cina dalam bingkai BRI sejak tahun 2013. Yakni setelah Indonesia menandatangani MoU dengan negara tirai bambu ini (CNBC.com, 19/10/2023).
Apabila kita mencermati kerja sama dalam BRI, sejatinya adalah pemberian utang kepada negara tertentu guna pembangunan infrastruktur. Inilah cara Cina menjadikan negara yang ikut kerja sama dalam proyek BRI terjebak pada utang yang tidak mampu untuk dilunasi. Tidak sedikit proyek pembangunan Infrastruktur dalam BRI ini yang berakhir mangkrak dan meninggalkan utang yang besar. Lihat saja bagaimana Sri Lanka, Uganda, Kenya, Maladewa, dan Pakistan terjerat utang Cina melalui proyek BRI. Sri Lanka bahkan harus menyerahkan pelabuhannya kepada Cina karena gagal membayar utang.
Nasib serupa sangat mungkin terjadi pada negeri kita. Kenapa demikian? Bisa kita lihat bahwa banyak pembangunan infrastruktur yang didanai BRI menjadi mangkrak. Dana membengkak dari kesepakatan awal. Contohnya proyek kereta api cepat yang baru saja selesai. Proyek ini menghabiskan dana lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya hingga memberati APBN.
Padahal, utang luar negeri kita sudah sangat besar. SDA yang seharusnya bisa mencukupi kebutuhan seluruh rakyat malah dipakai untuk membayar cicilan utang luar negeri beserta bunganya. Bahkan, SDA beralih kepemilikan ke tangan swasta atau asing. Negara tidak lagi bisa mengelolanya untuk rakyat. Ini juga akibat dari utang luar negeri. Karena iru, kerja sama BRI jelas sangat menjerumuskan negeri ini pada bencana yang lebih buruk.
Utang akan membahayakan kedaulatan negara. Sebab, negara pemberi utang merasa punya kekuasaan untuk memaksakan apa saja. Ketika negara gagal membayar utang, maka bisa kehilangan aset-asetnya seperti SDA. Contohnya Sri Lanka yang sampai harus menyerahkan wilayah yang dimilikinya karena tidak mampu membayar utang pada Cina.
Lantas bagaimana caranya supaya negara bisa melakukan pembangunan tanpa terjebak utang dan terancam kedaulatannya? Adakah sistem yang memungkinkan hal itu terwujud?
Kalau kita menengok pada sistem kapitalisme, maka kita tidak akan menemukan jalan kecuali dengan model utang seperti halnya dalam BRI. Namun, apabila kita mau melihat kepada Islam, maka akan kita temukan kehebatannya dalam mengatur negara. Termasuk juga bagaimana negara dalam membiayai pembangunan.
Negara yang menerapkan Islam akan melandaskan setiap kebijakannya sesuai akidah Islam. Artinya, negara menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah sebagai acuan sehingga dalam melakukan pembangunan akan berpijak pada syariat Islam.
Dengan konsep Islam, pembangunan dilakukan oleh negara secara mandiri tanpa mengandalkan pada utang luar negeri. Negara akan mengelola SDA untuk kepentingan rakyat dan sebagian hasilnya dipakai untuk membiayai pembangunan. SDA yang melimpah milik rakyat akan digunakan untuk kemaslahatan rakyat seluruhnya. SDA tersebut sangatlah mencukupi untuk kebutuhan rakyat sehingga tidak perlu mengambil utang luar negeri yang bisa mengakibatkan kedaulatan negara terancam.
Pembiayaan pembangunan disediakan oleh negara melalui dana dari Baitul Mal. Dalam Baitul Mal ada pos-pos yang digunakan untuk suatu kemaslahatan yang sifatnya vital. Yaitu, di mana umat akan mengalami penderitaan jika perkara tersebut tidak ada. Contohnya adalah jalan, air, rumah sakit, sekolah dll.
Pembelanjaan di bidang ini adalah paten. Maksudnya, negara harus menyediakannya dengan segenap cara. Tidak boleh tidak ada. Apabila dana di Baitul Mal kosong, maka kewajiban tersebut berada di pundak kaum muslimin. Dengan begitu, kewajiban akan terpenuhi.
Adapun sumber pemasukan Baitul Mal dalam Islam berupa harta fai', ghanimah anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari harta milik umum. Ada juga pemasukan dari harta milik negara seperti usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Namun, zakat hanya dikhususkan untuk 8 asnaf sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an.
Dengan pengaturan ini, harta milik rakyat yang sangat banyak tersebut bisa dipakai untuk kemaslahatan bersama. Kita punya hutan, lautan, tambang emas, minyak bumi, batu bara, dsb. Semua itu akan bisa menghasilkan dana yang sangat besar jika pengelolaannya dilakukan oleh negara sebagaimana tuntunan syariat. Tidak ada tempat untuk asing atau swasta menguasai harta milik rakyat. Kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri.
Penerapan syariat Islam secara kaffah akan mewujudkan kedaulatan negara secara utuh. Dengan begitu, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.
Wallahu a'lamu bishshowab.
Oleh: Endang Mulyaningsih
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar